Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terkatung-katung di Gedung Merah Putih

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri berkeras memulangkan Komisaris Rossa Purbo Bekti meski ditolak Markas Besar Kepolisian RI. Semua pemimpin KPK dilaporkan ke Dewan Pengawas dengan tuduhan melanggar prosedur.

8 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ketua KPK Firli Bahuri mengabaikan dua surat Mabes Polri soal pembatalan penarikan Komisaris Rossa Purbo Bekti.

  • Pimpinan KPK juga memulangkan dua jaksa ke Kejaksaan Agung.

  • Salah satu jaksa pernah memeriksa pelanggaran kode etik oleh Firli Bahuri.

PEMBERITAHUAN itu hanya disampaikan lewat telepon seluler ketika penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisaris Rossa Purbo Bekti, sedang menangani suatu kasus di Medan pada Selasa, 4 Februari lalu. Seorang pegawai Biro Sumber Daya Manusia KPK mengabarkan statusnya bukan lagi penyidik komisi antirasuah mulai hari itu. Mendengar kabar tersebut, Rossa langsung balik ke Jakarta bersama anggota tim lain yang juga berada di Medan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu anggota tim adalah Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap. Menurut Yudi, saat hendak berkantor di KPK keesokan harinya, Rossa tertahan di pintu masuk gedung. “Rossa sudah tidak lagi memiliki akses masuk ke kantor sejak kami tiba di Jakarta,” kata Yudi pada Jumat, 7 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akibat pemberitahuan mendadak itu, Rossa tak sempat membereskan meja kerja. Menurut Yudi, Rossa bahkan harus mengembalikan gaji yang sudah diterima pada awal Februari lalu. Padahal Rossa belum menerima surat keputusan pemberhentian secara resmi. Yudi mengaku tak tahu alasan pemulangan Rossa ke Kepolisian RI, institusi asalnya.

Rossa bergabung dengan KPK pada 2016 dengan status penyidik muda. Ia tak pernah tercatat melanggar kode etik ataupun disiplin. Masa kerjanya di KPK baru akan berakhir tujuh bulan lagi. Berdasarkan aturan, dia bisa memperpanjang penugasan di lembaga antirasuah hingga empat tahun mendatang. “Rossa masih ingin bekerja di KPK,” ujar Yudi.

Yang muncul di permukaan, pemulangan itu bermula ketika Asisten Sumber Daya Manusia Markas Besar Kepolisian RI menyurati KPK pada Senin, 13 Januari lalu--lima hari setelah komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, ditangkap KPK--hendak menarik Rossa. Surat itu tak menyebutkan alasan permintaan pemulangan. Selain menarik Rossa, Polri menarik Komisaris Indra Saputra. Berbeda dengan Rossa, Indra dipulangkan untuk menjalani pemeriksaan di sana.

Menilai surat penarikan itu janggal, sejumlah pegawai KPK mengontak petinggi Polri. Mereka khawatir penarikan Rossa berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani.

Lima hari sebelum surat itu tiba, Rossa disekap di kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di kawasan Melawai, Jakarta Selatan. Sejumlah polisi menawan Rossa bersama timnya hingga delapan jam. Waktu itu Rossa dan lima anggota tim penindakan yang lain bermaksud rehat sejenak di Masjid Daarul Ilmi di kompleks PTIK. Mereka sedang mencari politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku, yang dikabarkan masuk ke kompleks. Harun diduga menyuap Wahyu Setiawan. Rossa satu-satunya penyidik berstatus anggota Polri di tim tersebut.

Komunikasi antara pegawai KPK dan Markas Besar Polri berjalan mulus. Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono setuju menganulir surat penarikan Rossa. Ia kemudian mengirimkan surat pembatalan penarikan tersebut lewat seorang kurir ke Gedung Merah Putih KPK di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, pada 21 Januari lalu.

Ternyata surat itu tak mendarat di meja resepsionis. Ajudan Ketua KPK Firli Bahuri menjemput surat itu saat kurir tiba di lobi Gedung Merah Putih. Seorang pegawai yang mengetahui perjalanan surat itu mengatakan ajudan tersebut langsung membawa surat ke ruangan Firli tanpa melewati meja registrasi surat KPK.

Karena surat tertahan di meja Firli, Biro Sumber Daya Manusia KPK mengklaim tak mengetahui soal pembatalan penarikan Rossa. Sementara itu, pada hari yang sama Firli mengirimkan surat pemberitahuan pengembalian Rossa ke Mabes Polri.

Alih-alih menyampaikannya ke Biro SDM, Firli ditengarai menyimpan surat Komisaris Jenderal Gatot selama beberapa hari. Biro SDM, yang belakangan mengetahui soal surat tersebut, meminta salinan surat ke Mabes Polri pada 24 Januari 2020. Setelah menerima surat pembatalan, mereka meregistrasi secara resmi surat itu.

Rossa Purbo Bekti./twitter.com

Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, membenarkan adanya surat pembatalan dari Komisaris Jenderal Gatot. Tapi ia mengatakan KPK menerima surat tersebut pada 24 Januari. Saat itu, kata dia, proses pemberhentian Rossa sudah rampung. “Per 15 Januari, lima pemimpin sudah bersepakat. Lalu tanggal 21 dibuatlah surat keputusan pemberhentian itu dikirim ke Mabes Polri,” ujar Ali.

Merespons surat KPK tersebut, Komisaris Jenderal Gatot mengirimkan surat yang menegaskan pembatalan penarikan Rossa pada 29 Januari 2020. KPK menerima surat itu sehari kemudian. Surat itu menyatakan Polri mengurungkan penarikan dan mempersilakan Rossa bertugas di komisi antirasuah.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Argo Yuwono mengatakan Rossa tetap bertugas di KPK hingga masa dinasnya habis pada September 2020. “Kami memang mendapat informasi bahwa Rossa dikembalikan oleh KPK ke Polri. Tapi Polri sudah mengirimkan surat kepada KPK bahwa Rossa tidak ditarik,” ucap Argo.

Firli Bahuri berkeras mengembalikan Rossa. “Putusan pimpinan menyampaikan bahwa sudah ada surat penghentiannya,” kata bekas Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu pada 6 Februari lalu. Ia juga berkelit ketika ditanyai apakah alasan pemulangan Rossa berkaitan dengan kasus Harun Masiku yang juga diduga melibatkan petinggi PDIP.

Firli hanya mengatakan keputusan pemberhentian Rossa berdasarkan surat Asisten Sumber Daya Manusia Mabes Polri. Surat itu berisi penarikan Rossa dan Indra Saputra ke Mabes Polri. Pada saat bersamaan, kata dia, pemimpin KPK menerima surat penarikan dua jaksa dari Kejaksaan Agung. Mereka adalah Yadyn Palebangan dan Sugeng. Firli langsung memulangkan keduanya ke Kejaksaan.

Yadyn adalah yang membantu menganalisis kasus suap terhadap Wahyu Setiawan. Dia juga anggota tim operasi tangkap tangan terhadap politikus PDIP, I Nyoman Dhamantra, dalam kasus suap kuota impor bawang putih. Adapun Sugeng bertugas di bagian Pemeriksaan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK. Sugeng adalah kepala satuan tugas saat KPK mengusut dugaan pelanggaran etik Firli ketika ia menjabat Deputi Penindakan. Firli diduga bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat kala itu, Muhammad Zainul Majdi, yang sedang diselidiki komisi antikorupsi.

Yadyn sebenarnya baru akan menyelesaikan masa tugasnya di KPK pada 15 Februari. Tapi Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memintanya segera berkantor di Kejaksaan mulai 3 Februari. “Menangani perkara Jiwasraya. Itu suatu kehormatan bagi saya,” ucap Yadyn.

Sementara itu, nasib Rossa masih menggantung. Ia tak merespons permintaan wawancara Tempo hingga Jumat, 7 Februari. Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo mengatakan nasib Rossa kini tak jelas. Itu sebabnya, Yudi melaporkan Firli dan empat pemimpin lain ke Dewan Pengawas KPK dengan tuduhan melanggar prosedur dalam pemulangan Rossa dan dua jaksa. “Laporan ini dibuat agar ada jaminan KPK menjalankan fungsinya secara independen,” ujarnya.

LINDA TRIANITA, ROSSENO AJI, ANDITA RAHMA, BUDHIARTI UTAMI PUTRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus