Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Aliansi Bupati dan Wali Kota Peduli Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Hasto Wardoyo mengatakan peraturan daerah kawasan tanpa rokok bukan untuk melawan petani tembakau. Sebab,yang dibatasi adalah konsumsi rokoknya, bukan produksi tembakau petaninya.
“Jadi membatasi perokok tidak harus berkelahi dengan petani tembakau,” kata Hasto dalam acara Pertemuan Aliansi Bupati/Walikota dan Pemberian Apresiasi Bagi Pemda yang Telah Menerapkan Perda/Kebijakan Lain dalam Pengendalian Konsumsi Tembakau di Hotel Alana Yogyakarta, Rabu, 12 Juli 2017.
Hasto yang juga Bupati Kulon Progo itu mengakui bupati dan walikota khawatir harus berhadap-hadapan dengan petani tembakau saat menerapkan kawasan tanpa rokok (KTR). Padahal, mengutip sebuah riset, Hasto menunjukkan sejak 1973-2015, ada kesenjangan yang sangat tinggi antara jumlah perokok dengan produksi tembakau di Indonesia.
Baca
RUU Pertembakauan, Baleg DPR: Bisa Menjadi Peraturan Menteri
Jokowi Kirim Surpres Soal RUU Pertembakauan ke DPR, Ini Kata Kalla
Jumlah perokok lebih dari 90 juta orang dari total jumlah penduduk Indonesia saat ini yang mencapai 255 juta orang. Sedangkan produksi tembakau hanya 190 ribu ton per tahun dari kebutuhan tembakau yang harus dipenuhi, yaitu 330 ribu ton per tahun.
Untuk mencukupi kekurangan tembakau selama ini adalah melalui impor. Padahal tugas kepala daerah melindungi petaninya untuk menciptakan kemandirian ekonomi. “Jadi mengurangi konsumsi rokok sekaligus meningkatkan produksi tembakau. Kenapa tidak begitu?” kata Hasto.
Pemerintah, kata dia, bisa menekan selisih kesenjangan antara jumlah konsumen rokok dengan produksi tembakau dalam negeri. Caranya, menurut Hasto, mengurangi impor tembakau dari luar negeri dengan menggunakan tembakau dalam negeri. “Tembakau dalam negeri itu untuk produksi rokok di sini. Enggak usah impor. Eman-eman uangnya ke luar (negeri),” kata Hasto.
Sementara itu, untuk mengurangi jumlah konsumen rokok, Hasto lebih memfokuskan perlindungan terhadap anak dan remaja. Mengingat mereka masih masa tumbuh kembang. Selain itu mereka belum mempunyai penghasilan sendiri, sedangkan membeli rokok lebih banyak memboroskan uang.
“Fokus saya pada anak dan remaja. Kalau perokok yang sudah tua tidak saya intervensi. Biarkan saja,” kata Hasto.
Selain melalui sosialisasi ke sekolah dan melarang papan-papan iklan rokok di wilayah Kulon Progo, Hasto juga mengharuskan siswa baru SMP yang baru masuk kelas VII untuk menandatangani lembar pernyataan tidak akan merokok.
Baca
Razia Iklan Rokok, Bupati Bantul Copoti Reklame Dekat Sekolah
Pemprov DKI Jakarta Gratiskan Iklan Antirokok Bus Transjakarta
Selain itu, juga melakukan tes urine. Berdasarkan hasil riset tes urine sejak 2016 hingga sekarang secara acak terhadap remaja, Hasto menemukan 14 persen remaja telah merokok. “Hanya sembilan persen mengaku tidak merokok secara tertulis. Setelah dicek ada 14 persen. Ada yang ngapusi,” kata Hasto sambil tertawa.
Menteri Kesehatan Nila Juwita F. Moeloek menambahkan, rokok diyakini sebagai salah satu penyebab meningkatnya jumlah penderita penyakit tidak menular, seperti jantung dan stroke. Beradasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, jumlah kematian di Indonesia akibat penyakit tidak menular mencapai 660 per 100 ribu orang penduduk.
“Memang tidak langsung karena merokok. Tapi merokok dan perilaku hidup tak sehat mempcepat kematian,” kata Nila.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini