Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beasiswa Pendidikan dari Pemerintah
SETELAH lulus dari SMA Kolese Loyola, Semarang, tahun ini saya mendapatkan beasiswa dari Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu, Jepang, untuk kuliah finance and accounting di sana. Kuliah saya akan dimulai pada awal Oktober ini.
Sayangnya, beasiswa saya hanya meliputi biaya kuliah. Biaya hidup saya di Jepang harus ditanggung sendiri oleh keluarga. Oleh seorang kawan, saya disarankan mengajukan permohonan beasiswa ke Kementerian Pendidikan Nasional melalui Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri di Jakarta. Informasi selengkapnya saya peroleh di situs beasiswaunggulan.kemdiknas.go.id.
Saya amat berterima kasih atas adanya program ini. Berkat dana beasiswa dari pemerintah ini, putra-putri terbaik Indonesia yang memiliki potensi dan prestasi di bidang ilmu pengetahuan dapat melanjutkan pendidikan mereka di tingkat internasional. Semoga, dalam jangka panjang, program beasiswa ini berkontribusi pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia kita.
Vanessa Arninda Sihite
Jalan Merbabu D3/9,
Puri Arga Golf, BSB
Mijen, Semarang
Mempertanyakan Dokter Terawan
WAWANCARA Tempo dengan Kolonel dr Terawan Agus Putranto yang dimuat di rubrik Wawancara Tempo edisi lalu menarik untuk dikaji, baik secara etis maupun medis. Ilmu kedokteran—khususnya bidang neuro-intervensi pasien stroke—memang berkembang amat pesat lima tahun terakhir. Tapi ada beberapa pertanyaan yang luput diangkat oleh majalah Tempo dalam wawancaranya dengan dr Terawan.
Pertama, jenis pasien stroke mana saja yang bisa diterapi dengan intervensi yang dilakukan dokter Terawan? Mana istilah yang lebih tepat: radio-intervensi atau neuro-intervensi?
Selain itu, apakah etis seorang dokter memaparkan hasil intervensinya terhadap pasien stroke di rumah sakit tempatnya bekerja tanpa menjelaskan sejauh mana keterlibatan dokter ahli lain sebagai anggota tim? Dokter ahli mana yang menjadi team leader dalam menangani pasien stroke di sana? Secara umum, sesuai dengan logika kedokteran, dokter ahli radiologi adalah anggota tim, dengan ketua tim biasanya seorang dokter neurologi.
Pertanyaan selanjutnya: sejauh mana uji klinis intervensi radiologi terhadap pasien stroke oleh dr Terawan sudah dilakukan di rumah sakit tempatnya bekerja—sesuai dengan prinsip-prinsip riset ilmu kedokteran? Sejauh mana cost-effective-nya bisa dipertanggungjawabkan?
Untuk makin mengembangkan metode intervensinya, saya sarankan dr Terawan bekerja sama dengan sejumlah fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan untuk bersama-sama membangun pusat studi pelayanan stroke di Indonesia. Saya berharap para ahli di bidang kedokteran di negeri ini tidak bersaing, tapi bekerja sama untuk kemaslahatan orang banyak. Tujuan seorang dokter bukanlah duit atau ketenaran. Ingat, nyawa taruhannya.
A.A. Gde Muninjaya
Denpasar, Bali
Mempertanyakan Aksi Mahasiswa
SEPANJANG pekan lalu, unjuk rasa bernuansa politik terus meramaikan Ibu Kota. Jalanan di depan Istana Merdeka riuh oleh aksi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Dari poster dan orasi para demonstran, tampaknya mereka menyuarakan tuntutan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar segera turun dari jabatannya.
Tak banyak penjelasan mengapa mereka menuntut Presiden mundur. Latar belakang tuntutan para mahasiswa ini tak pernah tersampaikan dengan jernih kepada publik.
Saya sendiri menilai ada perubahan orientasi gerakan mahasiswa belakangan ini. Aksi mereka tidak seperti aksi-aksi mahasiswa pada 1998. Ketika itu, mahasiswa benar-benar mewakili perguruan tinggi dan membawa semangat rakyat.
Sebagai mantan aktivis mahasiswa pada zaman itu, saya ingin melihat mahasiswa berjuang sesuai dengan panggilan nuraninya, dan bukan untuk pihak-pihak di belakangnya.
Fadli Eko Setiyawan
Bukit Pamulang Indah V Blok A3
Tangerang, Banten
Prihatin Kelakuan Anggota DPRD
TERNYATA bukan hanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan yang bisa membuat jengkel banyak orang. Kelakuan satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah ini juga sungguh membuat hati sedih dan geregetan.
Dua bulan terakhir, ramai diberitakan di media massa lokal, Musthofa, anggota DPRD Jawa Tengah dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Politikus ini dituduh terlibat kasus percaloan dalam penerimaan pegawai negeri sipil di Semarang.
Anehnya, sampai sekarang, Musthofa tak kunjung diperiksa aparat penegak hukum ataupun dijatuhi sanksi oleh partainya. Rupanya, praktek penegakan hukum yang tebang pilih dan perlindungan yang diberikan partai untuk kadernya yang bermasalah tak hanya terjadi di tingkat pusat.
Sudah seharusnya para pejabat negara yang bertanggung jawab menegakkan hukum dan etika anggota DPRD turun tangan menangani kasus ini. Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo harus memerintahkan aparatnya di Jawa Tengah menuntaskan penyidikan kasus ini, meski melibatkan politikus penting di daerah. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga harus segera memberikan izin kepada polisi daerah untuk memeriksa Musthofa.
Jika itu tak dilakukan segera, rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada sistem hukum di negeri ini.
Waluyo Jati
Purbalingga, Jawa Tengah
Sengketa Tanah Tak Pernah Selesai
SEJAK Republik Indonesia merdeka, konflik pertanahan di negeri ini tak pernah selesai. Sudah saatnya pemerintah menelusuri akar masalahnya jika tidak mau sibuk terus memadamkan konflik sosial yang berpangkal pada perebutan lahan antarmasyarakat.
Kita tentu sadar betul bahwa administrasi pertanahan di Indonesia memang karut-marut dari sono-nya. Hindia Belanda, misalnya, berdiri di atas kumpulan tanah milik kerajaan-kerajaan Nusantara yang tak semuanya diambil alih secara legal. Ada tanah yang sampai sekarang masih bersurat girik, berakta petuk, bahkan ada yang tak bersurat tanah tapi dikuasai warga berdasarkan hak ulayat.
Pengambilalihan kekuasaan oleh Jepang dan kemudian oleh pemerintah Republik Indonesia pada 1945 tidak juga membuat silang sengkarut kepemilikan tanah ini jadi jelas. Hanya tanah-tanah verponding yang resmi diambil alih pemerintah. Sisanya dikuasai begitu saja, tanpa proses administrasi yang memadai.
Akibatnya, sampai sekarang, saling klaim tanah sering terjadi. Terutama jika tanah itu bernilai ekonomi tinggi. Sudah saatnya pemerintah berbuat sesuatu. Jangan membiarkan rakyat kecil berhadap-hadapan dengan pemilik modal besar, memperebutkan sepotong tanah yang jadi tumpuan hidup mereka.
Lie Gan Yong
Pulogadung, Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo