Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Jaka dan bima di balik kaca

Pameran lukisan kaca di mitra budaya, hadir prof sasaki, ahli lukisan kaca dari jepang. lukisan kaca masuk di indoensia pada abad 18 dan 19, banyak menyuguhkan cerita rakyat. (sr)

3 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI balik kaca, warna memang bisa tampak lebih cerah, sekaligus terlindung dari debu. Maka, legenda Jaka Tarub bukan hanya tampak indah dalam lukisan kaca, tapi juga awet. Karya abad ke-19 yang tak diketahui Pelukisnya ini, konon dari Yogyakarta, salah satu yang dipajang dalam Pameran Lukisan Kaca di Mitra Budaya, Jakarta, pekan lalu. "Lukisan kaca muncul dari Eropa di abad ke-]4, kemudian tersebar luas ke Cina, Jepang, India, negeri-negeri Timur Tengah, Muangthai, Indonesia," kata Profesor Sasaki, pada pembukaan pameran. Sasaki, ahli lukisan kaca dari Jepang, datang ke Indonesia khusus untuk melengkapi bukunya yang bakal terbit: tentang seni lukis kaca di manamana. Dan profesor ini memuji kekayaan folklore kita yang tertuang dalam lukisan kaca dari abad ke-18 dan ke-19. Lukisan kaca kita memang banyak menyuguhkan cerita rakyat, seperti wayang, atau sejarah. Jarang, bahkan mungkin tak ada, lukisan kaca kita yang memotret suasana di kampung atau melukiskan gunung dan pohon-pohon. Ini mungkin karena pada abad ke-18 dan ke-19, seni lukis Barat belum menyentuh Hindia Belanda - setidaknya belum menyentuh kalangan rakyat banyak tempat lukisan kaca hidup subur. Naturalisme baru muncul di sini pada abad ke-91 bersama Pelukis Raden Saleh (1807-1880), yang bangsawan. Bagi kalangan bawah, inspirasi seni rupa datang dari bentuk wayang kulit dan relief di candi-candi. Makanya, yang lahir juga lukisan yang membawakan cerita, dalam bentuk dekoratif, tanpa plastisitas dan perspektif. Dalam lukisan tentang Jaka Tarub, misalnya, bidadari yang terbang, Nawangwulan yang sedang berhias, dan pohon-pohon digambarkan seolah-olah berada pada satu bidang. Tapi bukannya tanpa pusat perhatian. Sebab, yang dipentingkan di sini adalah figur-figur pembawa cerita. Lihat saja, kain batik yang dikenakan para bidadari digambar mendetail hingga motif batiknya jelas. Tapi pohon-pohon hanya dilukis secukupnya, asal itu bisa dilihat sebagai pohon. Bukan satu per satu daun digambarkan - seperti dalam lukisan tradisional Bali - pelukis kaca dari Yogyakarta itu cukup membuat sapuan warna rlmbunan daun, selesai. Akan halnya rumput, mungkin untuk membedakan dengan sapuan rimbunan daun, di sana-sini digoreskan tiga garis membentuk trisula, sebagai upaya mengesankan rumput. Sebagaimana pertunjukan wayang kulit, yang mampu menghldupkan imajinasi penonton, maka Gatutkaca pada lukisan kaca pun dibuat benar-benar terbang, meski tetap di depan layar di tangan di dalang. Demikian pula empat bidadari itu benar-benar seperti melayang meninggalkan rekannya, si Nawangwulan, yang terpaksa mau diperistri Jaka Tarub. Padahal, latar belakang lukisan ini tetap kosong, mirip geber (layar) wayang kulit. Dan semua tokoh itu dilukiskan dengan bentuk yang jauh dari realistis. Misalnya, ini kemungkinan besar karena pengaruh wayang kulit, semua figur digambarkan dengan kepala terlihat dari samping. Profilnya pun mirip wayang kulit: hidung yang lurus lantas bengkok di ujung, mata yang bulat pipih, dan dengan warna-warna cenderung gelap hijau tua, kuning tua, cokelat, hitam. Para pelukis kaca, dulu, agaknya suka melukiskan adegan-adegan satu cerita, hingga keseluruhan merupakan satu rangkalan kisah utuh. Dalam pameran ini, selain lukisan Jaka Tingkir diadu dengan banteng, ada juga lukisan pertarungan buaya dengan calon raja Pajang itu. Dan entah si pelukis - yang berasal dari pedalaman Yogyakarta itu - belum pernah melihat buaya, maka gambar reptil ganas itu sekilas mirip ikan lele raksasa. Kendati demikian, si pelukis berhasil memunculkan satu gambaran pertarungan dahsyat. Buaya yang digambarkan terlihat menggeliat ganas, dan Jaka Tingkir mengayunkan tangan kanannya seperti memberikan pukulan karate pada kepala musuhnya. Lukisan kaca dari daerah Cirebon lebih banyak menampilkan wayang dan kaligrafi tulisan Arab. Semua karya yang dipamerkan datang dari tangan Rastika, yang berumur 40-an tahun. Tentu, Rastika tak sekadar mengutip bentuk wayang kulit Cirebon yang sudah ada. Sebuah lukisan, yang berjudul Babad Alas Wanamarta, menggambarkan Bima dikerubut segala isi hutan: Banteng dan harimau menyerang dari belakang, ular dan serigala menyergap dari bawah, garuda dibantu gajah menyerbu kesatria Pandawa itu dari depan. Rastika, yang mewarisi keterampilan bapaknya, dibanding para pelukis kaca dari Yogyakarta, tampak lebih rapi secara teknis. Mungkin karena ia menggambarkan wayang yang sudah pasti bentuknya sehingga tak perlu mencari-cari. Palam karya-karya terbaiknya, Rastika menciptakan satu setting sendiri. Lukisan Bhatara Guru dan Arjuna, misalnya, nyaris hanya kepala wayang yang dikutip Rastika dari bentuk wayang kulit. Lainnya diciptakannya sendiri. Misalnya, gambar gua dan awan-awan yang mengelilingi raja para dewa itu dibentuk Rastika dari rangkaian tulisan Arab. Dan Rastika pun bisa melucu dengan lukisannya. Tayuban, karyanya pada, 1967, melukiskan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong terlibat dalam pesta tayuban. Anehnya, yang menabuh gamelan pun, ya, para punakawan itu. Lakon punakawan kembar? Mungkin . Tidak demikian halnya pelukis kaca Yogyakarta, Tjokromihardjo dan Setraigena. Mereka tampak kurang telaten mengukir ornamen-ornamen pada wayang kulit. Tapi keunggulan pelukis kaca Yogya mungkin bukan di situ. Mereka memang kurang telaten dibanding orang Cirebon (agak aneh sebenarnya), tapi kaya gagasam Misalnya, lukisan Untung Surapati perang tanding melawan Kapten Tack, yang dilatarbelakangi sederetan penuh prajurit yang mengacungkan senjata ke atas. Selam memberikan kesan ramainya pertempuran, senjata-senjata yang teracung itu juga menjadi garis-gans yang indah. Dan soal kekayaan ide itu agaknya diwarisi pula oleh Sastra Gambar, 60-an tahun, dari Muntilan, Magelang. Pelukis kaca satu ini tak lagi berasyik-asyik dengan cerita rakyat atau wayang. Ia mencoba menggambarkan keadaan sekarang, dan sekaligus berusaha memvisualkan kebijaksanaan hidup. Misalnya, karyanya yang populer, yang sudah ratusan kali dibikinnya, adalah gambar Petruk memangku wanita cantik, sambil minum-minum di sebuah rumah mewah. Lalu ada tulisan - ada yang berhuruf Jawa, ada yang Latin - Melik nggendong lali. Artinya: iri atau cemburu untuk memiliki kepunyaan orang lain gampang mendorong orang lupa daratan. Karya lain yang mungkin menggambarkan kemajuan zaman adalah sebuah masjid yang suasana sekitarnya diramaikan oleh kereta api melaju, becak meluncur dengan penumpang, dan pesawat terbang melayang tinggi. Tapi, terkadang, gambar seperti itu masih ditambah hal lain. Misalnya, ini: sepeda motor yang menderu di atas awan. Atau, tiba-tiba muncul gambar buraq terbang di atas masjid. Apa sebenarnya. keistimewaan lukisan kaca, yang untuk ukuran sekarang hal itu tak praktis lagi (kaca mudah pecah, dan melukisnya harus terbalik)? Sebagaimana karya grafis, lukisan kaca sebenarnya lukisan yang bisa diperbanyak dan masing-masing sah sebagai karya asli, bukan reproduksi. Mengapa hanya beberapa pelukis (dan biasanya para pelukis tradisional) yang masih setia kepada kaca? Tak jelas sebabnya. Tapi itu tak hanya di sini. Menurut Sasaki, di negaranya, dan juga di Eropa, pelukis kaca sudah jarang. Atau boleh jadi belum ada yang melihat potensi kaca sebagai karya kreatif. Selama ini memang baru pelukis abstrak kelahiran Rusia, Wassily Kandinsky (1866-1944), yang tercatat pernah berpameran tunggal dan menampilkan lukisan-lukisan kaca. Di Indonesia baru Harjadi Suadi, 45, yang mencoba melukis di balik kaca dengan serius. Bentuk dan figur lukisannya berbau lukisan tradisional (misalnya, figur hanya tampak profil). Tapi warna memang lebih cerah: putih, jingga, kuning. Dan lukisan kaca seni rupawan berpendidikan seni grafis Seni Rupa ITB ini, tak kalah mutunya dibanding karya grafisnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus