Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, saat ini tengah menjadi sorotan terkait ambisinya untuk meraih gelar guru besar di Universitas Borobudur. Beberapa kejanggalan terungkap dalam riwayat akademis dan pengajarannya yang menimbulkan pertanyaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria yang akrab disapa Bamsoet tersebut memperoleh gelar master administrasi bisnis dari Institut Manajemen Newport Indonesia (IMNI) pada 1991. Anehnya, setahun kemudian, ia baru lulus sarjana di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data juga menunjukkan riwayat mengajar Bambang Soesatyo kurang dari lima tahun, padahal syarat untuk menjadi calon guru besar adalah mengajar setidaknya selama sepuluh tahun. Ketika diakses pada 3 Juli 2024, situs Pangkalan Data Pendidikan Tinggi tidak lagi mencantumkan tahun kelulusan Bambang.
Menanggapi isu ini, Bambang Soesatyo mengklaim bahwa pengajuan gelar guru besarnya sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bambang merasa aneh jika ada pihak yang mempersoalkan proses ini karena ia masih mengikuti prosedur yang ada.
"Saat ini permohonan guru besar masih dalam proses pengajuan dan menunggu penetapan nominasi peserta serdos (sertifikasi dosen) dari Dirjen Dikti. Selama itu belum keluar dan statusnya Eligible, saya tidak bisa mengisi atau upload beban kerja dosen (BKD) tahun 2022 dan 2023," ujarnya dalam siaran pers yang diterima Tempo pada Senin, 17 Juni 2024.
Kasus ini menjadi perhatian publik, terutama dalam konteks integritas akademik dan transparansi proses pengajuan gelar guru besar di Indonesia. Sejalan dengan skandal ini, bagaimana sanksi yang berlaku bagi pelanggar atau pemalsu gelar guru besar? Berikut adalah penjelasannya.
Kasus Reda Manthovani
Selain Bamsoet, Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung Reda Manthovani juga menghadapi tuduhan serupa. Reda yang mengajukan loncat jabatan dari lektor ke guru besar menggunakan International Journal of Cyber Criminology (IJCC) dan International Journal of Criminal Justice Science (IJCJS) untuk menerbitkan empat artikel ilmiahnya.
Belakangan diketahui, kedua jurnal tersebut bermasalah karena sudah tidak lagi terbit dan diduga diterbitkan oleh perusahaan paper mill.
Menanggapi hal ini, Reda mengklaim artikelnya terbit sesuai prosedur dan ia tidak mengetahui apakah jurnal tersebut sedang dalam penyelidikan sebagai jurnal predator atau tidak.
"Saya tak mengetahui apakah jurnal itu sedang dalam penyelidikan sebagai jurnal predator atau tidak," kata Reda pada 6 Juli 2024.
Sanksi atas Pelanggaran
Sesuai dengan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terdapat sanksi berat bagi pihak yang memberikan atau menggunakan sebutan guru besar tanpa mematuhi ketentuan yang berlaku.
Penyelenggara pendidikan yang melanggar aturan ini dapat dipidana dengan penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan individu yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar secara tidak sah dapat dipidana dengan penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dengan adanya peraturan yang ketat ini, diharapkan bahwa gelar guru besar tetap terjaga kualitas dan kredibilitasnya, sehingga mampu memberikan kontribusi yang bermanfaat dalam dunia pendidikan tinggi.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | DIANKA RINYA FITRIANSYAH