Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan segera berbenah diri seiring dengan rencana pemerintah menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan. Juru bicara BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf berujar lembaganya sudah punya segambreng rencana perbaikan untuk beberapa waktu ke depan.
Perbaikan itu, kata Iqbal, akan mengacu kepada hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. "Perbaikan kinerja kan ada ukurannya. Hasil audit BPKP itu menjadi hal yang harus dilakukan BPJS Kesehatan untuk melakukan perbaikan," ujar dia kepada Tempo, Kamis, 5 September 2019.
Secara umum, Iqbal menceritakan persoalan dalam pelayanan yang terjadi dalam beberapa tahun keberjalanan lembaga jaminan sosial kesehatan itu erat kaitannya dengan perkara pembayaran. Pelayanan yang diberikan rumah sakit sebagai mitra BPJS Kesehatan acapkali tak maksimal lantaran pembayaran jaminan sering macet.
"Ada keluhan kalau rumah sakit lama enggak dibayar itu kan mempengaruhi juga kepada pelayanan mereka," ujar Iqbal. Padahal, BPJS Kesehatan bertanggung jawab memastikan pelayanan kepada peserta tetap berjalan dengan baik. Misalnya saja, obat-obatan bisa tetap dijamin, sehingga peserta layanan itu tidak lagi dipaksa membayar obat di luar yang telah ditanggung.Tindak lanjut BPJS Kesehatan terkait hasil audit BPKP. SUmber: BPJS Kesehatan.
Persoalan keuangan memang tak kunjung lepas melilit tubuh lembaga yang dipimpin oleh Fachmi Idris itu. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, defisit BPJS Kesehatan terus melebar sejak 2014 lalu. Kendati, pemerintah juga terus memberi bantuan keuangan kepada lembaga jaminan sosial kesehatan tersebut.
Pada 2014, defisit itu tercatat Rp 1,9 triliun dan belum ada bantuan pemerintah yang digelontorkan. Angka tersebut melebar menjadi Rp 9,4 triliun pada 2015. Dengan adanya injeksi pemerintah RP 5 triliun, defisit itu berkurang menjadi Rp 4,4 triliun.
Berikutnya, pada 2016 defisit BPJS Kesehatan tercatat Rp 6,7 triliun. Namun, dengan bantuan pemerintah Rp 6,8 triliun, angkanya pun surplus menjadi Rp 100 miliar. Setahun kemudian, angka itu lubang defisit kembali menganga ke angka Rp 13,8 trliun. Suntikan dana pemerintah Rp 3,6 triliun berhasil memangkas defisit menjadi Rp 10,2 triliun.
Tak kunjung sehat, defisit di 2018 kian melebar dengan mencapai Rp 19,4 triliun. Meski telah diberi dana pemerintah Rp 10,3 triliun, defisit tetap ada di angka RP 9,1 triliun. Tahun ini, defisit keuangan yang ditanggung BPJS Kesehatan diestimasikan mencapai Rp 28,5 triliun.
Karena itu, dengan adanya kenaikan tarif iuran itu diharapkan bisa menyelesaikan permasalahan keuangan tersebut, sehingga berimbas pula kepada pelayanan kepada masyarakat. "Seperti yang disampaikan Menteri Keuangan, kenaikan tarif iuran dalam jangka pendek bisa menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi," ujar Iqbal. "Memang harus secara simultan dengan upaya pengendalian biaya pelayanan kesehatan."
Dalam jangka panjang, Iqbal berujar BPJS Kesehatan sudah menyiapkan rencana kerja untuk berbagai sektor. Misalnya saja pada pengelolaan kepesertaan. Perusahaan akan melakukan optimalisasi fungsi pemasaran dan melakukan penetrasi pasar guna menjaring lebih banyak masyarakat yang tergabung dalam jaminan sosial nasional ini.
Bersamaan dengan itu, pemutakhiran dan pembersihan data terus dilakukan. Sebab, selama ini pendataan peserta menjadi salah satu temuan dalam audit BPKP.
Untuk menggenjot kolektabilitas, kanal-kanal pembayaran bakal diperluas. Misalnya moda pembayaran untuk Peserta Bukan Penerima Upah nantinya bisa dilakukan dengan auto-debit. Di samping itu, ada upaya memperluas moda pembayaran ke sektor retail. Berdasarkan data BPJS Kesehatan, jumlah peserta mandiri tercatat 14 persen dari populasi. Sementara, yang aktif membayar tercatat hanya sekitar 54 persen.
Rencana pengelolaan kepatuhan juga dilakukan melalui sinergi dan integrasi data dengan lembaga terkait untuk meningkatkan kepatuhan Pemberi Kerja. Selain itu, advokasi sinergi kebijakan pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan pemberi kerja dan peserta berdasarkan kewenangan masing-masing lembaga pemberi layanan publik.
Contohnya, kepesertaan Program Jaminan Kesehatan menjadi persyaratan dalam pelayanan SIUPP oleh Pemda, pelayanan SIM dan STNK oleh Polri, pelayanan Akta Kelahiran oleh Catatan Sipil, dan lainnya. Lembaga jaminan sosial kesehatan juga bakal bersinergi dengan BPJS Ketenagakerjaan terkait pembayaran iuran dan pemberian sanksi, dan Peningkatan intensitas pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan terhadap pemberi kerja dan peserta.
Pembenahan manajemen belakangan memang disuarakan oleh berbagai pihak apabila pemerintah ngotot mau menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan. Usul itu salah satunya disuarakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
"Jika pemerintah tetap ngotot akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan, maka YLKI mendesak pemerintah dan managemen melakukan reformasi total terhadap pengelolaan BPJS Kesehatan," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.
Beberapa hal yang mesti dilakukan antara lain verifikasi ulang daftar peserta kategori penerima bantuan iuran. Nama penerima PBI itu pun, kata Tulus, harus terbuka kepada publik agar transparan dan akuntabel. Di samping itu, Manajemen BPJS Kesehatan harus membereskan tunggakan iuran dari kategori mandiri atau pekerja bukan penerima upah.
"Fenomena tunggakan ini jika dibiarkan akan menjadi benalu bagi finansial BPJS Kesehatan. Di sisi yang lain, kenaikan iuran untuk kategori peserta mandiri juga akan memicu tunggakan dari peserta mandiri akan semakin tinggi," kata dia.
Dalam lain kesempatan, anggota Ombudsman RI Dadan Suparjo Suharmawijaya menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu seyogyanya didahului oleh perbaikan layanan kepada masyarakat. Sebab, ia mengaku masih menemui sejumlah persoalan di lapangan terkait pelayanan kepada pasien peserta BPJS Kesehatan.
Misalnya saja di Kepulauan Talaud, ia mengatakan para peserta BPJS Kesehatan di sana hanya bisa mengakses rumah sakit tipe C, sehingga layanannya terbatas. Sementara, rumah sakit dengan layanan yang lebih lengkap baru bisa didapat, misalnya di Manado, yang membutuhkan biaya transportasi tinggi untuk dicapai. "Padahal peserta BPJS Kesehatan dikenai tarif yang sama di semua wilayah."
Belum lagi cerita klasik soal pasien-pasien peserta BPJS Kesehatan yang tidak mendapat kamar sehingga tidak bisa dirawat di suatu rumah sakit. Padahal di saat yang sama pasien umum tetap bisa mendapat kamar. Dadan mengatakan persoalan-persoalan layanan seperti itu lah yang perlu dibenahi sebelum ada kenaikan tarif.
Di samping itu, Dadan berpendapat BPJS Kesehatan sejak awal dirancang berbeda dengan perusahaan asuransi murni. Layanan itu adalah Sistem Jaminan Sosial Negara yang merupakan komitmen negara untuk memberi manfaat optimal kepada masyarakat. Karena itu, kalau terjadi defisit, semestinya negara ikut menanggung dan bebannya tidak serta merta dibebankan kepada peserta.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo memastikan premi iuran untuk peserta mandiri Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan atau BPJS Kesehatan kelas I dan II bakal naik mulai 1 Januari 2020. Ia mengatakan kebijakan tersebut akan diatur dalam peraturan presiden atau perpres.
“Kami akan sosialisasikan dulu kepada masyarakat,” ujarnya saat ditemui seusai menggelar rapat dengan Komisi IX dan XI DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 2 September 2019.
Mardiasmo menjelaskan, besaran kenaikan iuran kelas I dan II sesuai dengan yang diusulkan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebelumnya, Sri Mulyani meminta iuran kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. Sedangkan iuran kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu.
Adapun kenaikan iuran peserta mandiri kelas III masih ditangguhkan lantaran rencana itu ditolak oleh DPR. DPR meminta kenaikan iuran ditunda sampai pemerintah melakukan pembenahan data atau data cleansing bagi peserta penerima jaminan kesehatan nasional atau JKN.
Sesuai hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan 2018, saat ini masih ada 10.654.539 peserta JKN yang bermasalah. DPR khawatir ada masyarakat miskin yang masih terdaftar sebagai peserta mandiri JKN kelas III.
Adapun, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan, pihaknya tengah menyusun peraturan presiden (perpres) yang nantinya menjadi payung hukum kenaikan iuran BPJS Kesehatan. "Ada, sudah ada [perpres]. Sudah dalam proses. [Target] secepatnya. Harusnya sebelum Oktober sudah selesai [perpres]," kata dia di Kantor Presiden, Rabu 4 September 2019.
Soal usulan angka baru, Puan menegaskan belum ada keputusan mengenai hal itu. "Nanti kami lihat lagi, terkait angka. Nanti akan kita lihat sesuai hasil DPR apakah perlu dikaji lagi," ia menambahkan.
Puan memastikan, sebelum ada penyesuaian premi BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan akan melakukan sejumlah upaya perbaikan sesuai dengan rekomendasi DPR dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
CAESAR AKBAR | FRANCISCA CHRISTY | BISNIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini