Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Radhinal Indra pura-pura menemukan sebuah dompet. Di dalamnya ada uang ratusan ribu rupiah, kartu identitas dan kartu surat izin mengemudi. Ia lantas bertanya ke sejumlah rekannya soal temuan menggiurkan itu. Reaksi kawannya beragam. Ada yang pusing memijat kening seperti dilema. Ada yang menawarkan sepatu kets baru, dan lainnya terpikir untuk menyumbangkan uang temuan itu ke masjid.
Indra merangkai tanggapan nyata dari situasi fiksi itu untuk menggambarkan renungannya soal pilihan dalam hidup yang harus dihadapi oleh setiap orang. Lewat lukisan Berjudul Sayang No. 5, lulusan Desain Grafis ITB 2010 yang kini berusia 26 tahun tersebut membuat karya seri sebanyak 9 buah. Sebuah diantaranya yang paling besar, berukuran 100 x 100 sentimeter persegi, ditempatkan di tengah. Sisanya yang berukuran masing-masing separuhnya, mengelilingi dengan posisi 90, 180, 270, dan terbalik 360 derajat.
Di Galeri Gerilya, Jalan Raden Patah Nomor 12 Bandung, Indra tengah menghelat pameran tunggal perdananya, sejak 28 Agustus hingga 10 September 2015. Seluruhnya ada 10 judul karya pada pameran yang berjudul menggelitik; Sandang, Pangan, Papan, Sayang, tersebut. Berbahan kanvas, ia memajang semua lukisannya tanpa bingkai dan membagi gambarnya yang bergaya komik ke beberapa panel. Hampir di tiap karyanya itu bersanding dengan selembar mind map ukuran 90 x 60 sentimeter persegi.
Indra, kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, 10 Februari 1989, mengangkat tema realitas sosial kelas menengah urban. Lebih spesifik lagi yang tinggal di Jakarta dan Bandung, berusia kurang dari 30 tahun. Awalnya lelaki kurus berkaca mata itu ingin menyoroti perihal masalah sandang, pangan, dan papan. Ide itu terkait pekerjaannya sebagai desainer grafis di sebuah kantor di Jakarta pada 2014, yang perlu mengkaji dan mencari data seputar kelas menengah.
Hasilnya seperti kutipan pendapat ekonom, analisis riset ekonomi, grafik penghasilan, hingga opini, catatan harian, dan ucapan tokoh berbaur di empat karya berjudul Peta Sayang No.1-4. Semuanya ditulis ulang dengan tangan serta disisipi gambar lukisan kecil sebagai ilustrasi. Misalnya wajah Aristoteles dengan ucapan di bawahnya orang yang bekerja untuk menyambung hidup tidak akan happy!
Sempat merasa karya peta pemikiran itu datar dan dingin karena isinya tersebut, Indra tiba-tiba mendapat ilham setelah mengobrol dan keluar curahan hati (curhat) dari para rekannya yang sesama kelas menengah. Ia merasa curhat keseharian itu sebagai jalan keluar masalah karya barunya, dan dinilai lebih personal serta hidup. Curhat itu beragam, sebagian direka ulang menjadi lukisan.
Sayang No. 1 bercerita tentang seorang cowok yang mengajak makan di restoran cepat saji, namun giliran membayar diserahkan ke pacarnya. Sayang No. 2 soal seseorang yang mumet setelah meng-klik tombol unlike (tidak suka) pada laman akun media sosial kawannya. Lukisan Sayang No. 3 tak kalah gawatnya terkait hubungan dengan orang lain. Di sana ada seorang lelaki yang mengaku ke pasangannya lewat telepon, bahwa ia suka 'jajan' di luar.
Lukisan Sayang No. 4 bercerita tentang seorang cewek yang senang sekaligus takut ketika diajak menemui orang tua pacarnya. Adapun Sayang No. 6 perihal pasangan muda yang menikah lalu punya anak bayi. Mereka sempat takut di tengah kebahagiaan. "Ya Allah, nanti anakku makan apa," kata si ibu bermukena.
Kurator Dwihandono Ahmad alias Doni menyebutkan Indra menelusuri persimpangan kasual para pemuda dan pemudi masyarakat urban yang membuat gamang ketika menentukan pilihan. Aspek ekonomi terlihat mendominasi dalam menentukan keinginan. Namun rasa sayang terkesan lebih menyulitkan pilihan seseorang. Indra kemudian menghentikan observasi empiris atas proses ekonomi terkait sandang, pangan, dan papan. "Dia sempat mengamati di Pasar Baru Bandung untuk melihat situasi ekonomi," ujarnya.
Setelah berdiskusi dengan kurator, mereka sepakat untuk memberdayakan audiens dan pemenggalan momen sebagai ciri yang harus diperkuat dalam pameran ini. Penggunaan idiom komik seperti pemisahan kanvas untuk momen, balon kata, dan bentuk-bentuk elemen ekpresi pendukung yang sering dijumpai di komik, bertujuan menggiring cara baca seperti pada komik. Kelebihannya, kata Indra, karya ini bisa dibaca lewat dua arah. Dari kiri ke kanan atau sebaliknya, bisa menghasilkan narasi yang berbeda. “Saya pikir, dua cara baca dalam satu karya akan membuat bingung sekaligus memicu pertanyaan pembaca,” katanya.
Penggunaan metode desain, seperti memberdayakan audiens, mencari persoalan, gagasan, inspirasi teknik, dan medium dari masyarakat, menjadi metode kekaryaannya. Dengan memilih kejadian tertentu di masyarakat, kemudian di rekonstruksi dalam karya seni untuk disimulasikan kembali ke masyarakat, Indra berharap karya tersebut menjadi pengganggu, penghibur, dan pemicu refleksi.
Sebelumnya, beberapa pameran bersama yang pernah diikutinya sejak 2007 seperti pameran Akar di ITB, Exploring the Root of Identity di Bentara Budaya IKJ pada 2010, HangOutARTS by HangOut di Marleycafe Jakarta 2011, pameran karya mini 15x15x15 Mind’s Eye di Galeri Soemardja Bandung 2012, dan pameran berjudul Moon di Suar Artspace Jakarta 2015.
ANWAR SISWADI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini