Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOELI kontrak sudah hampir dilupakan orang. Istilah itu dahulu
dikukan khususnya kepada orang-orang Jawa yang meneken
perjanjian kerja (paksa) seperti di Kalimantan dan Sumatera.
Sisa-sisa kuli kontrak itu masih ada. Mereka yang di ujung
hidupnya sekarang tergolong tidak beruntung - sebab memang ada
juga sebagiankecil yang dahulu pulang ke Jawa dengan menempelkan
ringgit emas di dada -- kini berkumpul di Panti Werdha
Pembimbing Budhi, Martapura, Kalimantan Selatan. Jumlahnya
sekitar 40 orang, sebagian besar bekas pekerja onderneming karet
di zaman Hindia Belanda itu. Tapi ada juga di antara mereka yang
bekas romusha, yang untung masih bisa menyimpan nyawa.
Untuk membunuh kekosongan mereka sekarang ini, yang masih
trampil diajar menganyam tikar di samping mengaji. Ada perayaan
mauludan ada acara omong-omong atau ceramah agama dan sekali
sebulan apel bendera. Yang perlu untuk mereka ini, menurut
Soegito (salah seorang pengurus panti yang telah bekerja 25
tahun) adalah "bekal buat menjalani kehidupan di akhirat
sebentar lagi".
Guratan Di Kulit
"Panti Werdha bukan tempat penampungan gelandangan", tutur
Soegito. "Tempat ini khusus mereka yang jompo saja". Menurut
Soegito pula, mereka ini umumnya dulu terbius ketika agen-agen
kuli kontrak menjelajahi desa mereka. "Saya dijual 15 gulden,
lalu diboyong sampai ke Borneo", kata Legiyem, 80 tahun, dalam
bahasa Jawa. Menikah dengan Nurdiman, rupanya Legiyem tidak bisa
melupakan kampung halamannya. Lewat Dinas Sosial di Klaten,
beberapa waktu yang lalu terjadi surat-menyurat: "apakah
keluarga Legiyem masih ada di Klaten?, begitu. Dan ternyata ada.
Dalam masa persiapan ke Klaten itu Legiyem dengan girang
berkata: "Saya tidak sangka akhirnya saya bisa pulang kembali".
Soemiati, di masa tuanya sekarang juga berniat pulang ke
Mojokerto. Di kala masih muda, dia ini sri panggung ronggeng
yang terkenal. "Pendeknya, siapa yang kesenggol Soemiati waktu
itu pasti tergila-gila padanya", cerita Soegito. Usianya kini 75
tahun. Lebih separuh umurnya banyak dihamburkan oleh hangatnya
asmara dan meja judi.
Kini, Soemiati wanita renta, mata rabun, tuli, dan jalan
tertatih-tatih sambil memegang sepiring nasi ransum. "Saya kena
pelet dulu, lantas menurut saja ke mana saya dibawa",
tuturnya.
Untuk golongan kuli kontrak, sering pada kulit mereka masih ada
guratan-guratan yang akan dibawa ke kubur. ltu adalah guratan
kerangkeng sewaktu kerja paksa dahulu. Sebab kalau tidak diikat
atau dikerangkeng, kuli-kuli ini akan melarikan diri.
Mereka Sudah Bebas
Pembimbing Budhi, yang terletak di Sungai Paring, satu setengah
kilometer dari Martapura itu dibiayai pemerintah daerah. Makan
tiga kali sehari, berharga Rp 100 seorang. Berasnya "kwalitas
Dolog", istilah orang Martapura untuk beras murahan, dengan
sepotong ikan kering, sayur kangkung dan sebiji pisang masak.
"Maklum, harus disesuaikan dengan biaya", ujar Bahrun Lamsoer,
pimpinan panti.
Melayani 40 orang jompo dengan berbagai perwatakan memang
memerlukan kesabaran dan kasih. Seorang jompo yang telah pikun,
menangis karena katanya belum dapat makan. Padahal sepiring nasi
baru saja habis disikatnya. Adapun Bu Sugeng yang berumur nyaris
100 tahun, sudah tidak bisa apa-apa dan tergeletak di bangku
panjangnya.
Kematian datang secara teratur di panti ini. Banyak yang menduga
bahwa dalam waktu dekat Izrail juga akan turun menjemput Bu
Sugeng. Betapa pun, meninggal di panti rasanya masih lebih
beruntung ketimbang mati menggeletak di kaki lima atau di bawah
jembatan.
Lagi pula, perjalanan ke liang kubur betul-betul tidak jauh. Di
belakang bangunan asmara, mushala dan ruang pertemuan itu.
terletak sebidang tanah yang menunggu. Ongkos kubur pun relatif
murah di sini. Dua ribu rupiah, dan jenazah bisa dikubur secara
layak dengan bungkus kain putih. Antara 1962 dan 1974, telah
dikebumikan 145 orang. Jadi rata-rata sebulan seorang. Sedikit
rasa duka, banyak rasa kelegaan biasanya mengantar jenazah
mereka ini, tanpa dijenguk kerabat bahkan mungkin tak pernah
diketahui di mana terkubur. Bak kuburan raja-raja Arab Saudi,
onggokan tanah mereka ini cukup diberi tonnggak, tanpa nama dan
tanggal. Mereka sudah bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo