Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nurasia menjalani operasi batu ginjal di Rumah Sakit Umum Dr Zainoel Abidin, Banda Aceh, sebulan lalu. Kini kondisinya mulai baik. Pensiunan pegawai negeri 66 tahun ini bersyukur karena tak perlu menanggung biaya Rp 6 juta. ”Saya memakai fasilitas Jaminan Kesehatan Aceh,” ujar warga Peusangan, Kabupaten Bireuen, ini.
Jaminan Kesehatan memungkinkan penduduk Aceh berobat gratis. Syaratnya hanya menunjukkan kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Diluncurkan dua tahun lalu, program ini melambungkan popularitas Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. ”Saya akan memilih Irwandi jika dia mencalonkan lagi,” kata Nurasia.
Meski baru akan digelar pada November nanti, pemilihan gubernur telah menghangatkan suhu politik Aceh. Saban hari media massa lokal ramai membahas para kandidat. Selain Irwandi Yusuf, tiga tokoh lain siap berlaga: Wakil Gubernur Muhammad Nazar, mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka Zaini Abdullah, dan Rektor Universitas Syiah Kuala Darni M. Daud. Mantan Bupati Aceh Utara Tarmizi A. Karim juga banyak disebut meski belum mendeklarasikan diri.
Zaini Abdullah akan diusung oleh Partai Aceh—partai lokal pemenang Pemilu 2009. Rapat elite Partai Aceh pada awal Februari lalu memutuskan mengajukan bekas Menteri Kesehatan Gerakan Aceh Merdeka itu sebagai kandidat. Pria 71 tahun tersebut adalah kerabat dekat Hasan Tiro, pemimpin GAM yang telah mangkat. Ia akan dipasangkan dengan Muzakkir Manaf, mantan panglima militer GAM, yang kini memimpin Partai Aceh.
”Saya rela meninggalkan sanak keluarga demi rakyat Aceh. Saya juga sudah pindah warga negara menjadi warga negara Indonesia,” kata Zaini pekan lalu. ”Walaupun sudah tua, saya siap memimpin Aceh.”
Zaini bersedia maju karena kepemimpinan Irwandi ia anggap gagal mewujudkan Aceh sesuai dengan kesepakatan Helsinki. Zaini menilai sistem administrasi Aceh buruk dan korupsi merajalela. ”Meuntro Malik Mahmud juga prihatin. Beliau meminta saya pulang ke Aceh dan menjadi calon gubernur,” ujarnya. Malik adalah pengganti Hasan Tiro sebagai Wali Nanggroe.
Zaini dan Irwandi dulu sama-sama aktivis GAM. Dalam pemilihan kepala daerah 2006, Irwandi ngotot mencalonkan diri mesti tak direstui pemimpin GAM di Swedia. Hubungan Irwandi dengan kelompok Hasan Tiro sejak itu retak.
Pada saat mengumumkan keputusan pencalonan Zaini, Muzakkir meminta Irwandi tak lagi mencalonkan diri. ”Sebaiknya kita satu suara saja dan mendukung pasangan ini,” katanya.
Irwandi kukuh menyatakan akan maju walau tanpa dukungan Partai Aceh. Ia berencana mencalonkan diri lewat jalur independen. ”Saat ini saya sedang mempersiapkan diri mengumpulkan kartu tanda penduduk untuk mendaftar,” ujar Irwandi, Rabu pekan lalu.
Dengan ketentuan minimal dukungan 3 persen penduduk, Irwandi harus menjaring sedikitnya 150 ribu tanda tangan agar bisa maju. Tapi sejumlah politikus di dewan perwakilan rakyat daerah kini tengah mengupayakan agar pilkada 2011 tak mengizinkan calon independen masuk.
Semula, dalam Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan aturan calon independen hanya berlaku sekali, yakni dalam pilkada 2006. Pasal ini dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi dan kemudian dinyatakan tidak berlaku pada 30 Desember tahun lalu.
Tapi sejumlah politikus Aceh mempermasalahkan putusan itu. Mereka akan meminta Mahkamah Konstitusi meninjau kembali putusannya. Salah satunya Abdullah Saleh, anggota panitia khusus dari Partai Aceh. Dia khawatir jalur independen—seperti yang berlaku di daerah lain—akan membuat keistimewaan Aceh berkurang.
Irwandi melihat alasan itu dibuat-buat. ”Partai Aceh berusaha menjegal saya lewat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Gesekan terjadi sejak awal,” ujarnya. ”Tapi saya tidak ambil pusing. Semuanya harus ikut konstitusi nasional. Qanun harus memasukkan calon independen.”
PERANG tak hanya terjadi antara Irwandi dan partai politik. Saat ini Irwandi dengan Wakil Gubernur Muhammad Nazar juga gontok-gontokan. Menurut Irwandi, friksi dengan sang wakil terjadi sejak tahun pertama kepemimpinan mereka. ”Saya maklum saja karena dia masih muda,” tuturnya. Nazar menyangkal berselisih dengan Irwandi. Jikapun harus berpisah dengan Irwandi, Nazar berharap perpisahan itu dilakukan secara baik-baik. ”Seperti dulu waktu sepakat bersekutu.”
Di lapis bawah, gesekan berdampak lebih nyata dan berujung pada pemecatan beberapa tokoh Partai Aceh dan Komite Peralihan Aceh—organisasi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka—yang dianggap berkhianat karena pro-Irwandi. Saiful alias Cage, Ketua Komite Peralihan Wilayah Batee Ilik, Bireuen, menyatakan mundur sebelum dipecat. Menurut dia, pemimpin organisasi tak lagi mendengarkan aspirasi anggota.
Tengku Linggadinsyah dicopot sebagai juru bicara Partai Aceh. Ia dituduh membocorkan informasi soal banyaknya wilayah yang kurang setuju terhadap keputusan partai. Selain itu, Ketua Komite Peralihan Aceh Rayeuk, Muharram, ditendang keluar. Tengku Sanusi Muhammad dari Peureulak juga didepak dari posisi ketua partai di Aceh Timur.
Selain panas politik, kekerasan fisik muncul. April lalu, rumah Irwandi di Maheng, Aceh Besar, dibakar. Sang Gubernur mengatakan tahu pelakunya. Ia memastikan kekerasan itu berkaitan dengan situasi menjelang pemilihan. Beberapa hari kemudian, rumah petinggi Komite Peralihan Aceh Sabang, Izil Azhar, dilempari granat.
Pada 1 Juni, mobil Honda CR-V yang ditumpangi Bupati Bener Meriah, Tagore Abubakar, diberondong tembakan. Polisi masih menyelidiki perkara ini. ”Kami belum punya kesimpulan apa pun,” kata Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Iskandar Hasan, Rabu pekan lalu.
Suasana serupa terjadi menjelang pemungutan suara gubernur 2006—pemilihan pertama setelah perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan GAM yang diteken di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Gejolak meruyak setelah rapat besar yang dihadiri petinggi GAM memilih Muhammad Nazar dan Tengku Nasruddin. Nazar ketika itu tokoh muda pemimpin Sentral Informasi Referendum Aceh. Di tengah proses, Nazar kehilangan pasangan karena Tengku Nasruddin mundur.
Tak lama berselang, para elite GAM—seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Usman Lampoh Awe, dan Zakaria Saman—menetapkan Ahmad Humam Hamid dan Hasbi Abdullah sebagai kandidat gubernur-wakil gubernur. Humam-Hasbi ini diusung lewat Partai Persatuan Pembangunan. Hasbi adalah adik Zaini Abdullah.
Keputusan ini dianggap sewenang-wenang karena tidak melibatkan sejumlah komandan lapangan. Menurut para bekas kombatan, partai politik nasional belum bisa dipercaya mewakili aspirasi mereka. Perlawanan pun dilakukan dengan mengusung Irwandi Yusuf, wakil GAM dalam perundingan dengan pemerintah, yang berpasangan dengan Nazar.
Desakan dari bawah yang kuat juga berhasil mendorong Muzakkir Manaf, sebagai panglima tertinggi para mantan kombatan di Komite Peralihan Aceh, mencabut dukungan kepada Humam Hamid dan Hasbi. Dukungan total para pejuang di lapangan ini sukses mengantar Irwandi ke kursi gubernur.
Menyadari perpecahan dalam pemilihan gubernur merugikan GAM, dalam Pemilihan Umum 2009 mereka merapatkan barisan. Partai Aceh didirikan dengan pemimpin GAM di Swedia sebagai kiblat. Hasilnya, mereka memperoleh 33 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Partai lain adalah Partai Demokrat (10 kursi), Golkar (8 kursi), Partai Amanat Nasional (5 kursi), Partai Keadilan Sejahtera (4 kursi), dan Partai Persatuan Pembangunan (4 kursi).
Berbeda dengan Partai Aceh, yang sudah menyiapkan kandidat, Demokrat, Golkar, PAN, PKS, dan PPP belum mengelus jago. Keadaan inilah yang dimanfaatkan Nazar dan Darni M. Daud. ”Secara pribadi saya siap,” kata Darni, yang mengklaim didukung Golkar. Nazar memastikan akan ikut menjadi calon melalui partai.
Y. Tomi Aryanto, Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran M.A. (Lhokseumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo