Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Ahli LIPI Sebut Fenomena Cacing Bantul Dipicu Cuaca Ekstrem  

Potongan cerita rakyat terkait dengan fenomena alam di suatu lokasi bisa saja menjadi jawaban seiring perkembangan iptek.

4 Juni 2015 | 15.52 WIB

Peternak memanen cacing dari tumpukan kotoran sapi di Desa Suntenjaya, Lembang, Jawa Barat. 9 Maret 2015. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
Perbesar
Peternak memanen cacing dari tumpukan kotoran sapi di Desa Suntenjaya, Lembang, Jawa Barat. 9 Maret 2015. TEMPO/Aditya Herlambang Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Haryadi Permana mengaitkan fenomena kemunculan cacing ke permukaan tanah yang meresahkan masyarakat Bantul, Yogyakarta, dengan kondisi cuaca ekstrem yang beberapa waktu terakhir terjadi di dunia.

"Kalau kemunculan cacing ke permukaan tanah dikaitkan dengan gempa, saya tidak bisa menjawabnya secara pasti. Saya lebih bisa mengaitkannya dengan kondisi cuaca ekstrem yang terjadi di beberapa negara, seperti India," kata Haryadi saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu, 3 Juni 2015.

Dia berujar, hewan memang lebih sensitif dan lebih sulit beradaptasi menghadapi perubahan cuaca. Menurut dia, kondisi cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini, yakni suhu dapat melampaui angka 35 derajat Celsius dan dengan cepat turun saat terjadi hujan lebat, mempengaruhi kondisi hewan-hewan di bawah tanah.

"Berbeda dengan manusia yang jelas lebih mudah beradaptasi. Kalau suhu naik tinggal, pakai penyejuk udara," ucapnya.

Dia kembali menegaskan bahwa belum ada teknologi yang mampu secara pasti memperkirakan kapan dan di mana akan terjadi gempa. Karena itu, terkait dengan fenomena yang terjadi di sebagian besar wilayah Yogyakarta saat ini, masyarakat diimbau tidak perlu panik tapi tetap selalu waspada, mengingat daerah tersebut memang rawan gempa.

"Rasanya tidak perlu disikapi secara berlebihan. Yang bisa dilakukan masyarakat di sana adalah selalu waspada, terutama saat malam hingga menjelang subuh, karena pada dasarnya di sana rawan gempa," tuturnya.

Fenomena alam yang ditemui masyarakat Bantul serta Berbah dan sekitar Prambanan, Sleman, perlu dicatat dengan baik. Menurut dia, potongan-potongan cerita dari masyarakat terkait dengan fenomena alam yang terjadi di suatu lokasi bisa saja menjadi jawaban seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

"Potongan cerita seperti ini perlu disimpan, karena bisa jadi pada masa depan dapat menjawab pertanyaan yang belum terjawab sampai saat ini. Antara atau media massa lain juga dapat mengumpulkan ceceran potongan cerita seperti ini untuk membantu menjawab fenomena-fenomena alam yang terjadi," katanya. 

LIPI, menurut dia, hingga saat ini aktif memantau sesar aktif yang ada di selatan Pulau Jawa, terutama di bagian barat. "Kami mendalami seismic gap di sekitar Selat Sunda".

Untuk sesar aktif di selatan Jawa, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, ujar dia, lebih sulit dipelajari, mengingat tebalnya lapisan abu vulkanis dari Gunung Merapi yang menutupi lapisan sesar di sana.

ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yocta Nurrahman

Yocta Nurrahman

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus