Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Perjalanan akhir kuli kontrak

Panti werdha pembimbing budi, martapura, kalimantan selatan menampung 40 orang jompo. kebanyakan bekas pekerja karet zaman hindia belanda yang disebut kuli kontrak. (ils)

19 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOELI kontrak sudah hampir dilupakan orang. Istilah itu dahulu dikukan khususnya kepada orang-orang Jawa yang meneken perjanjian kerja (paksa) seperti di Kalimantan dan Sumatera. Sisa-sisa kuli kontrak itu masih ada. Mereka yang di ujung hidupnya sekarang tergolong tidak beruntung - sebab memang ada juga sebagiankecil yang dahulu pulang ke Jawa dengan menempelkan ringgit emas di dada -- kini berkumpul di Panti Werdha Pembimbing Budhi, Martapura, Kalimantan Selatan. Jumlahnya sekitar 40 orang, sebagian besar bekas pekerja onderneming karet di zaman Hindia Belanda itu. Tapi ada juga di antara mereka yang bekas romusha, yang untung masih bisa menyimpan nyawa. Untuk membunuh kekosongan mereka sekarang ini, yang masih trampil diajar menganyam tikar di samping mengaji. Ada perayaan mauludan ada acara omong-omong atau ceramah agama dan sekali sebulan apel bendera. Yang perlu untuk mereka ini, menurut Soegito (salah seorang pengurus panti yang telah bekerja 25 tahun) adalah "bekal buat menjalani kehidupan di akhirat sebentar lagi". Guratan Di Kulit "Panti Werdha bukan tempat penampungan gelandangan", tutur Soegito. "Tempat ini khusus mereka yang jompo saja". Menurut Soegito pula, mereka ini umumnya dulu terbius ketika agen-agen kuli kontrak menjelajahi desa mereka. "Saya dijual 15 gulden, lalu diboyong sampai ke Borneo", kata Legiyem, 80 tahun, dalam bahasa Jawa. Menikah dengan Nurdiman, rupanya Legiyem tidak bisa melupakan kampung halamannya. Lewat Dinas Sosial di Klaten, beberapa waktu yang lalu terjadi surat-menyurat: "apakah keluarga Legiyem masih ada di Klaten?, begitu. Dan ternyata ada. Dalam masa persiapan ke Klaten itu Legiyem dengan girang berkata: "Saya tidak sangka akhirnya saya bisa pulang kembali". Soemiati, di masa tuanya sekarang juga berniat pulang ke Mojokerto. Di kala masih muda, dia ini sri panggung ronggeng yang terkenal. "Pendeknya, siapa yang kesenggol Soemiati waktu itu pasti tergila-gila padanya", cerita Soegito. Usianya kini 75 tahun. Lebih separuh umurnya banyak dihamburkan oleh hangatnya asmara dan meja judi. Kini, Soemiati wanita renta, mata rabun, tuli, dan jalan tertatih-tatih sambil memegang sepiring nasi ransum. "Saya kena pelet dulu, lantas menurut saja ke mana saya dibawa", tuturnya. Untuk golongan kuli kontrak, sering pada kulit mereka masih ada guratan-guratan yang akan dibawa ke kubur. ltu adalah guratan kerangkeng sewaktu kerja paksa dahulu. Sebab kalau tidak diikat atau dikerangkeng, kuli-kuli ini akan melarikan diri. Mereka Sudah Bebas Pembimbing Budhi, yang terletak di Sungai Paring, satu setengah kilometer dari Martapura itu dibiayai pemerintah daerah. Makan tiga kali sehari, berharga Rp 100 seorang. Berasnya "kwalitas Dolog", istilah orang Martapura untuk beras murahan, dengan sepotong ikan kering, sayur kangkung dan sebiji pisang masak. "Maklum, harus disesuaikan dengan biaya", ujar Bahrun Lamsoer, pimpinan panti. Melayani 40 orang jompo dengan berbagai perwatakan memang memerlukan kesabaran dan kasih. Seorang jompo yang telah pikun, menangis karena katanya belum dapat makan. Padahal sepiring nasi baru saja habis disikatnya. Adapun Bu Sugeng yang berumur nyaris 100 tahun, sudah tidak bisa apa-apa dan tergeletak di bangku panjangnya. Kematian datang secara teratur di panti ini. Banyak yang menduga bahwa dalam waktu dekat Izrail juga akan turun menjemput Bu Sugeng. Betapa pun, meninggal di panti rasanya masih lebih beruntung ketimbang mati menggeletak di kaki lima atau di bawah jembatan. Lagi pula, perjalanan ke liang kubur betul-betul tidak jauh. Di belakang bangunan asmara, mushala dan ruang pertemuan itu. terletak sebidang tanah yang menunggu. Ongkos kubur pun relatif murah di sini. Dua ribu rupiah, dan jenazah bisa dikubur secara layak dengan bungkus kain putih. Antara 1962 dan 1974, telah dikebumikan 145 orang. Jadi rata-rata sebulan seorang. Sedikit rasa duka, banyak rasa kelegaan biasanya mengantar jenazah mereka ini, tanpa dijenguk kerabat bahkan mungkin tak pernah diketahui di mana terkubur. Bak kuburan raja-raja Arab Saudi, onggokan tanah mereka ini cukup diberi tonnggak, tanpa nama dan tanggal. Mereka sudah bebas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus