Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Dipamerkan di Jakarta, Jimat Diponegoro Ada Penunggunya?

Pengunjung disarankan duduk agak lama di situ dan meresap energi yang
terpancar dari pusaka-pusaka Diponegoro tersebut.

24 Februari 2015 | 16.33 WIB

Geladi bersih pertunjukan Opera Diponegoro di Jakarta, Jumat(19/2). Opera Diponegoro merupakan hasil penulusuran panjang dari koreografer Sardono W Kusumo, terhadap sejarah dan sosok Pangeran Diponegoro. TEMPO/Dwianto Wibowo
Perbesar
Geladi bersih pertunjukan Opera Diponegoro di Jakarta, Jumat(19/2). Opera Diponegoro merupakan hasil penulusuran panjang dari koreografer Sardono W Kusumo, terhadap sejarah dan sosok Pangeran Diponegoro. TEMPO/Dwianto Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta -Beberapa jimat milik Pangeran Diponegoro tengah dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jalan Medan Merdeka Timur No.14, Gambir, Jakarta Pusat. Jimat-jimat berupa tombak, pelana kuda, dan tongkat yang pernah dirampas Belanda itu diletakkan di satu ruang khusus dengan cahaya yang sengaja dibuat temaram.

Peter Carey, salah seorang kurator pameran bertajuk  “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh Hingga Kini” itu memberi nama ruangan itu ruang arwah yang mengawasi. Sejarawan asal Inggris itu mengambil nama demikian dari sebuah lukisan Tahiti: Manao Tupapau (Arwah yang Mengawasi). Di Haiti, katanya, ada tradisi, saat senja berpendar, dipercaya terdapat arwah yang melihat kita semua.

Lalu benarkah ada arwah yang menunggui jimat-jimat itu? Entahlah, yang jelas di ruangan itu disediakan sebuah bangku panjang. Pengunjung disarankan duduk agak lama di situ dan meresap energi yang terpancar dari pusaka-pusaka Diponegoro tersebut. ”Mohon membuka sepatu Anda, tetap hening, dan rasakan daya sehingga Anda dapat menjalin hubungan dengan arwah,” tulis Carey di dinding. 

Pameran “Aku Diponegoro” digelar 6 Februari hingga 8 Maret 2015. Pameran ini merupakan lanjutan dari pameran “Raden Saleh dan Awal Lukisan Indonesia Modern” yang diselenggarakan  Goethe–Institut Indonesien, bekerja sama dengan Galeri Nasional Indonesia, Sekretariat Negara Republik Indonesia, dan Kedutaan Besar Jerman di Indonesia pada Juni 2012. 

Ketiga peninggalan Diponegoro di ruangan itu, menurut Carey, dirampas oleh Belanda saat ia disergap di Gowong pada 11 November 1829. Penyergapan dilakukan oleh pasukan gerak cepat ke-11 yang dipimpin Mayor A.V. Michiels. ”Setahu saya, selain itu, keris Kiai Nogosiluman juga dirampas. Sampai sekarang keris itu belum terlacak ada di mana, tapi pasti ada di Belanda,” ujarnya. 

Dalam penyergapan itu, Diponegoro bisa meloloskan diri dan merayap ke jurang. Selama tiga bulan, dia menyusuri jalan dari Gelagah sampai Kali Cingcingguling hingga 9 Februari 1830. Selama pelarian itu, dia tidur di gua dan gubuk. Dia bahkan sempat terserang malaria, tapi badannya cukup kuat. Hilangnya tombak sangat mempengaruhi Diponegoro. Tombak ini diyakini sang pangeran bisa memberi peringatan atas bahaya yang akan datang. Diponegoro langsung berpikir, dalam peristiwa nahas tersebut, dia dikhianati anak buahnya.

Saat penyergapan itu, Diponegoro meloncat dari kuda kesayangannya yang tinggi besar, Kiai Gentayu. Belanda mengambil pelana kuda berwarna cokelat dengan pinggiran berwarna hijau tua itu. Pelana ini, kata Carey, cukup empuk. Sedangkan tongkat Diponegoro yang dirampas adalah tongkat yang sering dipakainya berziarah. Terutama saat ia menapaktilas rute-rute penziarahan Sultan Agung dan menyepi di gua-gua Pantai Selatan sejak 1805. Tongkat ini berasal dari Kerajaan Demak, terbuat dari besi sepanjang 153 sentimeter dengan cakra pelindung berbentuk bulat. 

Dalam mitologi Jawa, cakra adalah senjata Dewa Wisnu. Carey mengatakan hal ini cukup penting karena dikaitkan dengan kedatangan Ratu Adil atau Erucokro di tanah Jawa. Setelah dirampas, tongkat itu semula jatuh ke tangan cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang, yakni Pangeran Adipati Notoprojo, yang dikenal sebagai sekutu Belanda. Notoprojo kemudian yang menyerahkan Kiai Cokro kepada J.C. Baud. Tongkat itu diserahkan pada Juli 1834, saat dilakukan inspeksi pertama di Jawa Tengah.

Pemerintah Belanda, atas inisiatif Ratu Juliana, mengembalikan pelana kuda dan tombak Kiai Rondhan pada 1978. Tombak kayu itu panjangnya 100 x 10 sentimeter, beranyamkan emas, berlian, dan besi serta bertatahkan meteorit. Sedangkan pangkal tongkat Diponegoro bersimbol cakra. Baru tahun ini keturunan J.C. Baud, Gubernur Jenderal Belanda di Jawa pada 1833-1836, yang menyimpan tongkat itu selama ratusan tahun, mengembalikannya kepada pemerintah Indonesia.

DIAN YULIASTUTI | SENO JOKO SUYONO


 


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nunuy Nurhayati

Nunuy Nurhayati

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus