Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH menjadi anggota Konstituante (1959), ia tak lagi
tergiur pada jabatan politik. Ia menolak jabatan yang disodorkan
Bung Karno untuk menjadi menteri agama di zaman Nasakom. Bahkan,
sebagai ulama yang cukup terpandang di kalangan Nahdatul Ulama
(NU), ia juga menolak ketika ditawari untuk menjadi rois am,
bahkan rois akbar.
Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin, pimpinan Pondok Pesantren
Salafiyah Syafiiyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus,
Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, agaknya memang hanya tertarik
mengurusi pesantrennya. "Saya ini bukan orang politik, saya ini
orang pesantren," kata kiai berusia 86 tahun itu. Lebih-lebih
karena pengalaman selama menjadi anggota Konstituante
(1957-1959): selama itu pula pesantrennya sangat mundur.
Bukan berarti Kiai As'ad menyembunyikan diri dari keriuhan
politik dan hingar-bingar NU, yang sampai kini tak pernah
selesai tuntas. Terbukti dari kegiatannya menerima tamu yang tak
putus-putusnya. Banyak pengamat menilai, Kiai As'ad adalah salah
seorang dari sedikit ulama yang pandai menjembatani jika ada
"ketegangan" antara pemerintah dan umat Islam, khususnya NU.
Ketika ribut-ribut soal buku PMP, Kiai As'ad tanpa banyak
bicara, langsung menemui Pak Harto. "Bagaimana Pak, buku PMP ini
'kan bisa merusak akidah umat Islam," kata Kiai mengulang
pembicaraan yang sudah setahun lebih itu. Berbicara begitu, Kiai
As'ad memberi beberapa contoh yang semestinya dikoreksi. Pak
Harto, menurut Kiai, berjanji akan menyelesaikannya. "Ternyata
buku itu akhirnya disempurnakan," kata Kiai, yang sudah 15 kali
ke Mekah.
Di saat ribut-ribut soal asas tunggal Pancasila, awal Agustus,
untuk kesekian kalinya, Kiai As'ad menemui Pak Harto di Cendana.
Pertemuan itu, yang dihadiri juga oleh Menteri Agama K.H.
Munawir Syadzali yang direncanakan cuma 15 menit, mekar menjadi
1 jam. Kepada Presiden ditegaskan pendirian NU yang menerima
Pancasila. "Ini penting ditegaskan, karena NU sejak semula
berlandaskan Pancasila dan UUD 45," tuturnya. Presiden, menurut
Kiai, manggut-manggut. Bahkan Kiai As'ad lebih menegaskan,
"Islam wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila
menolaknya. Sila pertama itu selaras dengan doktrin tauhid dan
Qulhuallahu Ahad."
Dalam kemelut NU, Rois Am K.H. Ali Ma'shum, bersama pengurus NU
lainnya, mondar-mandir ke Situbondo. Kiai As'ad dipercayai
menjadi "penengah" penyelesaian kericuhan setelah K.H. Idham
Chalid, sebagai pucuk pimpinan PBNU, menyatakan mundur - tapi
kemudian mencabut pernyataan itu.
Di pesantrennya, Kiai menempati rumah sederhana berdinding papan
berukuran 3 x 6 meter. Rumah yang terletak di antara asrama
santri wanita dan santri pria itu tergolong paling jelek di Desa
Sukorejo. Tapi tidak sembarang tamu boleh berkunjung ke rumah
itu - sebab yang diterima di sana hanya yang sudah dianggap
keluarga. Para pejabat, dari lurah sampai menteri, diterima di
rumah yang lebih bagus, milik anaknya. Di rumah si anak tersedia
ruang berukuran sekitar 30 m2 yang digelari permadani untuk tamu
yang ingin bermalam, atau terpaksa bermalam, menanti giliran
menemui Kiai, yang semua gigi atasnya sudah tanggal.
Di pesantren seluas 7 hektar inilah nanti, November 1983, akan
berlangsung Musyawarah Nasional NU. Untuk itu, semua biaya
ditanggung pesantren pimpinan Kiai As'ad ini. Warga NU di
Situbondo dan Bondowoso langsung terlibat. "Akan saya
perintahkan untuk menyumbang beras satu kilogram setiap orang,"
kata Kiai. Beras itu dimaksudkan untuk konsumsi peserta
musyawarah nasional yang diperkirakan lebih dari seribu orang.
Kiai yang tampak sehat ini tak menjelaskan agenda munas itu.
Kiai As'ad, yang rajin membaca dan berlangganan enam koran
ditambah sebuah majalah mingguan berdarah Madura asli. Lahir
tahur 1897 di Mekah ketika orangtuanya menunaikan ibadat haji.
Satu satunya adiknya, Abdurrahman juga lahir di kota suci itu
dan bahkan menjadi hakim dan meninggal di Arab Saudi.
Pada umur 6 tahun, oleh ayahnya, K.H. Syamsul Arifin, seorang
ulama besar di Madura, K.H. As'ad ditaruh di Pesantren Sumber
Kuning, Pamekasan. Menginjak usia 11 tahun, As'ad diajak
ayahnya menyeberangi laut dan membabat hutan di sebelah timur
Asembagus yang waktu itu terkenal angker "Dulu tidak ada orang,
kecuali ha- rimau dan ular berbisa," kata Kia As'ad mengenang.
Di bekas hutan perawan itu, mereka membangur permukiman yang
kemudian menjadi Desa Sukorejo.
Pada usia 16 tahun, bersama seorang adiknya, Abdurrahman. As'ad
dikirim kembali ke Mekah dengan harapan setelah pulang mewarisi
Pesantren Sukorejo. Hanya 3 tahun bertahan di Mekah, ia kembali
ke tanah air dan masih belajar di beberapa pesantren. Di
berbagai pondok ini, bukan cuma agama yang dipelajari, juga ilmu
silat, ilmu kanuragan.
As'ad juga pernah belajar di Pondok Tebuireng pimpinan K.H.
Hasyim Asyari, dan menjadi kurir ulama ini menjelang lahirnya NU
tahun 1929. Setelah NU berkembang, ia ternyata tak terpaku hanya
pada NU. As'ad juga memasuki Sarekat Islam selama pernah menjadi
anggota organisasi Penyedar - yang didirikan Bung Karno. Di
sinilah, As'ad kenal dekat dengan presiden pertama ini. Di
tengah gejolak perjuangan itu (1939), K.H. As'ad menyunting
gadis Madura, Zubaidah. Dan kini dikaruniai lima anak. Si
bungsu, satu-satunya lelaki, Ahmad Fawaid, kini baru 14 tahun.
Empat anak perempuannya semua sudah kawin dan memberinya
sembilan cucu serta tiga buyut.
Pesantren Sukorejo di bawah K.H. As'ad kini berkembang dengan
pesat. Terletak di pinggir jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7
km sebelah timur Kecamatan Asembagus. Dipintu gerbangnya
tertulis bahasa Arab Ahlan Wa Sahlan dan bahasa Inggris Welcome.
Di pondok ini selain dikembangkan pendidikan gaya pesantren,
juga ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan Universitas
Ibrahimy. Santri yang mengaji d pesantren sekitar 3.000, dan
jika dihitung semua siswa (santri dan murid sekolah umum)
berjumlah 4.100 orang. Kompleks ini dijuluki "kota santri".
Apalagi ada lapangan di tengah pondok dan santri setiap saat
terlihat main bola - memakai sarung.
Di pondok ini ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi
As'ad membangun masjid yang jauh lebih besar di luar kompleks
Barangkali dimaksudkan agar para santrl lebih menyatu dengan
masyarakat sekitarnya.
Kiai yang rajin memelihara tanaman hias ini pernah mempunyai
seekor kuda putih warna kegemarannya. "Nabi Ibrahim kudanya
juga putih," katanya tentang kuda itu. Sayang, kuda itu telah
mati dan belum ditemukan kuda putih sebagai pengganti. Namun,
ada "kuda" lebih gesit yang dimiliki Kiai sekarang, yaitu mobil
kolt. Juga putih.
Selain rajin mengurusi enam ekor ayam hutannya, kiai ini juga
memelihara seekor burung beo yang pintar berbicara. Jika ada
tamu yang datang, burung itu memberi salam: assalamu'alaikum.
Dan bila sang tamu membalas tegur sapa sang beo, biasanya tamu
lantas ketawa, lantaran si beo membalas dengan kata-kata
assooiiii ... Tapi burung beo itu pun, menurut santrl di sana,
menyerukan Allahuakbar bila bergema suara azan. "Burung ini
pemberian orang sebagai hadiah," kata seorang pembantu Kiai
As'ad.
Toh ada yang khawatir tentang pesantren yang populer di Jawa
Timur ini. Termasuk Kiai As'ad sendiri. Pasalnya, adalah soal
usia Kiai yang sudah cukup sepuh, sementara pewaris
satu-satunya, Ahmad Fawaid, masih sangat muda. "Saya tak tega
menyekolahkan Ahmad ke Arab Saudi, usianya masih muda - mungkin
tiga tahun lagi," ujar Kiai. "Sang putra mahkota", walau tekun
juga mengaji bersama teman sebayanya, kamarnya penuh dengan
kaset, radio, televisi, bahkan video. Sebagai anak muda, "hampir
setiap saat ia tenggelam dengan hiburan itu," ujar seorang
pembantu Kiai. Untuk Ahmad Fawaid memang disediakan kamar khusus
yang jauh dari rumah papan Kiai As'ad. Tapi sejak beberapa waktu
lalu telah ditunjuk K.H. Dhofir Munawar, menantu Kiai As'ad dari
anak pertamanya, sebagai pengelola pesantren sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo