Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#FF9900>LARANGAN PEREDARAN BUKU</font><br />Pelarangan Buku Hanya oleh Pengadilan

Kewenangan Jaksa Agung melarang peredaran buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum dinilai melanggar konstitusi. Buku bisa dilarang beredar setelah ada putusan pengadilan.

18 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH majelis hakim konstitusi membacakan putusan, Hilmar Farid segera mengeluarkan telepon seluler. Koordina­tor Institut Sejarah Sosial Indonesia itu tak sabar ingin mengabarkan isi putusan. ”Kita menang, Undang-Undang No­mor 4/PNPS/1963 dicabut,” begitu pe­san pendek yang ia kirim ke beberapa rekannya. Tak berselang lama, pesan pen­dek balasan berhamburan ke ponselnya, memberikan ucapan selamat.

Di sebelah Hilmar, ada Taufik Basari, kuasa hukum Institut Sejarah Sosial Indonesia. Taufik juga sibuk berkicau lewat Twitter. Rabu pekan lalu itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud Md. mengetukkan palu untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

Keputusan Mahkamah pantas disambut gembira. Kewenangan Jaksa Agung menyensor dan melarang buku kini sudah diamputasi oleh Mahkamah Kons­ti­tusi. ”Penulis dan penerbit buku sudah tidak takut lagi buku karya mereka dilarang beredar,” ujar Hilmar.

Gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 itu dimohonkan Ins­titut Sejarah Sosial Indonesia, yang diwa­kili I Gusti Agung Ayu Ratih, ketua pe­ng­urus institut itu, bersama Rhoma Dwi Aria Yuliantri, penulis buku. Selain menguji materi, mereka minta Mahkamah menguji formal pembentukan undang-undang itu, yang dinilai cacat prosedur.

Ada sebelas pasal di undang-undang­ yang lahir pada era Orde Lama itu. Ke­wenangan Jaksa Agung melarang di­atur pasal 1 ayat 1, yang menyebut: ”Men­teri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetak­an yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.” Ada juga ketentuan pidana bagi orang yang mengedarkan buku atau barang cetakan lain yang sudah dilarang.

Kewenangan menyensor dan melarang peredaran buku oleh Jaksa Agung, menurut pemohon, seharusnya dihilangkan karena melanggar kebebasan mengeluarkan pendapat, yang dijamin konstitusi. Larangan itu juga dinilai sewenang-wenang karena tanpa proses hukum di pengadilan.

Selain Institut Sejarah dan Rhoma Dwi Aria, dua pemohon lain meng­ajukan permintaan yang sama, agar Mahkamah merontokkan kewenangan Jaksa Agung menbredel buku. Sebulan sebelumnya, penulis buku Darmawan dan beberapa pengurus Himpunan Mahasiswa Islam MPO juga minta undang-undang itu dihapus. Darmawan juga meminta pasal 33 ayat 3 huruf c yang mengatur tugas kejaksaan untuk ikut mengawasi peredaran barang cetakan di Undang-Undang Kejaksaan Agung dinyatakan dihapus.

Pemicu gugatan ini adalah buntut dari ulah Jaksa Agung melarang lima buku pada September tahun lalu. Buku itu adalah Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M., Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan, dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.

Permohonan itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berpenda­pat bahwa pelarangan buku tanpa pro­ses peradilan adalah tindakan sewe­nang-wenang. Menurut Mahfud, nega­ra dapat melarang suatu buku untuk di­edarkan, ”Tapi tidak boleh sewenang-wenang, larangan itu harus lewat putusan pengadilan, bukan putusan Jaksa Agung.”

Keputusan Mahkamah tidak bulat. Hakim Hamdan Zoelva memilih berbe­da pendapat atau dissenting opinion. Menurut dia, undang-undang itu tetap dapat dipakai sepanjang pelarangan itu atas izin pengadilan. ”Undang-undang itu perlu dipertahankan, paling tidak untuk sementara, sampai adanya undang-undang pengganti yang lebih baik,” kata Hamdan.

Sebaliknya, Kejaksaan Agung kece­wa­ dengan putusan Mahkamah. Jaksa Agung Muda Intelijen Edwin Pamimpin­ Situmorang mengatakan Jaksa Agung sudah tidak bisa lagi melarang sebuah buku untuk diedarkan. ”Kalau buku itu memenuhi delik pidana, kami akan langsung menyerahkannya ke polisi la­lu ke pengadilan,” ujar Edwin.

Adapun Hilmar mengatakan sudah berancang-ancang mencetak ulang bu­ku karya John Roosa yang pernah dilarang. ”Ada yang meminta agar buku itu dicetak ulang,” kata Hilmar. Ia mengatakan, toko buku tidak perlu takut menjual buku yang pernah dilarang itu.

Sutarto, Bunga Manggiasih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus