Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah angkat bicara terkait pernyataan terbaru perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru saja disahkan oleh DPR. PBB dalam pernyataan tersebut menyampaikan kekhawatirannya atas RKUHP, salah satunya karena beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi kerja jurnalistik dan melanggar kebebasan pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun pemerintah menegaskan bahwa ketentuan di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebenarnya telah diadopsi di dalam RKUHP. Ketentuan tersebut yaitu Pasal 6 huruf d, yang diadopsi ke dalam penjelasan Pasal 218 KUHP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sehingga penyampaian kritik tidak dipidana, sebab merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat," kata Albert Aries, juru bicara Tim Sosialisasi KUHP Nasional, kepada Tempo, Jumat, 9 Desember 2022.
Selanjutnya UU Pers dan KUHP...
UU Pers dan KUHP
Pasal 6 huruf d di UU Pers berbunyi:
Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
Sementara, Pasal 218 KUHP mengatur tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal ini yang dianggap berpotensi mengancam dan melanggar kebebasan pers. Pasal tersebut berbunyi:
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Akan tetapi, Pasal 220 KUHP menegaskan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 218 ini hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Pengaduan dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Penjelasan Pasal 218 KUHP
Pada bab penjelasan, diterangkan lagi poin-poin lebih rinci mengenai pasal penyerangan kehormatan Presiden dan Wakil Presiden ini. Berikutnya penjelasannya:
Pasal 218 ayat 1:
Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah.
Pasal 218 ayat 2:
Yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pada dasarnya, kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Selanjutnya Sorotan PBB...
Sorotan PBB
Potensi kriminalisasi atas kerja jurnalistik dan melanggar kebebasan pers hanyalah satu dari sejumlah poin yang disorot PBB dalam KUHP. Secara umum, PBB menilai KUHP ini tampak tidak sesuai dengan kebebasan fundamental dan hak asasi manusia.
"Orang lain akan mendiskriminasi, atau memiliki dampak diskriminatif pada, perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan minoritas seksual, dan memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender," kata PBB dalam pernyataan yang dirilis 8 Desember tersebut.
Pasal lainnya berisiko "melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan dapat melegitimasi sikap sosial negatif terhadap anggota agama atau kepercayaan minoritas dan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka".
Sikap Pemerintah
Albert menyebut pihaknya tentu menghormati perhatian PBB terhadap isu-isu terkait masalah kesetaraan, privasi, kebebasan beragama, dan jurnalisme. Atas dasar itulah, kata dia, KUHP mengatur semuanya itu dengan memperhatikan keseimbangan antara hak asasi manusia dan juga kewajiban asasi manusia.
Albert membantah pandangan bahwa KUHP Indonesia tidak sesuai dengan HAM. Sebab politik hukum yang terkandung dalam KUHP bertujuan untuk menghormati dan menjunjung tinggi HAM berdasarkan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.
"Perlu kami tegaskan bahwa KUHP sama sekali tidak mendiskriminasi perempuan, anak, dan kelompok minoritas lainnya, serta pers," kata dia.
Lantaran, seluruh ketentuan terkait berasal dari KUHP sebelumnya yang sudah sedapat mungkin disesuaikan. "Dengan misi dekolonisasi, demokratisasi, dan modernisasi yang diusung oleh KUHP," ujarnya.
Selain itu, ia menilai tidak tepat juga bila dikatakan KUHP melegitimasi sikap sosial yang negatif terhadap penganut kepercayaan minoritas. Sebab pengaturan tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan dalam KUHP justru telah direformulasi dengan memperhatikan Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), sebagaimana masukan masyarakat sipil.
Selain itu dalam penyusunan KUHP, Albert menyebut partisipasi bermakna dalam pemenuhan hak masyarakat sipil untuk dapat didengar, dijelaskan dan dipertimbangkan masukannya sudah semaksimal mungkin diberikan. Sehingga keputusan untuk mengesahkan KUHP yang telah diinisiasi pembaruannya sejak tahun 1963 bukan lagi karena target waktu.
"Melainkan karena kebutuhan pembaruan hukum pidana dan sistem pemidanaan modern," kata dia. Sebagai negara hukum yang berdaulat, ujar Albert, Indonesia akan senantiasa menghormati dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil.
Terakhir, Albert juga menyebut KUHP bahkan telah mengadopsi substansi dari berbagai piagam internasional. "Untuk menghormati prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku universal," kata dia.
Mulai dari the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom (Treaty of Rome 1950), the International Covenant on Civil and Political Rights (the New York Convention, 1966), dan Convention against Torture and other Cruel, In Human or Degrading Treatment or Punishment, 10 December 1984.