Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Guru Besar UI Kritik Lembaga Hukum Jadi Senjata Politik

Para hakim itu dinilai meletakkan eksistensi hukum hanya dari teks-teks, per pasal-pasal, dan dilepaskan dari substansinya.

20 Juni 2024 | 06.43 WIB

Ilustrasi pengadilan(pixabay.com)
Perbesar
Ilustrasi pengadilan(pixabay.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar antropologi hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, mengatakan situasi hukum di Indonesia saat ini tidak lebih baik dibanding tahun-tahun kemarin. Ia menyebut penguasa menggunakan hukum sebagai senjata politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

“Diam-diam mereka menggunakan otoritas sebagai lembaga tinggi negara untuk mendefinisikan kekuasaan, kepentingan para elite penguasa,” kata Sulistyowati dalam diskusi publik yang digelar Nurcholis Madjid Society bertajuk Hukum sebagai Senjata Politik di Aula Graha STR, Jakarta Selatan, pada Rabu, 19 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai contoh, Sulistyowati menyoroti kinerja Dewan Perwakilan Rakyat yang banyak merevisi Undang-Undang (UU) tanpa urgensi yang jelas. Alih-alih memberi manfaat, UU itu justru potensial melemahkan demokrasi. Misalnya, revisi UU Penyiaran, revisi UU TNI dan Polri, dan sebagainya.

Selain itu, ia juga menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) yang keputusannya kerap menuai kontroversi. Diketahui, MK pernah mengeluarkan putusan tentang batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden. Sejumlah pengamat menyebut, putusan itu menguntungkan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk maju dalam pemilihan presiden 2024.

Sedangkan MA, mengabulkan permohonan uji materiil dari Partai Garuda mengenai batas usia calon kepala daerah pada Rabu, 29 Mei 2024. Pengamat menilai putusan itu membuka jalan bagi putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep untuk maju dalam pemilihan kepala daerah 2024.

“Saya kurang paham para sarjana hukum yang menjadi hakim-hakim itu, apakah mereka sengaja menyalahgunakan teori yang mereka gunakan di kelas, yaitu positivisme hukum,” ucapnya

Sulistyowati menjelaskan para hakim tersebut meletakkan eksistensi hukum hanya dari teks-teks, per pasal-pasal, dan dilepaskan dari substansinya. Mereka kurang memperhatikan dampak dan keadilan dari hukum itu sendiri.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus