Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG sidang Profesor Haji Oemar Seno Adji di Pengadilan Negeri Tangerang penuh sesak. Puluhan wartawan media cetak, televisi, dan blogger tumplek blek mendominasi ruangan. Bermacam kamera televisi tercagak merekam jalannya sidang, Kamis pekan lalu. Pengadilan Negeri Tangerang memang menggelar sidang perkara yang terbilang istimewa. Inilah, untuk pertama kalinya, seorang yang mengeluarkan unek-uneknya lewat e-mail dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, undang-undang yang baru disahkan setahun lalu.
Duduk di depan hakim, Prita Mulyasari. Sang pesakitan dengan tenang mendengarkan dakwaan yang dibacakan dua jaksa secara bergantian, Rakhmawati Utami dan Riyadi. Sekitar sepuluh menit jaksa membacakan dakwaan terhadap wanita 32 tahun ini. Menurut jaksa, Prita telah mencemarkan nama baik dokter dan Rumah Sa kit Omni International, Tangerang, Ban ten, melalui surat elektroniknya ber judul ”Penipuan Omni Internatio nal Hospital Alam Sutera Tangerang”.
Jaksa mendakwa Prita dengan pasal berlapis. Selain dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Prita juga dianggap melanggar Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dua pasal itu intinya sama: memberikan sanksi pidana bagi siapa pun yang melakukan pencemaran nama. ”Ancaman hukuman untuk Prita enam tahun penjara,” ujar jaksa.
Prita mengaku siap dan pasrah terhadap dakwaan itu. ”Saya ikhlaskan apa yang terjadi,” ujar ibu dua anak, Khairan Ananta Nugroho, 3 tahun, dan Ranarya Puandida Nugroho, 1 tahun 3 bulan ini.
KASUS ini bermula dari kekecewaan Prita ketika dirawat di RS Omni International Alam Sutera, Serpong, Tangerang, pada 7 Agustus 2008. Ketika itu Prita datang ke rumah sakit karena merasa pusing dan mual. Di bagian unit gawat darurat ia ditangani dokter jaga, Indah.
Pemeriksaan laboratorium menyatakan trombosit darah warga Bintaro, Tangerang, itu 27 ribu, jauh di bawah normal yang seharusnya sekitar 200 ribu. Prita diminta menjalani rawat inap dan memilih dokter spesialis. Sesuai dengan saran Indah, ia memilih dokter Hengky. Diagnosis dokter menyatakan, ia terkena demam berdarah.
Menurut Prita, ia lalu mendapat suntikan dan infus yang diberikan tanpa penjelasan dan izin keluarganya. Belakangan, ia kaget sewaktu Hengky memberi tahu revisi hasil laboratorium tentang jumlah trombositnya. Yang awalnya 27 ribu menjadi 181 ribu. Dokter juga menyatakan ia terkena virus udara.
Lantaran tak puas dengan perawatan di rumah sakit itu, Prita memutuskan pindah rumah sakit. Di sini muncul persoalan baru. Tatkala ia meminta catatan medis lengkap, termasuk semua hasil tes darahnya, pihak rumah sakit menyatakan tidak bisa mencetak data tersebut.
Prita lantas menghadap Manajer Pelayanan RS Omni, Grace. Hasilnya sama saja. Inilah yang membuat ia ke sal. Pada 15 Agustus, ia mengirim e-mail yang berisi pengalamannya dirawat di Omni kepada sejumlah temannya. ”Bila Anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan titel internasional karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter, maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan. Saya tidak mengatakan semua RS internasional seperti ini, tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International,” demikian cuplikan unek-uneknya lewat surat elektronik tersebut.
Surat Prita ini rupanya membuat berang manajemen Omni International. Omni mengambil langkah cepat. Selain membantah surat Prita melalui media cetak nasional, rumah sakit itu juga menggugat Prita secara perdata dan juga melaporkannya ke polisi. Omni menganggap surat itu telah mencemarkan reputasi RS Omni yang ”bertaraf” internasional.
Prita pun berurusan dengan hukum. Pada 11 Mei lalu, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan rumah sakit. Hakim menghukum Prita membayar kerugian material Rp 161 juta dan imaterial Rp 100 juta. Terhadap putusan itu, Prita menyatakan banding. ”Saya tidak bersalah,” ujarnya.
Polisi juga sangat sigap merespons pengaduan Omni. Setelah dua kali diperiksa Kepolisian Daerah Metro Jaya, Prita dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Pidana. Pasal KUHP ini memberikan ancaman hukuman 1 tahun 4 bulan untuk mereka yang terbukti melakukan pencemaran.
Pada April lalu, polisi melimpahkan berkas penyidikannya ke Kejaksaan Tinggi Banten. Nah, di sini jaksa lantas ”menghajar” Prita dengan pasal baru, yakni melanggar Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hukuman pelanggar pasal ini enam tahun penjara, berlipat lebih tinggi ketimbang KUHP. Pada 13 Mei, ketika Prita dan suaminya datang ke kejaksaan negeri, jaksa menahan Prita dan langsung menjebloskannya ke tahanan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang. Alasan jaksa, perbuatan yang dilakukan Prita diancam hukuman di atas lima tahun.
Sejak itu Prita mendekam di ruang Menara, tempat khusus untuk tahanan titipan. Selama sepekan, dia tak boleh dijenguk siapa pun. Komunikasi dengan dua anak balitanya dilakukan melalui telepon. Ia tak bisa lagi menyu sui anak bungsunya. Prita stres. Bobot tubuhnya turun lima kilogram.
Nasib yang dialami Prita itu memunculkan hujan simpati, terutama dari komunitas blogger, kalangan yang sehari-harinya menggunakan dunia maya sebagai ajang aktivitas mereka. Para blog ger menyebarluaskan kisah ketidak adilan yang menimpa Prita ini ”ke pelosok dunia”. Berbagai ucapan simpati terhadap Prita dan hujatan kepada aparat penegak hukum bermunculan. Calon Presiden Megawati Soekarnoputri, Rabu pekan lalu, juga menyambangi Prita di penjara. Kedatangan Mega pada masa kampanye ini mendapat sorotan luas media massa.
Derasnya sorotan terhadap Prita ini membuat Pengadilan Negeri Tangerang ”angkat tangan”. Setelah tiga pekan meringkuk di tahanan, Prita dibebaskan. Pengadilan Negeri Tangerang, Kamis pekan lalu, juga mengabulkan permohonan pengalihan status tahan annya menjadi tahanan kota. ”Karena alasan kemanusiaan,” kata Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tangerang Karel Tuffu, yang juga ketua majelis hakim perkara Prita.
Kepada Tempo, Direktur RS Omni International, Bina Ratna Kusuma Putri, mengatakan tidak ada niat pihaknya memenjarakan Prita. ”Kami hanya mencoba memulihkan nama baik dokter dan rumah sakit,” kata Bina. Menurut dia, akibat surat elektronik yang dibuat Prita, jumlah pengunjung rumah sakitnya merosot sampai 50 persen. ”Belum lagi ada pihak yang memutuskan kerja sama secara sepihak.” Kuasa hukum Omni, Risma Situmorang, menyatakan pihaknya akan menyerahkan perkara ini ke tangan hakim. ”Biar hukum yang menjawab, yang bersalah Prita atau Rumah Sakit Omni,” ujarnya.
Kasus Prita ini merembet ke mana-mana. Kejaksaan Agung, misalnya, kini mengirim tim ke Kejaksaan Tinggi Banten dan kejaksaan Tangerang untuk memeriksa para jaksa yang ”kreatif” menambahkan Pasal 27 Undang-Undang Informasi untuk menjerat Prita itu. Jaksa Agung Hendarman Supan dji mengakui anak buahnya yang menangani kasus itu tidak profesional. Jaksa Agung Muda Pengawasan Hamzah Tadja menyatakan, pihaknya akan segera memanggil semua yang dianggap bertanggung jawab atas kasus ini ke Kejaksaan Agung, termasuk Kepala Kejaksaan Tinggi Banten dan Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang. ”Semua nya,” ujarnya. Jaksa Rakhmawati dan Riyadi sendiri bungkam ketika didesak alasan penambahan pasal itu dalam dakwaan.
Koordinator Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Agus Sudibyo, menyatakan seharusnya pasal-pasal yang digunakan untuk mengkriminalkan masyarakat dalam mengeluarkan pendapat itu dihapus. Sejak awal, menurut Agus, pihaknya sudah menduga, pasal 27 itu berpotensi membungkam orang mengeluarkan pendapat. Padahal, kebebasan berpendapat jelas-jelas dijamin konstitusi. Karena itulah, menurut dia, pasal itu mesti dihapus. ”Jangan sampai muncul Prita-Prita yang lain,” ujarnya.
Rini Kustiani, Joniansyah, Ayu Cipta
Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Perbuatan yang dilarang
Pasal 27 (3): Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
Pasal 45: (1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo