Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Citra seni rupa indonesia, sebuah...

Dua pelukis yang banyak ditiru karyanya, basuki abdullah & affandi. tidak perlu melihat ke barat. ada cokotisme, affandiisme dll. sehingga dapat memberikan citra seni indonesia dengan lebih tegas. (sr)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA dua pelukis Indonesia yang karyanya banyak ditiru angkatan berikutnya Basuki Abdullah, dan Affandi (72 tahun). Memang tak hanya dua itu. Tapi Sudjojono misalnya, boleh dikatakan hanya diikuti di akhir tahun-tahun 40-an -- ketika belum banyak pelukis kita yang keluar negeri, belum banyak buku seni lukis Barat yang masuk dan akademi seni rupa baru akan berdiri. Dari "pengikut" Affandi, nama yang pertama muncul tentulah Kartika (45 tahun), puterinya -- yang kebetulan 20-31 Maret ini pameran tunggalnya diselenggarakan di TIM. Secara fisik cepat bisa disebut persamaan dengan Affandi itu goresan langsung dari tube yang meliuk-liuk dan tebal, atau sapuan cat kasar hasil usapan langsung dengan tangan. Tapi juga jelas perbedaannya. Nampaknya Kartika membentuk obyek dengan kontur, dan goresan hanya menjadi semacam ornamen. Sementara pada karya bapaknya goresan itulah yang membentuk. Juga suasana yang dicerminkan Affandi menggelora, goresan dan sapuan catnya merupakan potret emosi. Sementara Kartika terasa tenteram, hanya memotret obyek meski caranya memotret bergaya Affandi. Gaya Affandi, barangkali sebutan itulah yang tepat untuk lukisan yang seperti karya Affandi. Soalnya mereka memang bukan menganut konsep kesenian Affandi -- hanya gayanya saja. Baik Kartika atau beberapa lagi seperti Sjahri, Darjono, OH Supono, Roelijati Dan Soewarjono, Koestijah Edi Soenarso, Nyoman Gunarsa, Men Sagan, atau sejumlah pelukis yang menitipkan lukisannya di galeri-galeri atau toko seni di Bali. Tapi itulah yang bisa dilakukan pelukis kita kalau mau belajar dari karya seni lukis kita sendiri. Soalnya, sejarah seni rupa kita tidak berjalan lurus dari isme satu ke isme yang lain. Melainkan sejarah para senimannya sendiri. Mungkin karena seni rupa modern Indonesia masih muda -- baru sekitar 40 tahun. Mungkin juga karena yang dilakukan seniman seni rupa kita hanya mencari bentuk ekspresi pribadi, bukan membuat gerakan -- meski sebuah gerakan, isme, dalam sejarah seni rupa Barat bukan pula sengaja dibuat. Yang perlu ditekankan kemudian bukannya mutu karya-karya bergaya Affandi itu. Tapi bahwa mereka mampu muncul dengan ciri masing-masing. Karya Nyoman Gunarsa misalnya, lebih jarang meninggalkan bidang kanvas tanpa goresan atau sapuan. Pono, warna-warna yang digunakan lebih kelam. Roelijati, lebih banyak goresan kwasnya. Darjono terasa paling menghormati bentuk tak banyak distorsi yang dilakukan. Dari semua itu tiba-tiba saja terbayang yang disebut seni lukis Indonesia dengan lebih tegas. Di waktu semua orang menyayangkan bahwa kita selalu melihat ke sarat, adanya sekelompok orang yang melihat ke karya pelukis kita sendiri memberi gambaran adanya seni rupa kita dengan lebih meyakinkan. Dan lebih dari apa yang disebut "cokotisme", karya-karya bergaya Affandi yang punya ciri masing-masing itu memberi ketegasan bahwa mereka tidak sekedar meniru. Anak-cucu Cokot (TEMPO 24 Maret 1979) belun melahirkan ciri-ciri pribadi itu. Mungkinkah kemudian tersusun sebuah konsep "afandiisme"? Mungkinkah dari mereka yang affandiis itu ada yang mampu melahirkan karya-karya yang, selain tetap berciri pribadi, juga melebihi atau paling tidak menyamai karya Affandi? Ada yang aneh dalam karya seni rupa kita. Karya-karya itu seolah berdiri sendiri-sendiri. Sulit mencari hubungan antara karya Sudjojono dengan karya Achmad Sadali arau Dede Eri Supria, misaluya. Kalau karya-karya itu tersusun dakm sebuah sejarah seni rupa, satu-sarua yang bisa dijadikan pegangan hayalah tahun karya itu dibuat. Nah. Yang bisa dibentuk kalau ada ompok-kelompok -- seperti kelom-ok gaya affandi misalnya -- adalah mata rantai. Kelompok-kelompok ini pada alirannya akan membentuk apa yang diharap beberapa orang sejarah seni rupa Indonesia yang jelas. Dalam konteks itu, ternyata tidak cukup menciptakan karya seni hanya berdasar baik untuk. Dibutuhkan pula kaitan dengan karya-karya yang lain -- kalau kita menang ingin memberikan citra seni rupa kita dengan lebih tegas. Hingga tak perlu ada pertentangan sudah adakah seni rupa Indonesia atau belum. Affandiisme sebutlah begitu -- beserta cokotisme dan lain-lain, siapa tahu bisa membentuk citra itu. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus