Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

O, Madat yang Menyengat!

Lebih dari 500 puisi klasik Tiongkok dari berbagai dinasti diterjemahkan dari teks aslinya. Penghimpunnya bukan sastrawan, melainkan seorang arsitek lulusan Universitas Parahyangan.

9 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Purnama di Bukit Langit: Antologi Puisi Tiongkok KlasikPenghimpun dan pengalihbahasa: Zhou FuyuanPenerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007Tebal: 365 halaman

Di musim gugur bunyi terompetmemenuhi udaradi bumi perbatasan biru malammemadatkan bedak

- Balada Gerbang Belibis, Li He

PESONA puisi klasik Tiongkok sudah lama memukau banyak pihak. Musisi Roger Waters, motor grup art rock Pink Floyd, dalam biografinya mengaku mencangkok baris-baris sajak karya dua penyair besar Dinasti Tang (618-907 M), Li He dan Li Shangyin, saat menulis salah satu lagu terkalis kelompok penyebar wabah psikedelik itu: Set the Controls to the Heart of the Sun (album A Saucerful of Secrets, 1968).

Lain halnya di Indonesia. Jangankan sampai menginspirasi musisi industrial, para pujangga pun terkesan lebih tertarik pada kegurihan prosa klasik Tiongkok dibandingkan kelezatan puitikanya. Ambillah contoh empat roman klasik yang dianggap mahakarya sastra Bumi Naga, yaitu Batas Air, Merantau ke Barat, Kisah Tiga Negara, dan Impian di Kamar Merah. Tiga karya pertama ditulis pada Dinasti Ming (1368-1644), dan yang terakhir pada Dinasti Qing (1644-1911). Keempatnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu sejak akhir abad ke-19, bahkan dalam beberapa versi. Tapi puisi klasik?

Leo Suryadinata, profesor ilmu politik-cum-direktur Chinese Heritage Center di Singapura, mencatat hanya segelintir usaha yang pernah dilakukan untuk itu. Antara lain oleh Amir Hamzah lewat beberapa sajak dalam antologi Setanggi Timur, Mundingsari dalam Himpunan Sadjak Tionghoa (1949), Pramoedya Ananta Toer (Tu Fu, 1964), Sapardi Djoko Damono (Puisi Klasik Cina, 1976), dan Wilson Tjandinegara alias Chen Donglong (Sajak Klasik Dinasti Tang, 2001).

Dalam konteks ini, terbitnya Purnama di Bukit Langit: Antologi Puisi Tiongkok Klasik yang dihimpun dan dialihbahasakan oleh Zhou Fuyuan menjadi penting, setidaknya, karena tiga hal. Pertama, tak seperti para penghimpun sebelumnya yang menerjemahkan dari bahasa Inggris, Zhou memilih menerjemahkan 560 sajak dalam antologi ini langsung dari teks aslinya. Bahkan dibandingkan Wilson Tjandinegara yang menerjemahkan sajak-sajak dari teks baihua (bahasa modern hasil saduran), Zhou terlihat lebih "puritan" karena menerjemahkan dari teks gushi (sajak kuno) yang asli.

Kedua, pemilahan tematik yang dilakukan Zhou dengan membagi bukunya dalam dua bagian besar, yang masing-masing terdiri dari tujuh tema, bahkan dengan memerinci lagi setiap naskah berdasarkan era dinasti yang sedang berkuasa, membuat Zeitgeist (semangat zaman) masing-masing periode menyelinap anggun dari karya-karya penyair yang dipilih. Misalnya pada larik-larik yang mendenguskan bing tai mei, "keindahan yang menyakitkan", dari penyair jenial Li He (790-816) yang berjulukan Penyair dengan Bakat Iblis karena kekelaman alusinya yang menyengat.

Ketiga, Zhou memberikan konteks biografis pada 17 penyair terpenting, mulai dari Qu Yuan (339-278 SM) sampai Nalan Xingde (1655-1685), yang membuat bobot antologi ini semakin bertambah. Dari semua faktor itu, kalau fakta ini dianggap penting dan signifikan, Zhou Fuyuan, 51 tahun, bukanlah seorang sastrawan dalam definisi yang umum dikenal masyarakat. Ia seorang arsitek alumnus Universitas Parahyangan, Bandung, yang kini membuka firma arsitek di Jakarta. "Saya mengerjakan antologi itu selama lima tahun," ujarnya kepada Tempo.

Ketika masih duduk di bangku SD Xin Zhong, Surakarta, pada awal 1960-an, Zhou merupakan penggemar komik Cina sebelum gandrung pada cerita-cerita silat. Lalu saat ia duduk di kelas 4, meletuslah peristiwa G30S yang diikuti dengan terpinggirkannya bacaan-bacaan itu karena pertimbangan politik. "Setelah saya dewasa, teks-teks gushi yang saya beli di Hong Kong, Cina, atau Singapura biasanya saya sembunyikan di bawah koper dalam perjalanan pulang ke Indonesia," katanya.

Kini ketekunan Zhou mulai berbuah. Meski salah satu kelemahan dari antologi ini adalah tidak disertakannya Shi Jing, semacam pantun rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi, Leo Suryadinata menabalkan buku ini sebagai "kumpulan sajak Tiongkok klasik dalam bahasa Indonesia yang paling lengkap". Sementara Sapardi Djoko Damono, yang memberi ulasan penutup, memulainya dengan sebuah maksim bahwa puisi Tiongkok klasik baginya laksana opium.

Dan memang begitulah adanya. Sedot saja seluruh larik dalam-dalam sambil memandang purnama yang tergelincir di bukit langit. Nikmat. Menyengat.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus