Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Tokoh pewayangan Bima rupanya tak hanya mencari air kehidupan di dasar samudera,tetapi dia juga mencari wangsit di Gunung Tambora. Cerita ini tentu bukan cerita pakem pewayangan, melainkan ada dalam pergelaran Wayang Gunung Kulit Uwong Urip di Bentara Budaya Jakarta, Kamis, 17 April 2015.
Komunitas 5 Gunung pimpinan Tanto Mendut mementaskan wayang kontemporer dengan lakon Wangsit Tambora. Tanto dalam pengantarnya mengatakan wayang ini merupakan wujud solidaritas dari para komunitas di lima gunung di Jawa Tengah seperti gunung Sumbing, Sindoro,Merapi, Merbabu, Prau.
Sang dalang membukanya dengan suasana kegaduhan dan keramaian penduduk yang menyelamatkan diri dari amukan letusan gunung. Seorang gadis lalu membacakan puisi berjudul Puisi untuk Tambora.
“Kalau Tambora meradang pasti demi kehidupan. Fuji, Kalimanjaro, Rockymountain, Wellington adalah saudara sekandung. Saudara sejantung Tambora, lima gunung,” ujar gadis itu.
Sang dalang dengan gaya santai mengatakan wayangnya wayang hidup yang punya roh. “Jadi wayang boleh berekspresi, boleh usul, boleh bantu dalangnya.”Dan muncullah sosok Pendeta Durna yang kemudian dipasangi tongkat selayaknya bilah di wayang kulit.
Di sela-sela adegan Durna, disajikan pula tarian Eblek yang ditarikan oleh komunitas dari lereng gunung Sumbing. Bima datang menemui Durna yang diiringi tarian dari komunitas, yang menggambarkan kerusakan alam. Para penari berpakaian dan sebagian badannya dicat putih dengan aksesori ranting-ranting di tangan dan kepalanya. Durna menyarankan untuk mencari petunjuk dan wangsit di Gunung Tambora. Duryudana dan Sengkuni pun dihadirkan dalam sosok yang dicat putih. Mereka pun bermaksud menggali ke Gunung Tambora. Pada akhir cerita, Bima dan Puntadewa kakaknya, Hanoman, Duryudana dan Sengkuni diceritakan mendapatkan semua petunjuk atau wangsit di Gunung Tambora.
Beberapa tarian dari komunitas lima gunung menjadi pengisi jeda atau adegan dalam wayang kontemporer tersebut. Pada awal-awal pergelaran, dalang menggunakan bahasa gado-gado; bahasa Indonesia dan Jawa. Namun pada akhir-akhir acara lebih banyak menggunakan bahasa Jawa.
Sebelum pementasan wayang dari Komunitas 5 Gunung ini, juga dibacakan Naskah Kuno Tambora dalam catatan Kesultanan Bima oleh ahli filologi Siti Maryam M Salahuddin. Dari naskah kuno itu diketahui tentang letusan Tambora yang mengubur dua kerajaan: Pekat dan Tambora.
Majalah Tempo dalam edisi 30 Maret 2015 melaporkan kedahsyatan letusan gunung di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini. Letusan Tambora memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan situasi dan kondisi di berbagai belahan dunia. Kawasan Eropa sebagian besar mengalami musim dingin yang paling buruk sepanjang zaman. Saat itu musim panas tidak menyapa kawasan ini, inilah yang kemudian dinamakan Tahun Tanpa Musim Panas.DIAN YULIASTUTI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini