Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengusir tuan tanah

Surat kuasa mutlak yang banyak digunakan untuk kedok pemilikan tanah dilarang mendagri. tapi banyak cara untuk menerobos hukum. (hk)

27 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT kuasa mutlak yang selama ini hanyak digunakan "tuan-tuan tanah" sebagai kedok untuk menguasai tanah pertanian di desa-desa, sejak awal bulan ini dihentikan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud . Pejabat-pejabat Agraria diinstruksikan Mendagri untuk tidak lagi melayani penyelesaian status hak atas tanah dengan menggunakan surat kuasa mutlak. Larangan itu dikeluarkan lewat Instruksi Mendagri 6 Maret lalu dan disampaikan di hadapan peserta Rapat Kerja Gubernur dan Bupati/Walikota se Indonesia. "Tanah yang sudah telanjur dialihkan dengan kuasa mutlak akan diusut kasus per kasus," Dirjen Agraria, Daryono, menjelaskan. Kuasa mutlak itu, kata Daryono, selama ini sudah menimbulkan gejala yang tidak sehat karena ulah "orang-orang kaya" dari kota yang membeli tanah secara terselubung di desa-desa. Dalam jual-beli itu, si penjual--petani di desa-desa -- cukup menyerahkan giriknya kepada pembeli dan selembar surat kuasa mutlak. Secara formal tanah itu masih atas nama petani di desa, tapi secara material sudah menjadi milik pembeli. Cara semacam itu merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menerobos Undang-undang Pokok Agraria. Dalam UUPA, ditetapkan batas maksimal pemilikan tanah pertanian tidak melebihi 2 hektar. Begitu pula, tanah pertanian tidak boleh dimiliki orang di luar daerah tanah itu. Tapi orang-orang kaya atau dikenal penduduk desa sebagai "babe-babe", mengakalinya dengan surat kuasa mutlak. "Kedok itu banyak dipakai orang-orang yang tahu hukum," tuduh Daryono beberapa waktu lalu. Sebab itu dalam instruksi Mendagri tadi, para camat dan pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dilarang melegalisasikan peralihan hak atas tanah melalui surat kuasa mutlak itu. Pengawasan terhadap pelaksanaan instruksi itu dilakukan oleh gubernur becrta bupati atau walikotamadya. Saat ini Direktorat Jenderal Agraria, kata Humas Ditjen Agraria Drs. Suhadi, sedang mengumpulkan data-data tanah yang sudah dikuasa mutlakkan. Dengan begitu diharapkan "tuan-tuan tanah" dari kota itu akan terusir dari desa-desa. Surat kuasa mutlak itu bcrmula dari Peraturan Menteri Agraria, Sadjarwo tahun 1961. Setiap pembeli tanah dibolehkan oleh peraturan itu mendapat surat kuasa mutlak atas tanah itu dari penjual sampai sertifikat jual-beli dikeluarkan Dinas Agraria. "Peraturan itu dibuat dengan niat baik," kata Sadjarwo. Tujuan peraturan itu, menurut bekas Menteri Agraria ini, agar orang yang telanjur membeli tanah tidak dirugikan. Misalnya, pembeli ternyata membeli tanah di luar batas maksimum atau di luar tempat domisilinya (absensi). Pembeli itu dengan surat kuasa mutlak, bisa menjual lagi tanah itu kepada orang yang berhak atau meminta kepada penjual agar uangnya dikembalikan. Peraturan itu dimaksudkan pula untuk melindungi pembeli dari penjual tanah yang nakal. Sebab untuk mendapat sertifikat, pemilik tanah yang baru terpaksa menunggu lama. "Waktu itu karena kurangnya aparat bisa sampai 4 tahun," ujar Sadjarwo. Dikhawatirkan penjual yang nakal bisa menjual tanah itu berkali-kali karena masih atas namanya. "Jadi perlu surat kuasa agar pembeli bisa tenang mengurus sertifikatnya," kata Sadjarwo. Tapi maksud baik itu ternyata disalahgunakan oleh "tuan-tuan tanah" baru untuk menguasai tanah secara terselubung. "Sebab itu sebaiknya peraturan itu dicabut," kata Sadjarwo beberapa waktu yang lalu kepada TEMPO. (TEMPO, 10 Oktober 1981). Penerobosan Usul Sadjarwo itu dikabulkan Mendagri. Cuma masalahnya: bagaimana mengawasi perpindahan hak dengan kuasa mutlak, jika dilakukan di bawah tangan? Seorang ahli hukum agraria membenarkan pemerintah akan sulit melakukan pengawasan peralihan hak dengan kuasa mutlak di bawah tangan itu. Kesulitan itu diakui juga oleh Humas Ditjen Agraria, Drs. Suhadi. Seorang pejabat Landreform Ditjen Agraria, kata Suhadi, pernah nongkrong di daerah Karawang dan Bekasi selama seminggu untuk menyelidiki surat kuasa mutlak itu. Tapi hasilnya nihil, karena peralihan hak dilakukan di bawah tangan. Penerobosan undang-undang yang ada, juga tidak hanya melalui surat kuasa mutlak. Ada pula dengan pemalsuan alamat pembeli untuk menghindari larangan tanah absensi seperti dilakukan "babe-babe" di Desa Sukamekar, Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Pemilik baru yang sebenarnya berasal dari Jakarta atau Bandung mengubah alamatnya menjadi penduduk desa itu, dengan begitu ia bebas membeli sawah-sawah penduduk. Herman Sarens Sudiro, yang akhirakhir ini dikenal sering mensponsori berbagai kegiatan olahraga, misalnya, tidak membantah pernah mempunyai 23 hektar tanah di Desa Sukamekar. "Tapi tanah itu sekarang sudah saya jual kembali kepada penduduk, karena saya tidak ingin dicap sebagai tuan tanah," ujar Herman Sarens. Selain itu, ia merasa sayang tanah yang disertifikatkan atas nama tiga orang anaknya tidak tergarap. Ia sendiri mengaku jarang bisa melihat tanah itu. Walaupun ia punya sebuah villa di desa itu yang akhirnya ia hibahkan untuk kepentingan warga Desa Sukamekar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus