Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tidak ada pelatih yang memenangkan Piala Dunia dua kali secara berturut-turut pada era pasca-Perang Dunia II. Namun, Didier Deschamps dan Prancis hanya butuh satu kemenangan lagi untuk membuat sejarah baru ketika menghadapi Argentina di final Piala Dunia 2022 pada Ahad, 18 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merespons peluang itu, Deschamps memilih menjauh dari sorotan dan membiarkan skuad kesayangannya menjadi fokus. "Saya bukan yang terpenting di tim ini. Tentu saja, saya bangga dan kita semua tahu sekarang ada peluang untuk mempertahankan gelar," kata Deschamps dikutip dari Reuters.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi itu pencapaian yang luar biasa. Kami akan melakukan semua yang kami bisa untuk memastikan kami lebih bergembira pada Minggu malam nanti. Saya tidak terlalu memikirkan diri saya sendiri. Saya senang dengan fakta bahwa kami meraih kesuksesan ini," kata dia menambahkan.
Deschamps adalah manajer keempat yang memimpin sebuah negara ke putaran final Piala Dunia berturut-turut setelah Vittorio Pozzo (Italia), Carlos Bilardo (Argentina) dan Franz Beckenbauer (Jerman Barat). Bilardo dan Beckenbauer masing-masing kalah di final keduanya. Setelah menjadi kapten generasi emas Prancis yang memenangkan Piala Dunia 1998 dan Kejuaraan Eropa 2000, laki-laki berusia 54 tahun itu kini telah melahirkan generasi emas baru dalam satu dekade terakhir.
MEMBANGUN SKUAD
Sebagai pelatih, Deschamps membawa Prancis ke final Euro 2016. Namun, Les Bleus kalah tipis dari Portugal di perpanjangan waktu babak final. Piala Dunia 2018 menjadi pembuktian generasi emas Prancis dan Deschamps. Mereka mampu mengalahkan Kroasia pada partai final dan meraih gelar keduanya. "Kami menyebutnya sebagai pesona keberuntungan, tetapi kualitas terbaik dari Deschamps adalah kemampuannya membangun skuad," kata mantan pemain timnas Prancis, Patrice Evra.
“Terkadang dia tidak akan memilih pemain terbaik karena motivasinya adalah 'tim adalah bintangnya'. Dia adalah seseorang yang dapat membangun skuad untuk memenangkan turnamen. Dia hanya seorang manajer yang luar biasa dan dia sangat rendah hati. Bagi saya, dia adalah manajer Prancis terhebat sejauh ini," kata mantan pemain Manchester United tersebut menambahkan.
Deschamps sering memberikan kepercayaan pada pemain muda meskipun ada banyak talenta yang tersedia baginya. Kepercayaan itu datang ketika ia memulai duet lini tengah Youssouf Fofana dan Aurelien Tchouameni yang relatif tidak berpengalaman untuk semifinal melawan Kroasia.
"Pengalaman bukanlah segalanya, mereka memiliki kualitas hebat dan mereka bermain di klub-klub top. Mungkin mereka membutuhkan pemain berpengalaman untuk membimbing mereka, tetapi mereka memiliki kualitas. Saya tidak ragu menempatkan mereka di sana," ujar Deschamps.
KEMAMPUAN ADAPTASI DIDIER DESCHAMPS
Apa yang membuat Deschamps sukses di turnamen, terutama di Piala Dunia sejak 2018, tidak melulu berpijak pada identitas atau filosofi Prancis sebagai tim besar. Dia juga telah beradaptasi dengan keadaan dan lawan. Ada pertandingan di mana Prancis mendominasi penguasaan bola, sedangkan di pertandingan lain mereka dengan senang hati menyerahkan bola dan memukul tim lawan melalui serangan balik.
Taktik kedua bekerja dengan sangat baik di babak semifinal melawan tim yang tidak diunggulkan, Maroko. Timnas Prancis berhasil menghentikan kejutan tim asal Afrika yang telah mengukir sejarah menembus empat besar Piala Dunia. Prancis bermain dengan sangat sedikit penguasaan bola, dan memanfaatkan peluang dengan baik saat Prancis melancarkan serangan balik cepat.
"Ketika Anda berpikir Anda hampir menang melawan Prancis, Anda sebenarnya masih cukup jauh. Kami akan belajar dari ini untuk masa depan, itu meninggalkan rasa pahit. Didier Deschamps telah menunjukkan bahwa dia adalah pelatih kepala terbaik di dunia dalam 10 tahun terakhir," kata pelatih Maroko Walid Reragui.