Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sapi Impor Menanduk Widjan

Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo menjadi tersangka korupsi pengadaan sapi impor. Kejaksaan juga membidiknya dengan kasus lain.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog Widjanarko Puspoyo kini bak di ujung tanduk. Setelah Selasa dua pekan lalu dia diperiksa sekitar sepuluh jam di Kejaksaan Agung, Rabu pekan lalu Pelaksana Tugas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji sudah menyimpulkan hasil pemeriksaan itu. ”Dia sudah jadi tersangka,” kata Hendarman. Selasa pekan ini, Widjan, demikian Widjanarko biasa dipanggil, akan diperiksa kembali. Langsung ditahan? ”Lihat saja nanti,” kata Hendarman, yang juga menjabat Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Senin pekan lalu, lima karyawan Bulog sudah terlebih dulu dijebloskan ke rumah tahanan Kejaksaan Agung. Seperti Widjan, kelimanya menjadi tersangka korupsi ”sapi Bulog”. Mereka adalah Tito Pranolo, bekas ketua tim monitoring pengadaan sapi yang kini menjabat direktur pengembangan dan informasi teknologi; Imanusafi, kepala divisi transportasi dan pergudangan; Ruchiyat Subandi; A. Nawawi; dan Mika Ramba. Empat yang terakhir anggota tim monitoring. ”Negara rugi Rp 11 miliar karena kasus ini,” ujar Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta Darmono.

Kasus impor sapi yang ”menanduk” Widjanarko bermula pada September 2001. Saat itu sidang kabinet memerintahkan Bulog segara menyiapkan cadangan daging untuk menyambut ”tiga hari besar” pada bulan Desember: Lebaran, Natal, dan tahun baru. Widjanarko, yang baru sekitar delapan bulan menjadi Kepala Bulog (waktu itu Bulog belum menjadi perusahaan umum), menunjuk Kepala Pusat Jasa Logistik Bulog Tito Pranolo sebagai ketua tim monitoring pengadaan sapi. Jumlah sapi yang diperlukan sekitar 3.000 ekor.

Pada September 2001, Bulog menggandeng PT Karyana Gita Utama untuk pengadaan sapi itu. Perusahaan ini pada tahun 2000 pernah bekerja sama dengan Bulog mendatangkan sapi dari Australia. Karyana ternyata hanya sanggup mendatangkan 1.000-an ekor. Akhirnya, November 2001, masuk dua perusahaan lain, PT Surya Bumi Manunggal dan PT Lintas Nusa Pratama. Semua perjanjian kerja sama dengan tiga perusahaan itu diteken Widjanarko sendiri.

Dalam perjanjian yang berakhir pada Januari 2002, Karyana mendapat pinjaman Rp 4,9 miliar, Surya Rp 4,9 miliar, dan Lintas Rp 5,7 miliar. Semua berasal dari duit Bulog. Dana ini dipakai antara lain untuk mengimpor sapi dari Australia, buat biaya penggemukan, dan untuk melempar sapi itu ke pasar. Dari bisnis ini Bulog akan mendapat keuntungan dua sampai empat persen. Rekanan Bulog menjadikan sapi-sapi mereka, antara lain di Bandung, sebagai jaminan kerja sama ini.

Ternyata hanya Karyana yang sukses mendatangkan sapi sesuai dengan rencana. Sapi milik Surya, 933 ekor, muncul di ujung tahun, saat harga daging melorot. Lebih sial lagi nasib Lintas. Perusahaan ini gagal mendatangkan sapi karena bermasalah dengan rekanannya di Australia. Alhasil, Bulog gagal total dalam bisnis sapi ini. Sampai Maret 2002, di rekening Bulog hanya Karyana yang tercatat mengembalikan pinjaman berikut bunganya. Adapun Surya hanya menyetor Rp 2 miliar, sedangkan Lintas nihil, tak mengembalikan duit Bulog sepeser pun.

Bulog lantas menggugat Surya dan Lintas ke pengadilan. Terjadi perdamaian. Surya membayar utangnya dengan tiga sertifikat tanah, sedangkan Lintas membayar Rp 1,1 miliar plus sekitar 50 sertifikat tanahnya. Ternyata lahan Lintas ini bermasalah. Bulog pun membawa kasus ini ke pengadilan lagi.

Kasus ini ternyata menggelinding ju-ga ke kejaksaan. Pada April 2005, sejumlah pejabat Bulog diperiksa, termasuk Tito Pranolo. ”Bahkan dia sempat menjadi tersangka, tapi entah kenapa tiba-tiba kasusnya seperti berhenti,” ujar sumber Tempo di Kejaksaan Tinggi Jakarta.

Nasib berbeda dialami Direktur Surya, Wisaksana Moeffreni, dan rekan bisnisnya, Fahmi, serta Direktur PT Lintas, Maulany Ghani. Mereka divonis antara lima dan enam tahun penjara. Ketiganya kini mendekam di penjara Cipinang. ”Saya juga bingung, ini urusan bisnis kok jadi masalah pidana,” ujar Fahmi, Kamis lalu, kepada Tempo.

Pengacara Widjanarko, L.L.M. Samosir, menyatakan keheranannya karena kasus ini diseret ke masalah korupsi. Menurut mantan jaksa itu, kasus ini semata soal wanprestasi dalam perjanjian bisnis. Bulog, menurut Samosir, menderita kerugian sekitar Rp 7 miliar karena rekan bisnisnya wanprestasi. ”Jadi tidak ada yang korupsi di sini. Apalagi rugi sampai Rp 11 miliar.”

Kejaksaan tetap yakin unsur korupsi muncul dalam kasus ini. Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus M. Salim, misalnya, menyebut peran Widjanarko yang memerintahkan Bukopin mengeluarkan uang kepada PT Lintas dan Surya. Sumber Tempo di Kejaksaan Agung menyatakan Widjanarko juga akan ditembak dengan soal bank guarantee. ”Sebab, para pengusaha itu ternyata tidak memakai bank guarantee, tapi memakai sapi sebagai jaminan,” ujar sumber itu. Sang sumber menambahkan, kejaksaan juga tengah membidik Widjan dengan sejumlah kasus lain, seperti pengadaan mesin penggiling padi dan karung Bulog.

Tapi tiadanya bank guarantee itu, kata Samosir, tidak bisa dijadikan alasan bahwa Bulog salah. Menurut Samosir, ketika itu, waktu pengadaan sapi yang diperintahkan kabinet sudah mepet. Juga kala itu tidak gampang memperoleh bank guarantee karena Indonesia baru keluar dari krisis moneter. ”Sebelumnya, Karyana mengimpor sapi juga tidak memakai bank guarantee dan tidak mengalami masalah,” katanya.

Widjan menyatakan siap menanggung risiko atas kasus ini. Politisi Golkar yang kemudian menyeberang ke PDI Perjuangan itu menegaskan tak mau mengaitkan kasus sapi impor dengan soal politik—perebutan kursi Direktur Utama Perum Bulog—yang disebut-sebut sangat kental di balik kasus ini.

Kendati Widjan anggota PDI Perjuangan, dia belum membicarakan masalah ini ke partainya. Menurut sumber Tempo, hubungan Widjan dan PDIP kini memang renggang. Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP Panda Nababan mengakui, sejak diangkat menjadi Kepala Bulog, Widjan tak pernah ikut rapat PDIP. Kendati demikian, kata Panda, partainya akan membantu jika diminta Widjan. ”Tapi, sampai sekarang, dia tidak pernah meminta,” ujar Panda.

L.R. Baskoro, Sunariah

Terjerembap karena Sapi Australia

SAPI Bulog dari Australia memakan korban. Inilah, antara lain, mereka yang lebih dulu terkena ”seruduk”.

Tito Pranolo Direktur Pengembangan dan Informasi dan Teknologi Bulog

DIA ditunjuk Widjanarko Puspoyo sebagai ketua tim monitoring pengadaan sapi. Saat itu jabatannya Kepala Pusat Jasa Logistik. Sebagai ketua tim, tugas terpentingnya mencermati proses pengadaan sapi menurut perjanjian yang dibuat Bulog dengan tiga perusahaan pengimpor.

Ketika kasus sapi ini bergulir ke pengadilan, Tito diperiksa Kejaksaan Tinggi Jakarta. Ia pertama kali diperiksa pada medio 2005. Menurut seorang penyidik kejaksaan, saat itu sebenarnya kejaksaan sudah menetapkan Tito sebagai tersangka. Dari tangan Tito penyidik mendapat dokumen pengadaan sapi yang dinilai menyalahi prosedur. Tapi, setelah pemeriksaan sekitar tiga kali, kasus Tito seperti menguap.

Karena itulah, beberapa koleganya di Bulog terkejut ketika Senin pekan lalu Tito dipanggil lagi oleh kejaksaan. Diperiksa sekitar sepuluh jam, hari itu juga ia dijebloskan ke rumah tahanan Kejaksaan Agung.

Wisaksana Moeffereni Direktur Utama PT Surya Bumi Manunggal

PADA 7 Maret 2006 pria 55 tahun ini divonis 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan membayar ganti rugi Rp 3,3 miliar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bulog membawa Wisaksana ke meja hijau setelah Surya Bumi gagal memenuhi kewajibannya: menjual dan mendapat keuntungan dari sapi impor. Padahal Bulog sudah meminjamkan duit ke Surya Rp 4,9 miliar.

Di pengadilan terungkap, Surya tak punya pengalaman dalam pengadaan sapi. Untuk proyek ini bahkan Wisaksana menggandeng Fahmi, pemilik PT Ayudya Kusumawardana, yang juga divonis lima tahun penjara.

Menurut Wisaksana, ia tidak bisa memenuhi kewajibannya lantaran sapi Australia itu datang pada akhir Desember 2001. Saat itu harga daging sapi sudah anjlok. Menurut sumber Tempo, Surya bisa ”masuk” Bulog karena jasa Tito. Tapi Fahmi, yang kini mendekam di penjara Cipinang, menampik soal itu. ” Kami sebelumnya tidak kenal Tito, juga Widjanarko,” katanya pekan lalu kepada Tempo. ”Kami ini sudah tidak mendapat apa-apa dituduh korupsi lagi.”

Maulany Ghani Aziz Direktur Utama PT Lintas Nusa Pratama

DI pengadilan, pria 50 tahun ini mengaku dirinya diperdaya rekan bisnisnya di Australia. Duit sekitar Rp 5 miliar telah ditransfer, tapi sapi tak dikirim. Untuk menutup pinjamannya ke Bulog sebesar Rp 5, 7 miliar, Maulany menyerahkan sekitar 50 sertifikat tanahnya ke Bulog. Tapi, setelah Bulog mengecek lahan di Bekasi itu, ternyata hampir semuanya bermasalah. Maka Bulog pun menyeretnya ke meja hijau.

Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, Darmono, perusahaan milik Maulany fiktif dan tidak punya pengalaman mengimpor sapi. Pada 22 Februari 2006 pengadilan menghukum Maulany 6 tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan membayar ganti rugi Rp 5 miliar.

Kini Maulany mendekam di Blok D penjara Cipinang. Kepada Tempo yang mewawancarainya Kamis pekan lalu, Maulany membantah perusahaannya adalah fiktif. ”Kalau fiktif kan tidak mungkin bisa berjalan,” katanya. Perusahaannya, ujarnya, selama ini sudah bergerak dalam bidang impor sapi.”

LRB, Sunariah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus