Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STUART, bukan nama sebenarnya, adalah seorang murid SD di Toronto. Sckolah baginya merupakan suatu kegiatan yang sia-sia. Ibu Guru tidak bisa memahami Stuart. Tetapi Stuart harus bisa memahami apa pun yang diajarkan oleh Ibu Guru. Dan ketika Stuart belum paham mengapa akar sembilan adalah tiga, Ibu Guru sudah lebih dulu menegur. "Mengapa sih kamu tidak bisa seperti Glenn? Stuart lalu melipat tangannya, dan tidak pernah bertanya lagi sekalipun tidak mengerti. Pada suatu hari Jumat, Ibu Guru menyuruh murid-murid menggambar tentang keadaan pada pagi hari. Ken, di sebelah Stuart, menggambar ibunya sedang mempersiapkan sarapan. Lynn, di depannya, menggambar pemandangan gunung yang indah. Stuart, si pelamun dan perenung, menganggap bahwa pagi yang terindah baginya adalah pagi musim panas ketika matahari menyembul dan bersinar menghangatkan jagat raya. Kuning Semua serba kuning Lalu Stuart pun mula menyapu kertas gambarnya dengan cat air warna kuning. Ia sendiri kagum melihatnya. Lalu Ibu Gun pun lewat. "Apa ini?" tanyanya tak mengerti. Ia hanya memakai matanya untuk melihat, tidak mata hatinya. Ibu Gun manghala napas "Mangapa sih kamu tidak bisa menggambar seperti Ken atau Lynn itu?" Senin pagi, Ibu Guru tidak melihat Stuar di bangkunya. Di atas mejanya masih tertinggai kertas yang ternyata tercoret syair. . . . aku tidak mengerti yang mereka ajarkan tetapi mereka tidak mengerti bahwa aku tidak mengerti. . . Ibu Guru tersadar. Tetapi ia terlambat memperbaiki sikapnya terhadap Stuart. Beberapa saat kemudian datang orang membawa kabar. Stuart telah meninggal. Bunuh diri Minggu siang kemarin. Itu tadi memang suasana kelas. Tetapi hal yang sama selalu bisa terjadi pada suasana lain, baik di rumah maupun di kantor. Dua hal yang pokok dari kisah itu. Pertama, Stuart tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri. Kedua, Stuart selalu dibandingkan dengan Glenn, Ken, Lynn, dan orang-orang lain yang jelas mempunyai tempo dan irama hidup yang berbeda. Tidak jarang Bakri yang gemar berenang tiba-tiba harus mengubah hob-nya ketika ia dipromosikan menjadi manajer pemasaran. Soalnya, semua manajer di situ harus bisa bermain golf untuk menemani direktur yang maniak golf. Bentuk-bentuk konformitas semacam ini memang tidak selalu vertikal dari atas ke bawah. Memang pernah terdengar seorang Nomor Satu pada perusahaan penerbangan kita tiba-tiba menggemari aerobik: bangun subuh, lari ke kantor, lalu mandi dan berganti pakaian di kantor itu juga. Ia lalu memerintahkan semua stafnya, termasuk yang bengek, ikut berlari. Dalam birokrasi pemerintah, hal ini pun sering nyata tampak. Bupati main tenis, semua camat ikut main tenis. Sikap konformistis ini pun sering terjadi secara sukarela. Karena tahu bos sedang keranjingan meditasi transendental, maka para manajer pun ramai-ramai ikut meditasi transendental. Kepribadian dan nilai-nilai individual jadi luntur. Apa yang baik untuk bos, pasti baik untuk semuanya. Seorang pemimpin justru harus waspada terhadap situasi ini. Karena, ketika konformitas terbentuk, mereka kehilangan independensi dan kehilangan kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara independen. Segala sesuatunya menungu didikte dan dituntun. Dan pemimpin terpaksa turun menjadi penyelia (supervisor). Dalam buku psikologi ditulis: cara terbaik mengarahkan seseorang ialah membantu orang itu mengembangkan potensi maksimalnya atas dasar kebebasan memilih. Sedikit tentang hal yang kedua, membandingkan seorang karyawan dengan karyawan lainnya. Ini adalah suatu hal yang mutlak harus dihindari. Dalam buku psikologi ditulis: manusia akan berjuang lebih efektif dan lebih produktif bila harus melawan dirinya sendiri. Jadi, daripada mengatakan, "Kenapa sih kamu tidak bisa mencapai target seperti Andi," lebih baik, "Bulan lalu target Anda tercapai 115%, bukan? Nah, dua minggu ini Anda baru mencapai 90%. Anda masih punya waktu dua minggu lagi untuk mengungguli rekor Anda bulan lalu." Nah, kalau bawahan Anda tersenyum maka Anda pun boleh tersenyum. Perusahaan yang beranggotakan orang-orang yang bahagia akan selalu melahirkan sukses. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo