Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Ayu Laksmi menyapa ratusan penonton di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu dua pekan lalu. “Coba penonton lihat di bawah kursi, siapa tahu ada angpau,” ujar perempuan kelahiran tahun 1967 itu. Tak sedikit penonton yang kaget karena mereka benar-benar menemukan sesuatu di bawah kursinya, yakni instrumen perkusi sederhana berbentuk dua bilah bambu yang berbunyi ketika saling dipukulkan.
Ayu kemudian mengajak penonton mengiringinya bernyanyi dengan alat musik tersebut, yang langsung ditanggapi mereka dengan antusias. Pertunjukan teater-musikal Ayu Laksmi bertajuk Cinta Satu Titik itu bisa dirangkum dalam satu kalimat, yakni kontemplasi bertemu dengan suka-ria.
Dalam pertunjukan itu, Ayu tak hanya membawakan bait-bait sajak kontemplatif, namun juga guyonan. Tak ketinggalan, selama kurang-lebih dua jam ia juga membawakan belasan lagu dari album Svara Semesta, dan album terbarunya Svara Semesta 2.
“Konser ini digelar dalam rangka peluncuran album terbaru saya, Svara Semesta 2,” katanya ketika ditemui seusai pertunjukan. Dalam album terbaru ini Ayu memuat tujuh lagu, yakni Hyang, Daima, Tri Hita Karana, Btari Nini, Kidung Maria, Gumam Batin, dan Duh Atma.
Ayu menyebutkan Svara Semesta 2 merupakan upayanya untuk menawarkan musik bernuansa Nusantara. Ia merasa prihatin akan musik Indonesia saat ini yang dianggap tidak memiliki identitas, tenggelam dalam pengaruh asing dan melupakan akar budaya milik sendiri. Karena itu, ia memasukkan berbagai elemen musik tradisional ke dalam lagu-lagu di album ini. “Tapi karena Indonesia sangat besar, saya memang harus memasukkannya pelan-pelan,” ujarnya.
Misalnya dalam Daima, nuansa Sumatera Barat dalam lagu ini langsung terasa begitu muncul suara saluang--instrumen tiup dari Sumatera Barat--yang mendayu-dayu dalam nada rendah di awal lagu. Ayu juga bernyanyi dalam bahasa Minang dan cengkok Melayu.
Ayu juga bereksplorasi dengan mempertemukan ciri khas musik satu daerah dengan daerah lain. Dalam Btari Nini, misalnya, Ayu mengawinkan nuansa suling Sunda dengan gamelan Bali. Dalam lagu yang liriknya berbahasa Bali tersebut, Ayu menyanyikannya dalam cengkok Sunda. Meski kental dalam nuansa musik tradisional, rasa musik modern masih terasa karena Ayu tak meninggalkan penggunaan instrumen masa kini, seperti gitar, piano, biola, dan cello.
Lahir sebagai perempuan Bali, banyak lagu dalam album ini yang bisa dikatakan sebagai “persembahan” Ayu kepada identitasnya. Selain Daima, misalnya, ia mengeksplorasi keagungan sosok perempuan lewat Btari Nini (nama lain Dewi Sri) serta Duh Atma. Lewat Tri Hita Karana, ia memasukkan pandangan filosofis Bali tentang tiga jalan menuju kesejahteraan tersebut.
Seperti dalam album sebelumnya, Svara Semesta, yang diluncurkan pada 2010, Ayu juga menyentuh simbol-simbol agamawi dalam musiknya. Yang paling terlihat adalah dalam tembang berjudul Kidung Maria. Dalam lagu ini, Ayu memasukkan rapalan doa Salam Maria dalam bahasa Jawa dan Latin, yang dipadu dengan gamelan Bali. Lalu, dalam Hyang, lagu tentang keintiman hubungan dengan sang Pencipta yang berasal dari puisi Putu Fajar Arcana, ia memasukkan penggalan Tri Sandhya, mantra pemujaan dalam Hindu.
“Saya ingin memuliakan semua ajaran yang dimuliakan oleh sesama. Menjaga hubungan cinta di antara sesama, cinta kepada semesta. Menyampaikan cinta kepada Tuhanku, Tuhanmu, dan Tuhan mereka, melalui kesenian,” katanya.
RATNANING ASIH | HP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini