Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Fintech Syariah, Indonesia Dinilai Lebih Unggul dari Malaysia

Indonesia dinilai menjadi negara yang paling siap untuk mengembangkan industri financial technology (fintech) syariah.

7 Juli 2018 | 20.30 WIB

Presiden Jokowi memberikan arahan pada acara Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 di ICE, BSD City, Serpong, 30 Agustus 2016. TEMPO/Aditia Noviansyah
Perbesar
Presiden Jokowi memberikan arahan pada acara Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 di ICE, BSD City, Serpong, 30 Agustus 2016. TEMPO/Aditia Noviansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia dinilai menjadi negara yang paling siap untuk mengembangkan industri financial technology (fintech) syariah. Kendati jumlah perusahaan yang terdaftar masih sedikit, tetapi dukungan regulator telah mendorong pertumbuhan industri tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Ketua Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) Ronald Yusuf Wijaya menilai regulator sudah memberikan dukungan yang cukup untuk mendorong pertumbuhan industri fintech syariah dengan memberikan keleluasaan setiap perusahaan untuk mendaftar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menjelaskan dari 6 perusahaan fintech syariah di Malaysia, baru 1 yang mendapat lisensi dari regulator. Adapun regulator tidak membatasi jumlah fintech yang terdaftar, asalkan memenuhi syarat yang berlaku dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

“Aneh kan? Padahal [Malaysia] negara muslim. Di sana, pemerintah hanya mau mengeluarkan enam izin setiap tahun, sedangkan di Indonesia tidak ada batasannya. Seharusnya kita siap untuk menjadi hub finansial keuangan syariah dunia,” ujar Ronald usai acara The 3rd Annual Islamic Finance Conference (AIFC), seperti yang dilansir di Bisnis.com, Sabtu 7 Juli 2018.

Sementara itu, fintech syariah pun disebut belum terlalu berkembang di Timur Tengah.

Data forum fintech syariah internasional, IFN Fintech, menunjukkan ada sekitar 100 fintech berbasis syariah di dunia. Sebanyak 46% berada di Asia dan 23% berada di negara Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East and North Africa/MENA).

Hingga akhir Juni 2018, OJK mencatat ada 64 perusahaan fintech berbasis peer-to-peer(P2P) lending. Untuk yang berbasis syariah, sudah ada tiga perusahaan yang terdaftar yakni PT Ammana Fintek Syariah (Ammana), PT Dana Syariah Indonesia (Dana Syariah), dan PT Investree Radhika Jaya (Investree).

Sejak berdiri lima bulan yang lalu, saat ini anggota AFSI telah mencapai 45 perusahaan.

Ronald melanjutkan hingga awal Juli 2018, terdapat lima perusahaan fintech syariah yang sedang mengantre untuk mendapatkan bukti terdaftar dari OJK. Di antaranya adalah Ethis Indonesia, Syarfi, Kapital Boost, Danaku Syariah, dan Syarq.

Kendati demikian, industri fintech syariah dalam negeri masih dihadapkan dengan sejumlah tantangan. Tantangan terbesar adalah rendahnya edukasi kepada masyarakat.

Bahkan, menurut AFSI, masih banyak masyarakat yang belum memahami industri fintech. Selain itu, proses pendaftaran yang jauh lebih rumit juga dinilai menjadi tantangan.

“Kalau kami mau daftar, kami harus lari dulu ke Direktorat Industri Keuangan Non Bank Syariah OJK untuk dicek dulu semua akadnya. Lalu, kami juga diminta untuk Dewan Syariah Nasional [DSN] jadi pekerjaan rumah tambah banyak. Kami berharap pemerintah dapat mendukung supaya ada percepatan,” tuturnya.

BISNIS.COM

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus