Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Kisah cinta mang udi

Kisah seorang pengebor sumur, udi, di masa muda ia penguber wanita. kini dalam usia 82 tahun masih sanggup membuat sumur bor. sudah bercucu 101, pernah tampil dalam acara kuis aneka tvri. (ils)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK kurang dari 13 wanita pernah memasuki hidupnya. Tapi nama mereka hanya sebagian kecil yang masih diingatnya. Yang tak mungkin ia lupakan, wanita-wanita itu telah memberinya 13 orang anak. Dan anak-anak itu telah membuahkan 101 cucu baginya, meskipun hanya sebagian kecil yang dikenalnya. Ke-13 wanita tadi tak seluruhnya dinikahinya. Beberapa orang hanya dijadikannya teman hidup untuk beberapa bulan, ada juga yang sampai bertahun-tahun. Tapi Wati adalah satu-satunya wanita yang tetap mendampingi laki-laki yang kini bukan lagi sebagai penguber wanita, tapi hanya sebagai pengebor sumur. Melalui perjalanan hidup yang cukup berliku, dalam usia 82 tahun, kini Udi toh membanggakan dirinya sebagai pembuat sumur bor. Ia menyebut beberapa nama hotel terkenal di Jakarta yang pernah ia buatkan sumur sebagai sumber air untuk tamu-tamu di hotel itu. Belum lagi untuk perumahan dan kantor-kantor. Bahkan satu di antara hotel tadi sampai sekarang tetap mengontrak Udi untuk membuat sumur-sumur bor baru. "Dan kalau hotel-hotel itu kesulitan air, saya selalu dipanggil," ungkap Udi. Ia tak merasa dirinya lebih rendah dari warga Jakarta lain karena memilih profesi sebagai tukang bor sumur. "Memang ada orang yang menganggap pekerjaan saya hina," kata Udi, "tapi lihat duitnya, dong." Jumlah pendapatan yang disebutkannya memang tak terlalu besar: Rp 35.000 untuk sumur pompa tangan dan Rp 125 untuk sumur pompa listrik -- tergantung pada kedalaman dan lebar sumur yang digali. Nyonya Belanda Namun jumlah itu rupanya sudah cukup lumayan bagi Udi. Sebab tiga orang pembantunya tak lain dari menantu-menantunya sendiri. Sedangkan peralatan cukup sebuah palu godam, linggis dan beberapa pipa baja. Waktu yang dipakai juga tak terlalu banyak. Untuk sebuah hotel bertaraf internasional, misalnya, dari mulai menggali sampai air mengucur di kamar-kamar, diperlukan waktu seminggu sampai 10 hari. Karena Jakarta belum mampu memberi air ledeng kepada sebagian besar warganya, hampir tiap minggu Udi dan para menantunya harus melayani order pembuatan sumur -- selain sebagai "konsultan" air tetap di beberapa hotel. Dan air pun ternyata tak sulit didapat. "Saya yakin, di bawah tanah pasti ada air," kata Udi dengan dialek BetawiSunda. Karena itu sumur yang dibornya selalu mengucurkan air, walaupun dengan kedalaman ratusan meter. Di masa remaja, Udi sendiri tak pernah membayangkan hari tuanya akan menjadi penggali sumur. Anak kedua dari 12 bersaudara kelahiran Mardikalio, Bandung ini, memulai hidupnya sebagai kondektur kereta-api. Ini terjadi pada tahun 1919, beberapa saat setelah buruh SS (perusahaan kereta-api Belanda) melancarkan pemogokan. Tapi pekerjaan itu tak membuatnya betah. Sebulan mondar-mandir di atas kereta-api, ia berhenti untuk bekerja pada sebuah percetakan satu-satunya di Kota Bandung waktu itu. Ini pun tak lama. Ia diberhentikan dengan alasan "kurang bagus berbahasa Belanda." Ia pun menganggur. Namun, rupanya, di saat-saat penganggurannya itulah ia mulai mengenal kelaki-lakiannya. Ia diterima oleh satu keluarga Belanda untuk bekerja sebagai tukang kebun. Nyonya rumah yang cantik itu ternyata menaruh hati pada pemuda Udi. "Saya diajak-ajak begituan, ya mau, apalagi dia cantik," kata Udi sambil tertawa-tawa. Hubungan mereka itu diketahui suami si nyonya, "tapi dia biarkan saja." Tubuh Udi ketika itu rupanya mengiurkan banyak wanita. Sebab dia juga dikenal sebagai penggulat dan pernah meraih juara pertama melawan pegulat-pegulat Belanda se Bandung. Dengan tinggi tubuh 1,65 meter, waktu itu berat badannya 85 kg, penuh dengan otot kencang. Si nyonya Belanda menurut Udi, selalu menjaga kondisi tubuh pegulat itu -- semata-mata agar laki-laki itu selalu fit bermain cinta. "Saya pernah main seks 17 kali dalam satu malam," tutur Udi pula dengan bangga. Karena itu, tambahnya, "sang nyonya sudah lengket benar dengan saya. " Selain dengan istri majikannya, Udi melakukan petualangan cinta dengan berbagai wanita lainnya. Setelah 8 tahun, Udi diusir nyonya Belanda tadi. "Gara gara saya kawin dengan Wakiah," ungkap Udi lagi. Waktu itu, tahun 1929 Udi telah berusia 30 tahun dan Wakiah istri pertamanya, 16 tahun. Dari wanita ini, Udi kemudian mendapat tujuh orang anak. Dengan modal tubuh yang kukuh laki-laki yang pernah mencapai kelas 6 sekolah ongko loro itu, agaknya telah menjadi petualang cinta. Dengan bangga, tapi sekali-sekali diselingi "saya sekarang sudah tobat," ia mengungkapkan kisah pertemuan dan pergaulannya dengan berbagai wanita. Mulai dari perawan belasan tahun, sampai istri orang, berhasil disuntingnya untuk dijadikan teman hidup selama beberapa bulan atau beberapa tahun. Dan Wakiah ternyata banyak memberi bantuan untuk mendapatkan wanita-wanita itu. Udi tak mampu lagi mengingat nama seluruh wanita itu. Dari 13 wanita yang pernah diburunya, hanya Wakiah dan Wati yang dinikahinya. Wati, yang mendampingi Udi hingga sekarang, pada mulanya adalah istri seorang kepala desa di wilayah Padalarang. Sebagai istri penguasa desa, tentulah Wati wanita paling top di daerahnya waktu itu. Karena itu tak heran, jika sekali bertemu pandang, Udi jatuh hati setengah mati. Saat itu juga ia menawarkan cintanya. Wanita itu mula-mula mengejek. Udi yang penasaran, dengan bantuan Wakiah, terus menguber. "Saya ikuti terus, sampai di Bandung, saya ajak nonton bioskop, eh mau," tutur Udi. Karena Wati punya suami, pernikahan sulit dilakukan. Satu-satunya jalan, membawanya lari untuk nikah di Jakarta. "Dan karena tahun 1950 itu keadaan masih belum normal benar, kami dapat secara sah nikah di Jakarta, tambah Udi. Menurut dia, sampai sekarang bekas suami Wati tak pernah mencarinya. Wakiah sendiri sampai sekarang tinggal di Bandung bersama anak-anaknya. Di sebuah rumah sederhana, tanpa listrik, di bilangan Cipete, Jakarta Selatan, hingga kini Wati tetap mendampingi Udi. Rumah berukuran 10 x 11 meter itu seluruhnya menampung 25 orang: Udi dan Wati, empat anak mereka (tiga di antaranya sudah bersuami dan bekerja membantu Udi), dan sisanya adalah cucu-cucunya, ditambah seorang keturunan Cina yang dipungut Udi karena telantar. Anak Udi dari Wati yang paling kecil adalah wanita berusia 12 tahun. Di rumah itu, selain beberapa perabotan sederhana, terdapat sebuah pesawat televisi hitam putih 17 inci. Malam hari Udi dan Wati banyak menghabiskan waktu di depan pesawat itu. Tapi televisi itu juga slalu mengingatkan laki-laki yang tetap bertubuh gempal itu saat-saat ia tampil di acara Kuis Aneka pertengahan April 1981. Dalam acara itu ia memakai stelan safari, sepasang pulpen Shafer dan sepatu mengkilat. Pena itu dipinjami Soedarsono, seorang karyawan bank asing yang membawanya ke penyelenggara kuis. Penampilannya di televisi itu mengecoh para panelis. Tampangnya memang mengesankan seolah-olah ia baru berusia 50 tahun. Ketika para panelis menebak Udi sebagai pengasah pisau, ia dinyatakan menang. Ia menolak ketika Kris Biantoro, pembawa acara Kuis Aneka, menawarinya hadiah uang Rp 60.000. Ia memilih nomor dan mendapat hadiah panci susun. Udi mulai mengenal bor dan pipa, ketika ia bekerja di pabrik gas di Bandung (1929/1950) dan di Jakarta (1950/1952). Di sini ia tahu bagaimana cara mengebor tanah untuk memasang pipa-pipa gas. Sehingga waktu ia mengajukan permintaan pensiun (1952), Udi merasa sudah cukup mampu memakai kedua alat itu untuk mengebor tanah mencari sumber air. Ia sekarang berusaha melupakan masa-masa petualangan cintanya di masa muda. Sebagai muslim ia kini tak pernah lalai bersembahyang. Bahkan peci hitam tak pernah kepas dari kepalanya. "Sekarang, saya tidak setuju orang melakukan hubungan seks tanpa nikah'," katanya dengan nada berkhotbah. Meskipun, umbahnya, "wanitaanita sekarang tampaknya gampang-gampang, mungkin karena banyak -- dulu sulit mendapat wanita, kalau tak tahu rahasianya." Jika suatu saat kelak ia tak mampu bergumul dengan tanah dan mengayunkan godam, Udi mengaku akan numpang hidup pada anak-anaknya, sambil mengasuh cucu-cucunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus