Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Cerita Penganut Aliran Kepercayaan yang Harus Menyamar di KTP

Penghayat aliran kepercayaan menemui banyak kendala saat status mereka tak diakui. Penghayat aliran kepercayaan mengaku harus berhadapan dengan ormas.

9 November 2017 | 06.41 WIB

Seorang umat dari aliran kepercayaan Kejawen ikut berdoa bersama dalam acara Pray For Nepal di depan Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, 30 April 2015. TEMPO/Johannes P. Christo
Perbesar
Seorang umat dari aliran kepercayaan Kejawen ikut berdoa bersama dalam acara Pray For Nepal di depan Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, 30 April 2015. TEMPO/Johannes P. Christo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Para pemeluk penghayat aliran kepercayaan mengaku selama status identitas kepercayaannya tidak bisa diakui dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), mereka harus menghadapi sejumlah masalah dengan beberapa kelompok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Misalnya para pemeluk penghayat kepercayaan Sapta Darma yang berpusat di Yogyakarta. Pada 2008 silam, para pemeluk penghayat kepercayaan ini pernah digerudug kelompok Front Pembela Islam (FPI) saat melangsungkan ibadah di salah satu sanggar ibadah Sapta Darma di Kabupaten Sleman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saat itu FPI mempersoalkan sujud ibadah kami yang menghadap ke timur,” ujar Naen Soeryono, Ketua Persada Sapta Darma Pusat kepada Tempo Rabu 8 November 2017.

Naen menuturkan, yang dipersoalkan FPI karena dalam KTP para penghayat kepercayaan ini masih mencantumkan agama Islam. Namun di lapangan para penghayat kepercayaan itu tetap menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya, yakni Sapta Darma. Mereka melakukannya tidak sesuai ajaran Islam umumnya yang beribadah menghadap ke barat.

“FPI saat itu meminta kami kalau mau berdoa sujud ke arah timur seharusnya KTP kami ya (mencantumkan) kepercayaan,” ujarnya.

Mengingat kejadian tak mengenakkan itu, maka kini Sapta Darma sangat lega manakala Mahkamah Konstitusi memutuskan aliran kepercayaan bisa masuk dalam KTP. Mereka beraharap bisa bebas beribadah sesuai kepercayaannya sendiri tanpa harus mengingkari dengan kepercayaan atau agama lain dalam KTP.

Selain berurusan dengan FPI, Sapta Darma juga sempat mengalami penolakan kala membuat tempat ibadah yang biasa mereka sebut sebagai ‘sanggar’.

Penolakan pembangunan tempat ibadah Sapta Darma, ujar Naen, sempat terjadi seperti di wilayah Kabupaten Pasuruan dan Jember Jawa Timur.

Naen menuturkan, pemeluk Sapta Darma selama ini musti ‘menyamar’ dalam berbagai agama seperti tercantum dalam KTP. Para pemeluk Sapta Darma ini diperkirakan puluhan ribu yang tersebar di 17 provinsi.

Di Surabaya saja misalnya, saat ini ada sekitar 45 sanggar ibadah Sapta Darma dengan pengikut lebih dari 10 ribu orang. Sedangkan di Bali ada 60 sanggar ibadah dengan pengikut sekitar 15 ribu orang. Namun Naen tak mengetahui persis jumlah pemeluk Sapta Darma karena ada yang mau di data ada yang tidak mau di data.

Naen menuturkan, penghayat kepercayaan itu jenisnya ada tiga. Yakni kebatinan, kejiwaan, dan kerohanian. Sapta Darma yang ada sejak tahun 1952 merupakan penghayat aliran kepercayaan yang murni bergerak di bidang kerohanian. Sapta Darma menyembah satu Tuhan Yang Kuasa.

“Dengan putusan MK ini kami berharap ke depan bisa menjalankan ibadah serta urusan lain tanpa ada diskriminasi lagi,” ujarnya

 

Pribadi Wicaksono (Kontributor)

Koresponden Tempo di Yogyakarta.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus