Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Vaksin Nusantara ala Terawan: Apa Itu Sel Dendritik dan Kenapa Mahal?

Vaksin Nusantara tengah menjadi sorotan karena uji klinis yang nekat dilanjutkan tanpa otorisasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

16 April 2021 | 15.07 WIB

Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 10 Maret 2021. Dalam rapat tersebut, Terawan memberikan paparan terkait vaksin Nusantara yang ia gagas sebagai vaksin Covid-19. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 10 Maret 2021. Dalam rapat tersebut, Terawan memberikan paparan terkait vaksin Nusantara yang ia gagas sebagai vaksin Covid-19. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Vaksin Nusantara tengah menjadi sorotan karena uji klinis yang nekat dilanjutkan tanpa otorisasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Tim risetnya yang dipimpin mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto--seorang dokter yang juga kontroversial untuk metode 'cuci otak' yang dikembangkannya--mendapat dukungan dari para politikus di DPR RI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Untuk lebih memahami polemik yang sedang terjadi, berikut ini keterangan yang dihimpun Tempo.co dari sejumlah wawancara yang pernah dilakukan maupun sumber lain untuk menerangkan apa itu Vaksin Nusantara. Termasuk seperti apa 'pabrikasinya' serta sejumlah catatan yang menyertainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vaksin Nusantara untuk Covid-19 atau yang nama resminya Vaksin Sel Dendritik untuk SARS-CoV-2 sebenarnya dikembangkan dari teknik terapi kanker. Ketua tim Laboratorium Professor Nidom Foundation (PNF), C.A. Nidom, menjelaskan bedanya vaksin ini dari vaksin konvensional terletak pada motor aktivitasnya.

Dia menuturkan, secara umum, vaksin disuntikkan ke seseorang dengan antigen (virus inaktif atau subunit protein). Kemudian, tubuh dibiarkan melakukan proses pembentukan antibodi.

Dalam hal vaksin Covid-19, yang digunakan adalah virus SARS-CoV-2 yang telah dilemahkan atau komponen genetik dari protein pakunya--protein yang berperan mencengkeram sel korban yang hendak diinfeksi. Teknik ini yang digunakan vaksin Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, Moderna, dan lainnya.

Vaksin Nusantara berbeda. Vaksin ini berbasis sel dendritik yang disebut Nidom sebagai pabrik antibodi. Diadopsi dari terapi kanker, sel dendritik bisa dipanen dari darah seseorang, tapi bisa diambil juga dari sumsum tulang.

Website National Center for Biotechnology Information, Amerika Serikat, menyebut sumbernya berbeda yakni pada saluran pernapasan dan juga lambung. Sel dendritik disebutkan mampu menangkap antigen-antigen asing yang masuk ke tubuh, lalu bergerak ke area T Sel dari organ limfoid untuk menemukan klon yang tepat dan memulai respons imunitas.

Nah, proses pembuatan vaksin yang memakai sel dendritik dimulai dari memanen dan mengisolasi sel dendritik itu. Pemisahannya dari darah, misalnya, dilakukan di laboratorium alias di luar tubuh (in vitro).

Pada terapi kanker, sel dipicu dengan protein kanker. Setelah mulai matang atau mengalami diferensiasi, sel dendritik disuntikkan kembali kepada orang yang mempunyai darah dan kanker tersebut.

Pada Covid-19, sel--dalam istilah Nidom--dirangsang atau digertak menggunakan protein atau materi genetik dari SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Sama, setelah matang, sel disuntikkan kembali ke dalam tubuh pemiliknya. Diharapkan, sel dendritik dalam wujud Vaksin Nusantara ini akan memproduksi antibodi yang siap menetralisir virus yang menginfeksi.

“Saat sel dendritik tua, maka sel itu akan menularkan kemampuannya menetralisir virus kepada sel dendritik yang lebih muda," kata dia sambil menambahkan, "Sehingga tidak keliru kalau dikatakan antibodi Vaksin Nusantara seumur hidup.”

Masalahnya, profesor di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya itu menjelaskan, persoalan yang dibincangkan saat ini lebih terletak pada istilah vaksinasi yang diharapkan bisa membentuk kekebalan kelompok (herd immunity). Sedang Vaksin Nusantara, karena metodenya itu, bersifat individual.

Nidom berasumsi tim Vaksin Nusantara sudah tahu cara membuatnya untuk kelompok dan mencari tahu sumber sel dendritik yang bersifat homologus, sehingga bisa digunakan untuk semua orang. "Karena sel itu kan berbeda antar individu atau bersifat autologus," katanya sambil berharap ada publikasi ilmiah yang dilakukan tim riset vaksin itu.

Harapan yang sama disampaikan epidemiolog di Griffith University, Australia, Dicky Budiman. Dia menyatakan belum pernah membaca tinjauan atas teknik vaksin sel dendritik untuk Covid-19 di jurnal-jurnal ilmiah dunia.

Senada dengan Nidom pula, berdasarkan pengetahuannya atas riset sejenis yang dilakukan di Jepang, Dicky mengatakan teknik semacam Vaksin Nusantara bersifat individual dan sangat mahal dibandingkan vaksin konvensional. "Bisa sampai Rp 200 juta per orang, dan pantas semahal itu karena mengeluarkan sel dari dalam tubuh kemudian memasukkannya lagi," katanya saat bicara di sebuah siaran televisi nasional, Kamis malam 15 April 2021.

Dalam keterangan terpisah, anggota Tim Peneliti Vaksin Nusantara, Yetty Movieta Nency, justru menggunakan sifat sel yang unik antar individu itu untuk mengklaim vaksin nantinya akan kecil kemungkinan menimbulkan infeksi. Ini karena yang menjadi penerima vaksin dari sel dendritik adalah tidak lain pemilik asli sel tersebut.

Yetty mendasarkan klaim kepada hasil uji awal (tahap 1) yang diakunya tak ditemukan efek berlebihan. Dia menyebutkan efek sampingnya minimal, berjalan singkat, dan tak perlu pengobatan. Tambahan lagi, tidak seperti teknik vaksin lainnya, “Dalam Vaksin Nusantara tak ada tambahan adjuvan maupun komponen binatang. Hal tersebut sekaligus meyakinkan masyarakat terhadap status halal vaksin Covid-19.”

Tapi, seperti diketahui, BPOM memberi catatan panjang atas hasil uji awal Vaksin Nusantara. Misalnya, ketiadaan komite etik di laboratorium pelaksanaan uji klinis di RS Kariadi Semarang. Yetty dkk yang di bawah pimpinan Terawan diharuskan melakukan tindakan korektif dan melaporkannya sebelum bisa berlanjut ke uji klinis fase 2.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus