Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bandung - Sebuah penelitian terbaru menyebutkan 44 dari 100 siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat di Kota Bandung terindikasi berpaham radikal. Sebanyak 35 persen dari temuan itu, mengungkap indikasi radikal secara agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Riset dilakukan terhadap para siswa di 33 sekolah setingkat SMA, termasuk SMK dan Madrasah Aliyah (MA). “Riset ini dilakukan selama tiga bulan dari Juni sampai Agustus 2021,” kata Asep Dahliyana, dosen pembimbing tim riset itu kepada TEMPO, Jumat 3 September 2021
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Riset itu digarap Tim Program Kreativitas Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Berjudul 'Radikalisme di Sekolah Menengah Atas Kota Bandung', penelitinya yaitu mahasiswa lintas program studi.
Ketuanya adalah Muhammad Nur Imanulyaqin mahasiswa Pendidikan Sosiologi angkatan 2017, lalu ada Asep Soleh (Ilmu Pendidikan Agama Islam 2018) dan Dwi Gita Cahyanurani (Pendidikan Kewarganegaraan angkatan 2018).
Lewat keterangan tertulisnya, tim itu menyampaikan temuannya bahwa sebanyak 35 persen siswa diduga terindikasi tipe radikal secara agama. Pembagiannya, yang terbesar, yaitu 16 persen berkarakteristik radikal ISIS dan Al-Qaeda, 15 persen berkarakteristik dengan gerakan Islam garis keras secara fisik.
“Hasil riset ini sudah disampaikan langsung secara verbal saat diskusi dengan Inspektorat Jenderal, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan perwakilan lainnya,” kata Asep lagi.
Latar belakang riset dituturkannya berdasarkan studi pustaka, yaitu jenjang SMA menjadi tempat nyaman untuk perkembangan paham radikal hingga masuk ke ruang kelas. Pemilihan lokasi di Kota Bandung, kata Asep, karena walikotanya pernah menyebutkan 600 siswa SD-SMP berpotensi radikal. “Hal ini tentu akan berdampak pula ke jenjang selanjutnya yaitu SMA,” ujarnya.
Riset tim menggunakan desain atau pendekatan metode campuran, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Tim menggunakan metode survei dan studi kasus. “Semua proses pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara daring yaitu melalui google form dan wawancara melalui telepon,” kata Asep.
Pemilihan sampel dilakukan secara acak. Jumlah sampel yang diambil 100 orang siswa sesuai rumus Slovin dengan peluang kesalahan 10 persen.
Data sampel siswa radikal itu diakui tidak menggambarkan Kota Bandung secara keseluruhan. "Metodenya harus menggunakan cluster sampling. Misalnya setiap kecamatan diwakili siswa dengan jumlah sesuai rumus tertentu," katanya.