Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Guru Besar UMY Sebut Politik Gula-gula Jokowi Membunuh Oposisi

Jokowi merangkul rivalnya yang sebelumnya berada di luar pemerintahan atau oposisi melalui praktik politik gula-gula.

22 Februari 2024 | 23.28 WIB

Presiden Jokowi saat melantik Menkopolhukam Hadi Tjahjanto dan Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 21 Februari 2024. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Presiden Jokowi saat melantik Menkopolhukam Hadi Tjahjanto dan Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 21 Februari 2024. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Iwan Satriawan, mengatakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di tengah-tengah kisruh Pemilu telah membunuh oposisi dan melemahkan civil society dengan 'politik gula-gula' atau janji manis pembagian kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Hebatnya Presiden Jokowi dia membunuh oposisi. Dia melemahkan civil society dengan cara politik gula-gula tadi, itu luar biasa. Membius dan menyihir banyak politisi, banyak pihak dan banyak kelompok," kata Iwan saat ditemui usai agenda Indonesia Corruption Watch atau ICW di Rumah Belajar ICW pada Kamis, 22 Febuari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iwan mengatakan, dengan mudahnya Jokowi merangkul rivalnya yang sebelumnya berada di luar pemerintahan atau oposisi melalui praktik politik gula-gula. Menurutnya, Indonesia tidak bisa menjadi bangsa yang besar ketika civil society tidak memiliki independensi.

"Kita tidak bisa menjadi bangsa yang besar kalau begitu, tidak ada independensi civil society. Padahal syarat negara maju itu civil society yang kuat, seperti dosen, profesor itu semuanya independen seharusnya. Karena kalau tidak, maka siapa yang akan ngomong?" kata Iwan.

Dosen Hukum Tata Negara itu juga mengatakan, dosen, profesor merupakan civil society yang dirancang secara independen. Digaji oleh negara untuk bersuara secara objektif, scientific, dosen dan profesor jangan kemudian menjadi 'Pak Turut' karena rezim. 

"Siapa yang akan mengingatkan negara ini? Seperti saya sebagai dosen, profesor, saya punya kewajiban moral dan intelektual untuk mengingatkan pemerintah, bukan menghakimi, sehingga pemerintah tidak bisa meng-abuse kewenangan," kata dia.

Iwan juga mengatakan, partai yang dulunya menyatakan dirinya oposisi lalu kemudian masuk ke dalam parlemen tidak bisa menjaga independensi kekritisannya. Sebab, kata Iwan, tidak bisa 'main dua kaki' di pemerintahan. Tidak bisa juga serta-merta, sudah kalah lalu masuk ke pemerintahan dengan janji politik gula-gula, sehingga oposisi tidak akan berjalan.

Dari itu, Iwan berharap di pemerintahan selanjutnya akan ada partai oposisi yang menjaga kestabilan demokrasi dengan suara yang cukup signifikan. Sehingga, kata Iwan, nantinya di sektor parlemen bisa menampilkan politik yang indah dengan masyarakat juga turut bersuara.

"Nanti ada penyambungnya. Kalau oposisi tidak kuat, maka rakyat tidak punya saluran dan akan mencari jalannya sendiri," kata dia.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus