Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perusahaan pinjol hanya mengandalkan teknologi untuk menilai kredit.
Kredit macet tinggi karena banyaknya pinjaman yang bersifat konsumtif.
Tertutupnya akses ke kredit perbankan membuat masyarakat beralih ke pinjol.
JAKARTA - Fintech lending atau pinjaman online berbasis peer to peer menjadi alternatif meminjam dana yang tengah diminati. Salah keunggulannya adalah proses pengajuan pinjaman lebih cepat dan mudah serta tidak memerlukan jaminan. Namun kini industri fintech lending sedang berhadapan dengan tingginya nilai kredit macet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti senior Center of Reform on Economics (Core), Etikah Karyani Suwondo, mengatakan penyebab tingginya kredit macet adalah kurangnya analisis risiko untuk menilai kemampuan pembayaran calon peminjam. “Perusahaan pinjol kurang melihat rekam jejak peminjam yang bisa jadi buruk,” ujarnya, kemarin.
Etikah mengungkapkan, perusahaan fintech lending umumnya hanya mengandalkan teknologi sehingga data yang diperoleh kurang lengkap dan tidak bisa diandalkan.
Berawal dari Sistem Penilaian Peminjam
Sependapat dengan Etikah, Direktur Eksekutif Information Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi juga mengatakan sistem penilaian terhadap calon peminjam tidak dijalankan dengan baik. Hal ini terlihat dari cepatnya persetujuan pengajuan pinjaman. “Ketika semua orang mengajukan pinjaman dan waktunya cepat, bahkan dijanjikan sekian menit atau jam, dari situ terlihat tidak ada credit scoring (penilaian kredit).” Hal ini membuat orang bisa meminjam tanpa ada kemampuan mengembalikan.
Selain itu, menurut dia, di Indonesia, kredit macet terjadi karena banyak pinjaman yang bersifat konsumtif. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat kredit macet industri fintech lending saat ini sebesar 2,81 persen. Adapun ambang batas yang ditetapkan OJK sebesar 5 persen. Meski demikian, beberapa perusahaan pinjol memiliki angka kredit macet di atas ambang batas yang ditetapkan. Salah satunya adalah PT Investree Radhika Jaya atau Investree.
Tingkat risiko kredit macet secara agregat atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) Investree dilaporkan mencapai 12,58 persen. Artinya, ada 12,58 persen dana yang disalurkan gagal dibayarkan atau dikembalikan oleh nasabah dalam 90 hari setelah jatuh tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, 6 Desember 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi mengatakan pihaknya masih mendalami TWP90 perusahaan tersebut. “Masih didalami karena risiko bisnis atau pelanggaran," ujarnya, pekan lalu.
Dia menyebutkan, jika kerugian disebabkan oleh risiko bisnis dari perusahaan, tentu penanganan OJK berbeda dengan kasus pelanggaran dari perusahaan. Sebelumnya, pada 13 Januari 2024, OJK telah memberikan sanksi administratif kepada Investree lantaran telah melanggar ketentuan.
Sebelumnya ramai Chief Executive Officer Investree Adrian A. Gunadi mengungkapkan penyebab maraknya gagal bayar kredit yang menimpa peminjam di platform Investree. Salah satu masalah terbesar, ujar dia, ialah kondisi perekonomian pasca-pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih. "Sudah diberikan pelonggaran pinjaman pun tidak semuanya berhasil bangkit," katanya.
Menimpa Beberapa Pinjol
Suasana pameran Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2023 di Jakarta, 23 November 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Bukan hanya Investree, beberapa perusahaan pinjol juga mengalami masalah serupa. Pada 18 Januari 2024, Tanifund digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas perkara perdata wanprestasi. Dalam laman Tanifund yang diakses kemarin, TKB90 dari perusahaan ini adalah 36,07 persen. Itu artinya tingkat TWP90 atau kredit macet perusahaan ini adalah sebesar 64,03 persen.
Masalah serupa dialami perusahaan pinjol PT Igrow Resources Indonesia (iGrow) yang kini berubah menjadi Modalin. Laman resmi iGrow menuturkan bahwa perusahaan itu mempunyai TKB90 53,44 persen dan kredit macet 45,56 persen. Beberapa bulan lalu, perusahaan ini juga dituntut oleh 40 pemberi pinjaman (lender) akibat gagal bayar.
Komisaris PT LinkAja Modalin Powered by iGrow, Reza Ari Wibowo, menyatakan pihaknya selaku tergugat akan mengupayakan membantu mempertemukan para peminjam untuk menyelesaikan perkara gagal bayar kepada para lender setelah gugatannya dicabut di pengadilan. "Manajemen iGrow akan bertanggung jawab dengan melakukan penagihan dan upaya lain yang dibutuhkan," ujarnya.
Bunga Tinggi Jadi Pemicu
Tingginya bunga pinjaman online menjadi salah satu pemicu gagal bayar. Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan banyak masyarakat kelas menengah ke bawah yang memilih pinjol dibanding bank, meski mengetahui bunganya tinggi.
Pada pendanaan bank, keberadaan jaminan menjadi penentu penyaluran kredit. Hanya peminjam dengan agunan yang bernilai tinggi dan mudah dilikuidasi yang akan mendapat kredit bank. Sedangkan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki aset dan umumnya bekerja di sektor informal serta subsisten akan digolongkan sebagai pinjaman berisiko tinggi karena tak memiliki agunan.
Tertutupnya akses masyarakat kelas bawah ke kredit perbankan formal membuat mereka beralih ke pinjol yang berani memberi kemudahan kredit. Masyarakat kelas bawah yang dikenai bunga sangat tinggi inilah yang merupakan alasan utama banyaknya kasus gagal bayar di industri pinjol.
Sebelumnya, OJK telah mengatur suku bunga pinjol, khususnya pinjaman konsumtif. Pada 1 Januari 2024, suku bunga pinjol turun menjadi 0,3 persen per hari. Heru Sutadi mengatakan, meski ada penurunan, tingkat bunga tersebut masih tinggi, yakni 9 persen dalam sebulan dan 108 persen dalam setahun. "Dengan bunga tinggi, tingkat keengganan pengembalian menjadi besar," tuturnya.
Adapun Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S. Djafar mengatakan, untuk memitigasi gagal bayar, Asosiasi akan mendorong penguatan manajemen melalui sistem analisis risiko dalam menilai kemampuan pembayaran calon peminjam. “Hal ini mencakup penilaian kredit yang mendalam, termasuk analisis data keuangan dan perilaku pembayaran sebelumnya,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Selain itu, ia mendorong pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan machine learning untuk memperkuat prediksi risiko pembayaran. Hal ini dilakukan karena AI mampu terus belajar dari data transaksi sebelumnya dan tren pasar sehingga meningkatkan akurasi dalam menilai kelayakan peminjam.
Ia menambahkan, penyelenggara fintech lending juga bisa menyebar risiko dengan mengelola portofolio peminjam. “Tindakan tersebut akan membantu mengurangi dampak jika terjadi kegagalan pembayaran pada sebagian kecil peminjam."
ILONA ESTERINA | GHOIDAH RAHMAH | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo