Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH mesjid tua, itulah modal pertama Pondok Moderen Gontor,
setengah abad yang silam. Dibangun oleh KH Ahmad Sahal, KH
Zainuddin Fanani dan KH Imam Zarkashi, tiga bersaudara yang oleh
para sahabat disebutkan juga Trimurti. Modernisasi pendidikan
Islam menjadi niat utama dalam mendirikan pondok pesantren
tersebut. KH Ahmad Sahal yang 50 tahun yang lalu pulang dari
pertemuan pendidikan Islam di Mekkah melihat betapa pentingnya
bagi para murid untuk mempelajari pengetahuan umum, terutama
bahasa Ingeris, supaya pikiran mereka terbuka.
Sannpai sekarang niat itu tetap dipertahankan dan menjadi ciri
utama bagi pondok yang berdiri di Ponorogo tersebut. Bahasa
Indonesia hanya dipergunakan selama enam bulan oleh murid baru.
Selanjutnya mereka lurus bercakap-cakap dalam bahasa Arab dan
Inggeris. Siapa yang melanggar rambutnya dicukur atau dihukum
membuat karangan. Empat orang dari Kairo dan seorang dari
Manchester sengaja didatangkan untuk mengawasi kedua bahasa
itu.
Jenjang pendidikan di sini mulai dari sekolah guru enam tahun
(Kulliatul Mualimin Al Islamiyah), sampai perguruan tinggi,
meliputi Ushuluddin dan fakultas ilmu pendidikan.
Tercatat 1600 siswa yang menuntut ilmu di sana dengan tenaga
pengajar sebanyak 110 orang. 20% dari Siswa datang dari
Jakarta, Antara 1960 sampai I977 tercatat 1385 orang
yang lulus dari pesantren ini. Sedang sebelumnya tak tercatat
rapi.
Disiplin dijaga ketat. Para siswa yang berdiam di asrama jam
empat pagi sudah harus bangun dan sembahyang Subuh berjemaah.
Budi pekerti dibina dengan berbagai ketentuan. Tak boleh jajan
ni luar pondok. Menonton film tak boleh. Jangan menghina orang
lain, tak boleh berkelahi dan mengganggu orang kampung. Sampai
saat ini kabarnya 70 siswa dipulangkan karena melanggar berbagai
larangan tersebut.
Selain ribuan alumni yang diluluskannya, Pondok Gontor
tambah makmur. Di perkampungan pendidikan Islam itu kini
sudah berdiri Mesjid ~Jami' yang megah. Berlantai 2 dengan
luas bangunan seluruhnya 2500 mÿFD. ~Hargan~ya Rp 150 juta. Untuk
itu ada sumbangan Rp 55 juta dari Presiden Suharto yang
datang meresmikannya tanggal 2 Maret yang lalu. Ada pula
sumbangan Rp 11,6 juta dari Raja Feisal, Saudi Arabia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo