Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menyelisik Perubahan Rumusan Kuota Perempuan

Penghitungan dalam regulasi KPU berpotensi menggerus kesempatan kaum hawa duduk di parlemen. Dipersilakan menggugat ke MA.

26 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seorang anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat telah mengusulkan perubahan aturan penghitungan afirmasi kuota 30 persen perempuan.

  • KPU diminta tidak menggunakan penghitungan sendiri dalam merumuskan pembulatan afirmasi kuota perempuan.

  • Penghitungan dalam PKPU yang baru menggunakan pendekatan akademis, sedangkan yang lama bersifat politis.

JAKARTA – Seorang anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengakui telah mengusulkan perubahan aturan penghitungan afirmasi kuota 30 persen perempuan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau PKPU. Mohammad Toha, anggota komisi bidang pemerintahan, menilai KPU tidak boleh menggunakan hitungan sendiri dalam merumuskan sistem pembulatan afirmasi kuota perempuan. "Saya yang mengusulkan dan semua anggota komisi menyepakati usul tersebut,” ujar Mohammad Toha, anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), saat dihubungi pada Kamis, 25 Mei 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Formula penghitungan afirmasi kuota perempuan tertuang dalam Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Rumusan penghitungan dalam PKPU ini disebut berpotensi menggerus kesempatan kaum hawa duduk di parlemen. Sebab, pasal itu menggunakan pendekatan penghitungan standar pembulatan matematika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal 8 ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 menyebutkan, jika dalam penghitungan 30 persen dari kursi bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan pecahan dengan dua desimal di belakang koma kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sedangkan, jika dua angka di belakang koma di atas 50, pembulatan dilakukan ke atas.

Penghitungan ini mengubah draf penghitungan yang diajukan KPU. Pada draf yang diajukan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri pada 12 April lalu, KPU menyodorkan penghitungan mengacu pada regulasi sebelumnya, yakni PKPU Nomor 20 Tahun 2018, yang menyatakan semua hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas. Hal ini juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perihal keterwakilan 30 persen perempuan untuk pencalonan anggota legislatif agar secara nasional dapat terpenuhi.

Baca: Dalang di Balik Pasal Kontroversial

Toha membenarkan bahwa penyelenggara pemilu masih menyodorkan draf formula penghitungan dengan mengacu pada regulasi sebelumnya. Dalam rapat tersebut, Toha meminta KPU kembali menggunakan usulan dalam rapat kerja sebelumnya, yakni memakai penghitungan standar matematika. “Saat rapat terakhir dengar pendapat di ruangan Badan Anggaran, saya kembali meminta menggunakan rumus dan patokan matematika yang umum,” katanya. “Jadi, jangan menyalahi aturan penghitungan yang umum.”

Toha menyatakan KPU tidak boleh menggunakan penghitungan sendiri dalam merumuskan pembulatan afirmasi kuota perempuan. Sebab, kata dia, tidak ada aturan matematika yang secara umum membolehkan pembulatan di bawah 0,5, lalu dibulatkan ke atas.

Dia mencontohkan angka 5,2 kemudian dibulatkan menjadi 6. “Rumusan seperti itu, mana bisa,” ucapnya. “Kalau rumusan seperti itu diakomodasi di PKPU karena merujuk pada Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pemilu harus direvisi karena undang-undang mesti mengikuti patokan penghitungan umum.”

Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Boyolali menunggu pendaftar bakal calon anggota legislatif (bacaleg) di kantor KPU Boyolali, Jawa Tengah, 15 Mei 2023. ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho

Keterwakilan perempuan di parlemen sudah diatur dalam Pasal 245 Undang-Undang Pemilu yang menyebutkan daftar bakal calon anggota legislatif perempuan paling sedikit 30 persen. Jika menggunakan penghitungan pembulatan ke bawah, ada sejumlah daerah pemilihan yang memiliki jatah empat kursi, misalnya, tak akan berpotensi tidak memenuhi ambang batas yang ditentukan. Sebab, penghitungan 30 persen untuk daerah pemilihan yang mempunyai empat kursi menghasilkan angka 1,2. Jika angka ini dibulatkan ke bawah, hanya menjadi satu kursi atau 25 persen kuota perempuan di daerah pemilihan itu. Adapun menggunakan rumusan regulasi yang lama, kuota perempuan di daerah pemilihan dengan empat kursi bisa menempatkan dua calon anggota legislatif perempuan di parlemen karena pembulatan dilakukan ke atas.

Jika mengacu pada Undang-Undang Pemilu, menurut Toha, undang-undang tersebut harus direvisi karena seharusnya mengikuti patokan umum. “Tidak boleh 5,2 dibulatkan menjadi 6. Kalau 5,5, bisa saja dibulatkan ke bawah atau ke atas,” ucap Toha. Menurut dia, undang-undang harus bersifat universal dengan patokan yang lazim. “Jadi, jangan dibuat untuk kepentingan tertentu.”

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan memprotes rumusan penghitungan baru afirmasi kuota perempuan tersebut ke Bawaslu pada 8 Mei lalu. Sehari setelah protes dilayangkan, Bawaslu mengundang KPU dan DKPP untuk menggelar rapat tripartit. Ketiga lembaga itu sepakat merevisi aturan penghitungan afirmasi kuota perempuan 30 persen. Dalam pernyataan resminya, KPU menyatakan akan merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023.

KPU menyatakan bakal kembali mengubah penghitungan afirmasi kuota perempuan menjadi sama seperti sebelumnya, yakni pembulatan ke atas berapa pun pecahan dari hasil penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan.

Toha membenarkan bahwa KPU awalnya mau mengakomodasi usul Koalisi Masyarakat Sipil. Dia mengatakan KPU mengirim surat ke Komisi II DPR untuk mengembalikan rumusan penghitungan mengacu pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018. “Surat diberikan saat kami sedang menjalani masa reses,” katanya. Masa reses DPR berlangsung pada 14 April hingga 15 Mei 2023. Adapun PKPU Pencalonan Anggota DPR dan DPRD baru ditetapkan pada 17 April lalu.

Komisi II DPR meminta KPU menunggu masa reses DPR berakhir untuk membahas permintaan mereka. Sehari setelah rapat paripurna pembukaan masa sidang pada 17 Mei lalu, Komisi II DPR memprioritaskan pembahasan regulasi tersebut. Komisi Pemerintahan DPR mengundang penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk membahas usulan tersebut. “Kami semua sepakat bahwa aturan itu tidak perlu diubah karena semua partai untuk kuota perempuan telah mencapai lebih 30 persen,” ujar Toha. 

Partai Ditengarai Tak Bisa Memenuhi 30 Persen Kuota Perempuan 

Koalisi Masyarakat Sipil sejak awal menengarai bahwa perubahan regulasi KPU tersebut atas usulan legislator Senayan. Aturan tersebut diduga diselundupkan karena partai politik diduga tidak bisa memenuhi minimal 30 persen keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan.

Hal tersebut dikuatkan dengan temuan anggota Koalisi Masyarakat Sipil dari Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay. Turut menyokong Koalisi Masyarakat Sipil, komisioner KPU periode 2012-2017 itu menyebutkan pihaknya mendapatkan segepok data pengajuan bakal calon anggota legislatif dari sejumlah wilayah.

Hasil penelusuran sementara Hadar membuktikan bahwa pencalonan anggota legislatif yang diajukan sejumlah partai tak akan memenuhi syarat jika cara penghitungan keterwakilan perempuan minimal 30 persen tetap menggunakan pembulatan ke atas sebagaimana dalam peraturan lama. Salah satu daerah pemilihan yang terbukti tak memenuhi ketentuan PKPU lama itu berada di Sumatera Barat.

Tempo telah melihat dokumen pengajuan calon anggota Dewan tersebut. Kepada Tempo, komisioner KPU daerah di wilayah tersebut juga membenarkan bahwa dokumen itu valid. “Jadi, silakan buka-bukaan data," kata Hadar, kemarin.

Menurut dia, kajian cepat terhadap dokumen pengajuan calon tersebut menunjukkan bahwa daerah pemilihan dengan jatah jumlah kursi 4, 7, 8, dan 11 secara umum tidak memenuhi syarat 30 persen jika pembulatan ke atas dalam penghitungan lama diterapkan.

Di salah satu daerah pemilihan wilayah Sumatera Barat, misalnya, hanya tercatat 18 bakal calon legislator perempuan, atau 2,27 persen dari total 79 bakal calon yang didaftarkan oleh partai. "Secara kasatmata, dari sini saja terbukti bahwa partai tak akan memenuhi syarat pencalonan jika menggunakan pembulatan ke atas," ujarnya.

Dari analisis sementara itu juga diperoleh kesimpulan bahwa 10 dari 17 partai yang mendaftarkan bakal calonnya lolos karena pencalonan menggunakan pembulatan ke bawah. Sebagian besar daerah pemilihan tempat partai yang semestinya tidak memenuhi syarat dalam PKPU lama tersebut memiliki alokasi delapan kursi. “Kalau aturan yang lama dapil yang delapan kursi wajib menyediakan tiga kursi untuk perempuan karena pembulatannya ke atas. Tapi, kalau sekarang, 10 partai itu mengajukan dua bakal calon perempuan saja karena pembulatannya dibolehkan ke bawah,” kata Hadar. “Saya sangat yakin hal ini terjadi di banyak daerah di Indonesia dan menjadi motif draf rancangan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 berubah saat diterbitkan."

Dipersilakan Menggugat ke MA 

Wakil Ketua Komisi II DPR, Yanuar Prihatin, mengatakan sebenarnya tidak ada yang salah dalam regulasi penghitungan aturan yang lama dan baru. Penghitungan yang baru, kata dia, menggunakan pendekatan akademis, sedangkan yang lama bersifat politis.

Menurut dia, hal yang perlu menjadi catatan bahwa angka 30 persen tersebut merupakan angka pembagi dan bukan ukuran final. “Tinggal siapa yang melihat dan mau menggunakan yang mana. Kalau kami mengusulkan penghitungan secara akademis,” kata politikus PKB tersebut.

Yanuar menyatakan masyarakat yang tidak puas dengan keputusan KPU mempertahankan usulan Komisi II DPR dipersilakan menggugatnya melalui hak uji materi atau judicial review ke Mahkamah Agung. Nantinya, kata dia, pengadilan yang menguji regulasi hitungan yang paling tepat untuk memaknai aturan tersebut. “Daripada berdebat, lebih baik diuji. Biar pengadilan yang memutuskan,” ucapnya.

Selain soal pasal penghitungan afirmasi kuota perempuan di PKPU Nomor 10 Tahun 2023, pasal-pasal lain tak kalah janggal. Regulasi baru menghapus kewajiban pelaporan harta kekayaan bagi calon anggota Dewan, kendati KPU mengklaim akan mengaturnya dalam peraturan terpisah tentang penetapan calon terpilih. PKPU tersebut juga melonggarkan ketentuan bagi mantan terpidana untuk menjadi calon anggota parlemen.

Seorang petinggi lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mengetahui pembahasan-pembahasan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 menceritakan bahwa usulan perubahan pasal-pasal dalam draf rancangan PKPU tersebut muncul pertama kali dalam pertemuan tertutup sebelum digelarnya rapat dengar pendapat DPR pada 12 April lalu. Persamuhan bertajuk konsinyering itu diinisiasi Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan. "Pembahasan pasal penghitungan keterwakilan perempuan diusulkan anggota Komisi II," kata sumber Tempo yang mengikuti konsinyering tersebut. "Rapatnya di Hotel Ayana Jakarta.”

Belum ada konfirmasi dan tanggapan soal perubahan aturan yang dipersoalkan Koalisi Masyarakat Sipil. Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia; Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustofa; dan anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera, tidak menjawab permintaan konfirmasi yang dikirim Tempo. Adapun komisioner KPU, Idham Holik, sebelumnya mengatakan telah mengikuti regulasi yang ada dalam menyusun PKPU pencalonan. “Tidak ada yang kami langgar dalam pembuatan PKPU,” ucapnya. 

IMAM HAMDI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus