Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada akhir tahun lalu, saya mengelilingi Pulau Jawa. Hampir setiap kabupaten dan kota madia yang saya lalui selalu ada motto. Misalnya, Jombang Beriman, yang kepanjangannya bersih, sehat, rapi, dan indah. Yogyakarta Berhati Nyaman (bersih, sehat, rapi, indah, dan nyaman), dan Cirebon Berintan (bersih, indah, tertib, dan aman) dan lain-lain. Memang berbau sloganistis tapi, paling tidak, kita bisa memahami "selera" para eksekutifnya. Jakarta merefleksikan selera yang lain. Bukan kata-kata yang indah, tapi sebuah cerminan benda yang banyak diminati para hartawan "kelas tersendiri". Dan itu buatan luar negeri. Bisakah dibantah bahwa motto BMW itu tidak merujuk pada salah satu merek mobil dari Jerman? Kalau memang ingin menonjolkan kepanjangan Bersih, Manusiawi, dan Berwibawa, sesuai dengan singkatan BMW, mengapa tidak WBM, MBW, atau WMB? Dalam hal ini, saya sangat jauh dari prasangka adanya komitmen bisnis dari pemilik merek itu. Tapi saya khawatir, jangan-jangan nantinya ada kota lain yang bermotto Mersi: makmur, elok, rapi, serasi, dan indah. Atau, pada kota di kawasan pegunungan yang religius akan bermottokan Daihatsu: damai, aman, ikhlas, harmonis, tertib, dan subur. Bisakah kota-kota terakhir ini menghindar dari prasangka bila motto-motto itu sebenarnya bisa diramu dalam bahasa non-trade-mark, misalnya Resmi untuk Mersi? Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa diabaikan. Tapi citra yang tertebar tak bisa dikendalikan. Salahkah saya bila karena motto itu, nantinya tumbuh dalam diri saya bahwa Jakarta makin materialistis? Atau Jakarta tidak mengacuhkan lagi yang bukan "kelas tersendiri"? Lebih jauh lagi, itukah cermin pembangunan seutuhnya? Kalau memang pemerintah daerah Jakarta bermaksud menertibkan istilah-istilah asing, kenapa tidak dimulai dari diri sendiri. Bagaimana, Pak Wi? EMZET WIDJAYA AS'AD Jalan Pandean I/3 Gandok -- Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo