Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Hikmahanto Juwana Nilai Perjanjian FIR Berpotensi Tabrak UU Penerbangan

Guru Besar Universitas Indonesia menilai perjanjian FIR antara Indonesia dengan Singapura seharusnya tidak boleh dilakukan.

31 Januari 2022 | 08.43 WIB

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin dalam diskusi Cross Check "Pantang Keok Hadapi Tiongkok" di Up Normal, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, pada Minggu 12 Januari 2020. FOTO: Tempo/Halida Bunga
Perbesar
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin dalam diskusi Cross Check "Pantang Keok Hadapi Tiongkok" di Up Normal, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, pada Minggu 12 Januari 2020. FOTO: Tempo/Halida Bunga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai perjanjian penyesuaian ruang kendali udara atau Flight Information Region (FIR) yang diteken pemerintah Singapura dan Indonesia semestinya tidak perlu dilakukan. Menurut dia, kerja sama atau perjanjian FIR tersebut berpotensi menabrak UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Karena wilayah-wilayah tertentu yang berada dalam kedaulatan Indonesia pada ketinggian 0-37.000 justru didelegasikan ke Otoritas Penerangan Singapura," kata Hikmahanto melalui keterangan tertulisnya, Senin, 31 Januari 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menuturkan perjanjian FIR antara pemerintah dengan Singapura tidak boleh dilakukan. Karenanya, Indonesia mendelegasikan pengaturan ruang kendali udara di ketinggian hingga 37.000 ke Singapura. Pasal 458 Undang-undang Penerbangan dengan tegas mengatur regulasi tersebut.

"Wilayah  udara  Republik  Indonesia,  yang  pelayanan  navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan  perjanjian  sudah  harus  dievaluasi  dan  dilayani oleh lembaga  penyelenggara  pelayanan  navigasi  penerbangan paling  lambat  15   tahun  sejak  Undang-undang  ini berlaku."

Oleh karena itu, kata dia, perjanjian FIR Indonesia-Singapura tidak boleh lagi ada pendelegasian. "Ini mengingat pendelegasian menurut Pasal 458 harus dihentikan hingga tahun 2024," ujar Hikmahanto.

Pertanyaan publik saat ini, kata dia, mengapa dalam perjanjian FIR, sebagaimana dilansir media Singapura, didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura untuk jangka waktu 25 tahun. Bahkan dapat diperpanjang sepanjang mendapat kesepakatan kedua negara.

"Bila melihat ketentuan Pasal 458 UU Penerbangan itu, sepertinya para pejabat yang menegosiasikan Perjanjian FIR tidak memperhatikan atau dengan sengaja ingin menyimpang dari UU Penerbangan."

Menurut dia, tindakan pejabat yang meneken perjanjian itu sangat membahayakan presiden. Sebabnya presiden saat akan memulai jabatan berdasarkan Pasal 9 ayat 1 UUD 1945 bersumpah untuk menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam berbagai kesempatan telah bertekad untuk mengambil alih pengelolaan FIR di atas kedaulatan Indonesia tanpa ada pendelegasian. "Lalu mengapa dalam perjanjian FIR ada pendelegasian? Hanya pejabat yang menegosiasikan perjanjian FIR yang dapat menjawab," ujar Hikmahanto.

IMAM HAMDI

Imam Hamdi

Bergabung dengan Tempo sejak 2017, setelah dua tahun sebelumnya menjadi kontributor Tempo di Depok, Jawa Barat. Lulusan UPN Veteran Jakarta ini lama ditugaskan di Balai Kota DKI Jakarta dan mendalami isu-isu human interest.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus