Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Saat Ranto Membaca Puisi Setiap Pagi

Wawan Kurniawan menulis puisi, cerpen, esai, dan menerjemahkan beberapa karya. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi dan kumpulan cerpen.

17 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat Ranto Membaca Puisi Setiap Pagi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawan Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ranto membaca puisi kedua ribu tiga ratus tujuh puluh satu untuk Narina, istrinya. Setiap kali Ranto hendak mulai membaca bait demi bait, dia akan terkenang saat istrinya mengucapkan sebuah permintaan. Dua hari setelah dokter memberikan diagnosa bahwa istrinya menderita penyakit alzheimer, di ruang tamu selepas mereka sarapan, istrinya berpesan:

“Aku masih ingat saat membaca puisi pertama yang kau kirim, semoga aku tetap bisa mengingat hari itu. Barangkali jika kau membacakan puisi kepadaku, aku tidak akan melupakan kenangan kita. Aku juga bisa mengingat saat kau mengajari tiga orang anak kita membaca puisi sejak mereka bisa membaca. Nirwan paling senang dengan puisi, seharusnya dia jadi penyair saja. Oh, aku tak ingin melupakan semua itu!”

Mendengar itu, Ranto terdiam, lalu meneguk segelas air putih, melihat keluar jendela, kemudian mencoba memikirkan hari yang akan datang. Dia masih belum bisa menerima jika istrinya akan benar-benar kehilangan seluruh ingatan yang dimiliki.

“Bagaimana? Aku ingin kau membaca puisi untukku, puisi yang kau ciptakan sendiri! Setidaknya, aku percaya puisi selalu bisa memberi keajaiban.”

Ranto terdiam sejenak lalu mengangguk pelan lalu memeluk istrinya. Akhirnya, tangis dari sepasang suami-istri itu pun pecah.

***

Setelah penyakit alzheimer membuat ingatan Narina menghilang secara perlahan, Ranto mulai rutin membaca puisi setiap pagi demi mengikuti permintaan istrinya. Sebelum tidur, Ranto menulis bait-bait puisi untuk Narina, kadang tuntas, kadang hanya sebatas judul. 

Dulu, dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menemukan kata yang tepat atas perasaannya. Pada saat itu, sekalipun sudah sepanjang hari tak menemukan kata yang sesuai keinginannya, Ranto tetap berkeras untuk duduk menulis puisi hingga puisi itu cukup matang. Setelah Narina hilang ingatan, Ranto mesti meluangkan banyak waktu untuk menjaga dan merawatnya setiap hari.

Ingatan Narina tak menentu. Hari Senin, misalnya, Narina bisa lupa dengan namanya sendiri. Hari Selasa, Narina tak mengenal Ranto. Hari Rabu, Narina bisa kembali mengingat namanya, serta kenangan-kenangan indah bersama Ranto. Hari Kamis, Narina bisa tak mengenal Ranto dan anak-anak mereka: Nirwan, Namia, dan Rinanda. 

Ingatan Narina terus memudar. Ranto, dalam lubuk hatinya yang terdalam, mencoba berharap bahwa puisi-puisi yang dia bacakan setiap pagi dapat membantu Narina menjaga ingatannya. Ranto rutin membacakan istrinya puisi di halaman belakang rumah. Dulunya mereka berniat membuat kebun kecil bersama tiga anak mereka. Namun, kebun itu tidak pernah digarap dengan baik dan mereka pun menyerah. Kini lahan itu dipenuhi hamparan rumput hingga tembok pembatas. Di sudutnya berdiri sebuah pohon ketapang yang membuat suasana menjadi lebih teduh. Di bawah pohon itu, mereka menyimpan enam kursi empuk berbeda warna serta meja kayu berbentuk persegi panjang yang jadi tempat favorit Ranto saat membaca atau menulis.

***

Di halaman belakang, Narina duduk bersandar pada kursi empuk berwarna abu-abu, sedang Ranto berdiri membacakan puisi yang ditulis pada selembar kertas. Saat Ranto mulai membaca, Narina akan menatapnya dengan sungguh-sungguh atau akan melihat daun-daun ketapang yang berhamburan. Adegan inilah yang membuat Ranto merasa lebih muda setiap pagi, meski rambutnya telah beruban dan keriput di wajahnya semakin bertambah, serta satu-dua giginya longgar dan tinggal menunggu hari hingga gigi-gigi itu menjatuhkan dirinya sendiri. 

Ranto selalu membaca puisinya dengan intonasi pelan dan jelas, namun kadang suaranya terlalu kecil. Meskipun begitu, semua itu cukup membuat Narina merasa lebih baik. Sehabis membaca puisi, Narina akan tersenyum beberapa saat. Bahkan saat Narina tak mengingat apa-apa setelah mendengar puisi itu. Mendengar bait-bait indah itu, Narina tahu dirinya istimewa di mata Ranto. Melihat senyum Narina, Ranto yakin harapannya akan terpenuhi. Narina kelak akan sembuh, pikirnya.

***

Anak-cucu Ranto dan Narina jarang berkunjung lantaran tempat kerja mereka berada di luar kota, kecuali Nirwan, anak pertama. Jarak rumahnya tak begitu jauh. Dia kerap datang bersama istri dan anaknya, biasanya pada akhir pekan agar bisa menginap.

Berbeda dengan ayahnya, Nirwan lebih bisa menerima jika ibunya tidak punya peluang lagi untuk disembuhkan. Usia tua serta fisik lemah Narina membuat harapan sembuhnya begitu kecil. Penjelasan dokter membuat Nirwan kehilangan asa. Dia bahkan mengira dua atau tiga tahun lagi, ibunya akan meninggal akibat penyakit itu. Baginya, mengharapkan kesembuhan Narina nyaris seperti mengharapkan matahari terbit di malam hari. Yang bisa dia lakukan hanya menghibur ayahnya dan ikut merawat ibunya sebaik mungkin. Namun, dugaan Nirwan tidak sepenuhnya tepat, usia ibunya lebih lama dari yang diprediksi, dokter pun terheran dengan situasi ini.

Nirwan ingin ayah dan ibunya tinggal di bawah atap yang sama dengannya. Namun Ranto berkeras untuk merawat istrinya di rumahnya sendiri. 

“Lagipula, bapak masih sehat. Kau tak perlu cemas dengan ibumu.”

“Tapi, bapak bisa kelelahan dan sakit kalau terlalu banyak mengurusi ini dan itu.”

“Tidak, biarkan bapak saja, Nak!” bantahnya. Tak lama setelah itu, Ranto tersenyum, lalu memeluk Nirwan.

Meski Nirwan paham ayahnya telah teguh dengan pendiriannya, setiap kali ada kesempatan, dia selalu mencoba kembali mengajak ayahnya untuk pindah di rumahnya. 

***

Pagi ini, saat Ranto sedang membacakan puisinya yang kedua ribu tiga ratus tujuh puluh satu, Nirwan duduk di samping ibunya. Alusia, anak bungsu Nirwan yang baru berumur enam tahun, ikut di sampingnya. 

“Lihat…lihat ayah, kakek bicara sendiri!”

Nirwan merapatkan jari telunjuknya di bibir Alusia, “Sssst…diam dulu Alusia!” Setelah teguran itu, Alusia ikut melihat Ranto membaca bait-bait yang baru dia tulis malam sebelumnya. 

Setelah Ranto membacakan puisinya, diciumlah kening Narina. Narina tersenyum namun hanya tampak sekilas. Ranto lalu menuntun Narina kembali ke dalam rumah. Nirwan dan Alusia mengikuti dari belakang. 

“Ayah, kenapa Nenek diam saja?”

Sebelum Nirwan menjawab, Ranto berbalik dan menjawabnya.

“Nenek masih istirahat Alusia, besok juga Nenek sudah bicara lagi!” 

“Kakek tadi kenapa bicara sendiri?” tanya Alusia.

Kali ini, Nirwan menjawab. “Kakek sedang mengobati Nenek, jadi nanti Nenek bisa bicara lagi”

Sampai Nirwan dan Alusia pulang, Narina tak berbicara sama sekali. Narina telah tiba pada hari ketika dia melupakan nama-nama orang di sekitarnya. Baik, Ranto, Nirwan, hingga Alusia, tak lagi terekam di ingatan Narina.

***

Pada hari kelima ribu tujuh ratus dua puluh enam Ranto merawat istrinya, Narina tiba-tiba berteriak-teriak sendiri. Saat itu Ranto tengah menyiapkan makan malam di dapur. Mendengar teriakan istrinya, Ranto berhenti memotong sayur, mematikan kompor, dan segera berlari menuju ruang tengah. 

“Kau siapa?” tanya Narina, menunjuk-nunjuk suaminya dari jauh.“Kenapa aku ada di tempat ini?”

Saat Ranto mendekat, Narina mengambil buku catatan berwarna cokelat di meja lalu melemparkannya hingga mengenai kepala Ranto. “Jangan mendekat!”

“Tenanglah…”

“Kau siapa?” Narina tidak menghiraukan Ranto, malah dia semakin berteriak dengan keras, “Ini ada di mana?”

Ranto mengambil buku catatan yang dilemparkan Narina. “Aku akan membacakanmu puisi.”

Dia memilih puisi yang disenangi Narina. Ada kata “kaca”, “jembatan”, “langit”, “kerikil”, “daun kering”, juga “rembulan”. Setelah dua bait berlalu, Narina terdiam. Saat itu juga Ranto menghampiri dan memeluknya sangat erat.  

Ini bukan kali pertama. Sudah enam ratus dua puluh lima kali Narina terbangun dari tidur dan tak mengenali rumahnya sendiri. Bertahun-tahun Ranto melalui masa-masa pelik seperti itu sembari terus meyakinkan dirinya bahwa Narina akan sembuh. 

Harapan besar Ranto membuatnya selalu merasa bergairah, bahkan dia sering terbawa mimpi melihat istrinya kembali sembuh dan mereka bergantian membacakan puisi.

Hingga pada akhirnya, lima belas hari sebelum Narina meninggal dunia, Ranto memimpikan halaman belakang rumahnya terasa segar di bawah langit pagi yang biru. Ranto duduk santai di sana, bersandar pada kursi empuk berwarna kuning. Tapi ia tak mengenali tempat itu. Ia bertanya-tanya.

“Di mana ini? Apa aku pernah ke tempat ini?”

Dia seketika melihat Narina berdiri di hadapannya. Narina membacakan puisi. Ranto tak mengenali Narina, tapi ia mengenali puisi yang dibacakannya. Itu salah satu dari lima ribu dua ratus enam puluh tiga puisi yang pernah ditulis Ranto. 

***

Di halaman belakang rumah Ranto, rumput mengering, warna kursi luntur, sebuah buku catatan terbuka dengan halaman yang penuh dengan corat-coret. Ranto duduk memandangi daun ketapang yang gugur berjatuhan, sembari mengenang hal-hal yang tak terhingga perihal Narina yang melupakan dirinya di akhir hayatnya. Tanpa sadar, dirinya menitikkan air mata.

 

 

 

Wawan Kurniawan menulis puisi, cerpen, esai, dan menerjemahkan beberapa karya. Beberapa karyanya berupa kumpulan puisi: Persinggahan Perangai Sepi (2013), Sajak Penghuni Surga (2017), dan Museum Kehilangan (2021). Kumpulan cerita pendek pertamanya terbit pada Maret 2021 dengan judul Aku Mengeong oleh penerbit Indonesia Tera.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus