Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH majelis hakim konstitusi membacakan putusan, Hilmar Farid segera mengeluarkan telepon seluler. Koordinator Institut Sejarah Sosial Indonesia itu tak sabar ingin mengabarkan isi putusan. ”Kita menang, Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 dicabut,” begitu pesan pendek yang ia kirim ke beberapa rekannya. Tak berselang lama, pesan pendek balasan berhamburan ke ponselnya, memberikan ucapan selamat.
Di sebelah Hilmar, ada Taufik Basari, kuasa hukum Institut Sejarah Sosial Indonesia. Taufik juga sibuk berkicau lewat Twitter. Rabu pekan lalu itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud Md. mengetukkan palu untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Keputusan Mahkamah pantas disambut gembira. Kewenangan Jaksa Agung menyensor dan melarang buku kini sudah diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi. ”Penulis dan penerbit buku sudah tidak takut lagi buku karya mereka dilarang beredar,” ujar Hilmar.
Gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 itu dimohonkan Institut Sejarah Sosial Indonesia, yang diwakili I Gusti Agung Ayu Ratih, ketua pengurus institut itu, bersama Rhoma Dwi Aria Yuliantri, penulis buku. Selain menguji materi, mereka minta Mahkamah menguji formal pembentukan undang-undang itu, yang dinilai cacat prosedur.
Ada sebelas pasal di undang-undang yang lahir pada era Orde Lama itu. Kewenangan Jaksa Agung melarang diatur pasal 1 ayat 1, yang menyebut: ”Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.” Ada juga ketentuan pidana bagi orang yang mengedarkan buku atau barang cetakan lain yang sudah dilarang.
Kewenangan menyensor dan melarang peredaran buku oleh Jaksa Agung, menurut pemohon, seharusnya dihilangkan karena melanggar kebebasan mengeluarkan pendapat, yang dijamin konstitusi. Larangan itu juga dinilai sewenang-wenang karena tanpa proses hukum di pengadilan.
Selain Institut Sejarah dan Rhoma Dwi Aria, dua pemohon lain mengajukan permintaan yang sama, agar Mahkamah merontokkan kewenangan Jaksa Agung menbredel buku. Sebulan sebelumnya, penulis buku Darmawan dan beberapa pengurus Himpunan Mahasiswa Islam MPO juga minta undang-undang itu dihapus. Darmawan juga meminta pasal 33 ayat 3 huruf c yang mengatur tugas kejaksaan untuk ikut mengawasi peredaran barang cetakan di Undang-Undang Kejaksaan Agung dinyatakan dihapus.
Pemicu gugatan ini adalah buntut dari ulah Jaksa Agung melarang lima buku pada September tahun lalu. Buku itu adalah Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M., Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan, dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.
Permohonan itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berpendapat bahwa pelarangan buku tanpa proses peradilan adalah tindakan sewenang-wenang. Menurut Mahfud, negara dapat melarang suatu buku untuk diedarkan, ”Tapi tidak boleh sewenang-wenang, larangan itu harus lewat putusan pengadilan, bukan putusan Jaksa Agung.”
Keputusan Mahkamah tidak bulat. Hakim Hamdan Zoelva memilih berbeda pendapat atau dissenting opinion. Menurut dia, undang-undang itu tetap dapat dipakai sepanjang pelarangan itu atas izin pengadilan. ”Undang-undang itu perlu dipertahankan, paling tidak untuk sementara, sampai adanya undang-undang pengganti yang lebih baik,” kata Hamdan.
Sebaliknya, Kejaksaan Agung kecewa dengan putusan Mahkamah. Jaksa Agung Muda Intelijen Edwin Pamimpin Situmorang mengatakan Jaksa Agung sudah tidak bisa lagi melarang sebuah buku untuk diedarkan. ”Kalau buku itu memenuhi delik pidana, kami akan langsung menyerahkannya ke polisi lalu ke pengadilan,” ujar Edwin.
Adapun Hilmar mengatakan sudah berancang-ancang mencetak ulang buku karya John Roosa yang pernah dilarang. ”Ada yang meminta agar buku itu dicetak ulang,” kata Hilmar. Ia mengatakan, toko buku tidak perlu takut menjual buku yang pernah dilarang itu.
Sutarto, Bunga Manggiasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo