Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Survei Ungkap Paham Radikal Pelajar dari Media Sosial dan Keluarga

Hasil riset pelajar SMA di Bandung ini belum bisa memastikan para pelajar radikal mendukung kelompok khilafah yang mana.

5 September 2021 | 06.00 WIB

Seorang bocah yang masuk dalam organisasi kelompok negara anti-Islam (ISIS) berpose dengan memegang senapan laras panjang di Raqqa, Suriah. Di kota tersebut, semenjak kecil anak-anak sudah ditanamkan interpretasi radikal dan kekerasan kelompok ekstremis tentang hukum Syariah. (AP Photo)
Perbesar
Seorang bocah yang masuk dalam organisasi kelompok negara anti-Islam (ISIS) berpose dengan memegang senapan laras panjang di Raqqa, Suriah. Di kota tersebut, semenjak kecil anak-anak sudah ditanamkan interpretasi radikal dan kekerasan kelompok ekstremis tentang hukum Syariah. (AP Photo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Bandung - Sebanyak 44 dari 100 pelajar SMA sederajat di Kota Bandung terindikasi berpaham radikal. Menurut tim riset dari Program Kreativitas Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, kecenderungan transmisi paham radikal ini didapatkan para pelajar itu dari internet seperti media sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Sumber lainnya, seperti dituturkan beberapa pelajar dalam survei, adalah dari kajian keagamaan dan juga keluarga. "Contoh paham radikal siswa setingkat SMA ini yaitu mereka mendukung khilafah karena merasa kurang puas terhadap pemerintah," kata Asep Dahliyana, dosen pembimbing tim riset, Jumat 3 September 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asep mengatakan, hasil riset belum bisa memastikan para pelajar mendukung kelompok khilafah yang mana. Menurut dia, banyak kelompok radikal selain ISIS yang juga setuju dengan khilafah. "Namun memiliki pemahaman yang berbeda jauh dengan ISIS ataupun Al-Qaidah,” ujarnya. 

Hasil riset baru menyatakan 44 dari 100 pelajar yang diteliti berpotensi radikal. Menurut Asep perlu diketahui lebih jauh apakah mereka terpapar karena pemikiran pribadi atau sudah tergabung dengan kelompok radikal.

“Kalau sudah tergabung dengan kelompok radikal maka tentu memiliki kebahayaan besar karena pemahaman mereka akan makin dalam lagi dan akhirnya berujung pada amaliyah jihad,” kata pengajar di Pendidikan Sosiologi UPI Bandung itu.

Penyusupan paham radikal disebutnya kadang tidak terasa, dimulai dari paham dengan tingkatan rendah sampai doktrin yang lebih ekstrem. Perlahan banyak narasi-narasi radikal yang masuk dan membentuk pola pikir menjadi fanatik bahkan intoleran.

“Oleh sebab itu, proses pembelajaran yang terjadi di sekolah harus juga menanamkan kejernihan berpikir dalam menghadapi fenomena yang muncul berkaitan dengan kebhinnekaan di Indonesia,” ujar Asep.

Asep menambahkan, riset akan berlanjut karena masih banyak yang harus dikaji. Tujuannya untuk menghasilkan formula penangkal radikalisme di sekolah sambil tim akan diarahkan mengembangkannya menyasar kalangan mahasiswa.

Lewat keterangan tertulisnya, tim riset menyampaikan sebanyak 35 persen dari mereka yang diduga terindikasi radikal memiliki tipe radikal secara agama. Pembagiannya yaitu 16 persen berkarakteristik radikal ISIS dan Al-Qaidah, 15 persen berkarakteristik dengan gerakan Islam garis keras secara fisik.

Sementara, 4 persen dari sampel siswa asal 33 sekolah SMA atau yang sederajat di Kota Bandung itu diketahui berkarakteristik radikal secara ideologi. Sebesar 2 persen diduga terindikasi paham radikal kriminal bersenjata.

Anwar Siswadi (Kontributor)

Anwar Siswadi (Kontributor)

Kontributor Tempo di Bandung

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus