Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perekonomian Indonesia bebe-rapa kali limbung akibat resesi global. Seperti pada 1981-1982, krisis energi dan merosotnya perekonomian Amerika Serikat berdampak luas hingga ke Indonesia. Sektor industri dan perdagangan Indonesia ikut terpukul, seperti yang dilapor-kan Tempo pada edisi 9 Oktober 1982 de-ngan judul “Banting Harga di Mana-mana”.
Resesi global yang terjadi sejak awal 1980 menyebabkan harga sejumlah produk eks-por andalan Indonesia, seperti karet, kopi, dan lada, terjun bebas di pasar internasional. Daya beli masyarakat juga ikut turun, yang menyebabkan pasar makin lesu.
Mulyadi, pemilik toko distributor tekstil di Jakarta Kota, terpaksa banting harga karena konsumennya, para pengecer tekstil di berbagai daerah, seperti Jambi dan Lampung, menurunkan jumlah pembelian. Mulyadi membanting harga bahan celana kasar dari Rp 1.050 jadi Rp 750 per yard. Dia juga memberi hadiah jam untuk setiap pembelian beberapa seri—setiap seri sekitar 250 yard tekstil.
“Sesungguhnya dengan membanting harga dan memberi hadiah itu keuntungan yang saya peroleh makin tipis,” kata Mul-yadi. Toh, hasilnya tetap jeblok. Setiap hari Mulyadi hanya bisa menjual dua seri tekstil. Padahal, dalam kondisi normal, dia bisa menghabiskan 20 seri.
Banting harga hingga 40 persen juga dilakukan Lien Ning Sien, pemilik Toko Tekstil Modern di Bandung. Omzet penjualannva merosot 70 persen. Hal serupa dialami Toko Sejahtera di kota yang sama. Dalam satu hari, hanya 10-15 orang yang berkunjung ke toko tersebut. “Itu pun kebanyakan cuma lihat-lihat,” ujar Haris, pemilik Toko Sejahtera. Dalam keadaan normal, toko itu biasa dikunjungi 50 pembeli.
Kelesuan juga membayangi Gang Ribal, Jakarta Kota, pusat grosir makanan kaleng dan buah-buahan eks impor. Seorang pedagang grosir di sana memperkirakan omzet penjualannya turun 30 persen dibanding tahun sebelumnya. Suasana seperti itu juga dirasakan PT Borsumij Wehry Indonesia, distributor berbagai makanan kaleng dan obat-obatan, yang mengalami penurunan penjualan hingga 10 persen.
Jim Wiryawan, Direktur Pemasaran Borsumij, mengatakan lesunya pasar berkaitan dengan besar-kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ditetapkan pemerintah. Maksudnya, jika jumlah rupiah yang dibelanjakan lewat anggaran rutin dan pembangunan makin besar, kebutuhan orang akan barang-barang primer bakal ikut bertambah. “Jadi, apabila APBN meningkat, pembelian barang kebutuhan sehari-hari meningkat pula,” katanya.
Anggaran rutin APBN 1982/1983 hanya Rp 7 triliun, turun dari Rp 7,5 triliun dari APBN sebelumnya. Kendati anggaran pembangunan pada tahun berjalan dianggarkan Rp 8,6 triliun (sebelumnya Rp 6,3 triliun), pemerintah tampaknya tidak akan membelanjakan seluruh dana itu karena pendapatan utama dari minyak merosot.
Industri mobil juga terserang demam. Untuk kendaraan pribadi, PT Toyota Astra Motor, misalnya, mengalami penurunan penjualan sekitar 15 persen. Begitu pula penjualan sepeda motor. Soebronto Laras, Presiden Direktur PT Indohero, agen tunggal dan perakit sepeda motor Suzuki, mengatakan penjualan kendaraan itu sedang lesu. “Mungkin ini akibat resesi,” ujarnya. Ia memprediksi penurunan penjualan bakal mencapai sekitar 20 persen. Karena itulah, “Produksinya pun harus dikurangi 30 persen.”
Presiden Soeharto ketika memberikan pidato dalam upacara pengambilan sumpah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang baru, awal Oktober 1982, memperingatkan resesi bakal berpengaruh pada pemba-ngunan. “Sampai saat ini belum ada tanda-tanda bahwa resesi ekonomi dunia akan mereda. Malahan resesi yang sekarang ini jauh lebih buruk dari resesi yang pernah terjadi sebelumnya. Resesi yang berkepanjangan ini tentu mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan kelanjutan pembangunan kita,” katanya.
Untuk menghadapi kelesuan semacam itu, Pande Raja Silalahi, pengamat ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies, menyarankan pemerintah berfokus pada upaya merangsang permintaan dalam negeri. “Kelesuan pasar dapat terjadi sebagai akibat pertambahan penawaran yang lebih cepat dari pertambahan permintaan,” ujarnya. -Ketidakseimbangan itu akan makin parah jika, “Pertambahan produksi yang dilakukan dengan meningkatkan kapasitas lebih bersifat padat modal daripada padat tenaga kerja.”
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 9 Oktober 1982. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo