Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (KOMPAKS) menyampaikan sejumlah kritik terhadap draf terbaru rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Draf ini dibahas dalam rapat pleno penyusunan draf RUU PKS yang digelar Badan Legislasi DPR RI, Senin, 30 Agustus 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, KOMPAKS mengkritik perubahan judul draf yang semula RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diganti menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Menurut KOMPAKS, terminologi 'penghapusan' memuat elemen-elemen penting penanganan kekerasan seksual secara komprehensif yang bertujuan menghapus kekerasan seksual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sementara RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI, sesuai dengan namanya, menitikberatkan pada penindakan tindak pidana sehingga mengabaikan unsur kepentingan korban seperti pemulihan, perlindungan, dan akses terhadap keadilan secara umum," kata perwakilan KOMPAKSNaila dalam keterangannya, Sabtu, 4 September 2021.
Selanjutnya, KOMPAKS menyoroti substansi mengenai jaminan hak, pemulihan, dan perlindungan korban kekerasan seksual. Naila menyebut, pada draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI, ketentuan hak korban hanya disebutkan pada bagian ketentuan umum yakni pasal 1 angka 12.
Bunyinya; Hak korban adalah hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh korban, dengan tujuan mengubah kondisi korban yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif.
"Tidak ada pengaturan lebih lanjut terkait pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Hal ini dapat menghilangkan jaminan pemenuhan hak korban selama proses peradilan pidana," ujar Naila.
Selanjutnya, KOMPAKS juga mengkritik penghapusan sejumlah ketentuan, di antaranya; Ketentuan Tindak Pidana Perkosaan, Pemaksaan Perkawinan, Pemaksaan Pelacuran, Pemaksaan Aborsi, Penyiksaan Seksual, dan Perbudakan Seksual.
Draf teranyar hanya mengatur lima jenis tindak pidana kekerasan seksual. Pertama, jenis tindak pidana pelecehan seksual. Kedua, pemaksaan memakai alat kontrasepsi. Ketiga, pemaksaan hubungan seksual. Keempat, eksploitasi seksual. Kelima, tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain.
KOMPAKS juga mengkritik penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual dalam Pasal 4 draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual versi Baleg DPR RI. "Upaya penghalusan bahasa/eufemisme kata perkosaan merupakan suatu sesat pikir (logical fallacy)," ujar Naila.
Selain itu, KOMPAKS juga mengkritik kosongnya pengaturan untuk penanganan korban kekerasan seksual dengan disabilitas dan juga kosongnya pengaturan kekerasan seksual berbasis online (KBGO)
"Padahal berdasarkan publikasi SAFEnet, terdapat 620 laporan kasus KBGO yang dilaporkan kepada SAFEnet selama tahun 2020. Jumlah laporan tersebut merupakan hasil peningkatan sebesar sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 2019," ujar Naila.
Senin lalu, Badan Legislasi DPR RI telah menggelar rapat pleno penyusunan draf RUU PKS. Agendanya,
agenda mendengarkan pemaparan tim ahli atas penyusunan draf awal RUU PKS yang terdiri atas 11 bagian atau bab dan 40 pasal.
Tim Ahli Baleg DPR RI Sabari Barus, menjelaskan, alasan kata "Penghapusan" di judul draf RUU tentang PKS dihapus dan diganti dengan "Tindak Pidana" karena mengambil pendekatan hukum bahwa kekerasan seksual merupakan Tindakan Pidana Khusus.
“Dari aspek judul, sesuai dengan pendekatan, maka kekerasan seksual dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Sehingga judul sebaiknya menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ujar Barus.
Menurutnya, kata "Penghapusan" juga terkesan sangat abstrak dan mutlak, karena penghapusan berarti hilang sama sekali. "Ini sesuatu yang mustahil dicapai di dunia ini. Penggunaan judul tindak pidana akan lebih memudahkan penegak hukum dalam melakukan tugasnya menentukan unsur pidana terhadap pelaku kekerasan seksual," ujar Barus.