Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EAT PRAY LOVE
Sutradara: Ryan Murphy
Berdasarkan novel karya Elizabeth Gilbert
Skenario: Jennifer Salt dan Ryan Murphy
Pemain: Julia Roberts, Javier Bardem, James Franco, Christine Hakim, Hadi Subiyanto
SETELAH tersiksa selama 141 menit menyaksikan seorang perempuan bernama Elizabeth Gilbert yang konon ”mencari diri” ke tiga negara, mari kita mencoba bersikap adil. Barangkali saja novel biografis wartawan dan novelis New York yang berada di daftar New York Times Bestseller selama 150 pekan itu akan lebih menarik daripada filmnya yang sungguh mengecewakan. Barangkali.
Tapi ternyata sutradara Ryan Murphy memang setia kepada novel yang menjadi ”buku sakti” banyak perempuan di seantero dunia ini. Artinya, film dan novel ini sama-sama melelahkan dan menjengkelkan. Ceritanya begini.
Elizabeth Gilbert, seorang wartawan dan penulis travel, seperti memiliki segalanya: suami yang tampan, apartemen yang nyaman di New York, dan sekelompok kawan yang setia menemaninya. Tapi, suatu malam, kita melihat Gilbert terisak-isak di atas lantai kamar mandinya. Dia tak ingin lagi terikat dalam perkawinan. Lho, kenapa sih? Baik di dalam film maupun novel, kita tak pernah tahu apa yang menyebabkan Liz Gilbert ingin meninggalkan perkawinannya (bukan karena orang ketiga, bukan pula karena drama-drama besar).
Di dalam kata pengantar bukunya, Liz Gilbert mengatakan tak akan mengungkap problem pernikahannya kepada publik, dan hampir semua tokoh dalam novelnya dia ubah namanya. Tentu kita paham. Tapi baik Liz maupun sutradara Ryan Murphy tak berhasil menyiasati cerita ini agar kita merasa terlibat dalam film.
Setelah perceraian yang sulit—karena Stephen (Billy Crudup) tak kunjung ingin melepas sang istri—Liz bertemu dengan seorang aktor amatir, David Piccolo (James Franco), yang tampil dalam drama yang ditulis Liz. Hubungan yang panas, tapi jelas sebuah pelarian, ini berakhir tanpa kejelasan. Liz memberikan alasan kepada sahabatnya, Delia Shiraz (Viola Davis), bahwa ”seumur hidup saya tak pernah merasakan sendirian, tanpa lelaki.”
Liz memutuskan untuk pergi ke Italia, India, dan Indonesia (tepatnya: Bali). Pembaca novelnya akan tahu—dan cemburu—bahwa penerbit buku Liz Gilbert bersedia membiayai seluruh perjalanan, lengkap dari biaya pesawat, hotel, sampai tetek-bengek spa dan makanan serta minuman. Siapa yang tak mau bepergian gratis ke tiga negara eksotis selama setahun untuk ”mencari diri”? Hanya orang gila.
Nah, karena Liz Gilbert bukan orang gila, tentu saja dia pergi ke Roma, menikmati pizza di Napoli dan spageti Roma, dan menikmati bulan di langit Roma dari teras apartemennya. Setiap kali bibir Liz menyedot saus spageti, atau sengaja meniru nada bicara orang Italia sembari mempermainkan tangan ke udara, kita mengenali gaya nyeleneh Ryan Murphy (yang kita kenal dengan keberaniannya dalam serial Glee dan Nip/Tuck untuk melawan arus dan bereksperimen dengan penyajian yang berbeda). Tapi hanya sebatas gaya. Gaya nakal dan ”berisik” itu berhenti di segmen Italia. Ketika tokoh Liz Gilbert melangkah ke sebuah ashram di India, sutradara Ryan Murphy seperti kehilangan pegangan.
Apa yang sebetulnya hendak dia kisahkan dalam segmen India ini? Ingin memperlihatkan bagaimana Liz belajar berdoa? Gagal. Kita tak yakin apakah Liz memang menemukan pencerahan melalui mantra yang dipelajarinya atau dia hanya mengikuti arus warga ashram belaka. Bahwa Liz berkenalan dengan beberapa sosok di India? Pertemuannya dengan tokoh Richard dari Texas (Richard Jenkins) sebetulnya menarik. Richard mempunyai sejarah buruk dan Liz sibuk mencari diri. Mereka bertukar cerita, meski ternyata transaksi masa gelap mereka toh tak cukup menggugah kita. Alasannya, lagi-lagi, kita tak cukup diberi alasan untuk mendalami problem pribadi Liz.
Di segmen Bali, kita sedikit bernapas lega bukan karena sinematografi yang merekam jelitanya Ubud—hingga para pejabat tinggi Indonesia menyempatkan diri menyaksikan premiere film ini—melainkan karena Ryan Murphy memberikan ruang yang lega pada tafsir kejiwaan Liz. Dia menemui sesepuh Bali bernama Ketut Liyer (Hadi Subiyanto, yang sungguh bersinar), seseorang yang kemudian menjadi mentor Liz Gilbert; seseorang yang bisa mencungkil rasa humor perempuan yang semula selalu tampak sendu dan muram; seseorang yang mengajari Liz untuk membuat keseimbangan dalam hidup. Kita asyik melihat sosok Ketut Liyer yang jenaka, jujur, dan enteng tanpa beban, hingga kita lupa bahwa di segmen yang sama ada aktris Christine Hakim (memerankan tokoh Wayan, seorang ibu tunggal yang menjadi sahabat Liz Gilbert), ada Javier Bardem (menjadi Filipe, tempat hati Liz berlabuh untuk selama-lamanya), dan beberapa tokoh minor lainnya. Ketut Liyer alias Hadi Subiyanto jadi bintang. Dan Julia Roberts seperti sengaja membiarkan Hadi Subiyanto menjadi scene-stealer segmen ini.
Meski ada beberapa bagian yang tersaji dengan bagus, film yang berdurasi 140 menit ini secara keseluruhan menyiksa penonton. Kita tak kunjung diberi pemahaman kenapa ada perempuan yang begitu manja dan mudah sekali meninggalkan tiga lelaki dan segala miliknya; kenapa sepanjang film atau sepanjang buku, dia tak henti-hentinya mengeluh tak berkesudahan. Untung saja Julia Roberts adalah aktris yang enak dilihat dan selalu tampil asyik. Wajahnya selalu ditimpa cahaya, dan dia berhasil menampilkan ekspresi yang tepat. Tapi itu semua tak cukup. Film dengan lokasi yang begitu eksotis dan mahal, dengan deretan pemain dengan nama besar dan sutradara yang namanya sedang menggelegar, sayang sekali mendapatkan skenario yang sangat lemah dan penyutradaraan yang mengecewakan. Judul film Eat Pray Love sebaiknya diganti menjadi Eat Snooze Sleep.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo