Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Kisah Penyanyi Tulus: Minder dan Masa Kecil yang Galau  

Di tengah kesibukannya, penyanyi Tulus berbagi cerita mengenai perjalanannya di dunia musik.

3 Maret 2015 | 18.53 WIB

Penyanyi Muhammad Tulus Rusydi tampil melantunkan lagu dalam konser After Hour di Rollingstone Cafe, Jakarta, 13 Februari 2015. Tulus yang dinobatkan menjadi Rookie of The Year pada tahun 2013. TEMPO/Nurdiansah
Perbesar
Penyanyi Muhammad Tulus Rusydi tampil melantunkan lagu dalam konser After Hour di Rollingstone Cafe, Jakarta, 13 Februari 2015. Tulus yang dinobatkan menjadi Rookie of The Year pada tahun 2013. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta -Musikus sekaligus penyanyi  Muhammad Tulus cukup sibuk pada Maret ini. Ia  akan menggelar konser  di Yogyakarta. “Dalam satu bulan, kira-kira sepuluh kali manggung,” kata  lelaki 27 tahun ini  kepada Tempo beberapa waktu lalu.




Di tengah kesibukannya itu ia  berbagi cerita mengenai perjalanannya di dunia musik. Lulusan arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung, ini,  tak bisa memainkan alat musik sama sekali. Pun tak pernah mendapatkan pendidikan formal dalam bidang musik. Ia memang pernah mengikuti kursus vokal, tapi satu pekan lalu berhenti karena tak merasa nyaman. Ia mulai menjalani latihan pernapasan setelah album pertamanya diluncurkan. Itu pun ia pelajari sendiri lewat situs YouTube.




Pertama kali Tulus menulis lagu saat ia kuliah arsitektur di Bandung. Ia hanya bergumam dan mengandalkan memori nada yang ada di otaknya. Tapi ia berterima kasih kepada temannya, Ardra Tedja. “Dia yang pertama kali ngajarin bagaimana menulis lagu,” katanya. Produsernya, Ari Renaldi, adalah orang terpenting berikutnya. Ari mengaransemen lagu-lagu bikinan Tulus sehingga memiliki warna saat ini.




Lagu-lagu itu tak jauh dari kisah hidupnya. Lagu Gajah berkisah tentang bagaimana ia berusaha melihat hal baik dari masa kecilnya yang kurang menyenangkan. Ia bongsor. Tingginya 187 sentimeter, tambun, tak pernah jago olahraga, dan tak cemerlang di kelas.




Dulu, ia merasa postur tubuhnya itu mengganggu. Teman-teman semasa kecilnya kerap memanggilnya dengan sebutan beruang, sapi, atau gajah. Ia mesti berusaha lebih untuk mendapatkan rasa percaya diri.




Rasa minder itu hanya bisa diatasi dengan melakukan apa yang ia sukai dan membuat karya dari sana. Maka lahirlah Gajah. “Bikin itu lumayan lama, di kamar tidur, setelah merenung-renung,” ucapnya, mengenang.




Gajah begitu penting buat Tulus, selain Teman Hidup, yang ia tulis untuk ibu dan kakak perempuannya, serta Jangan Mencintaiku Apa Adanya. “Enggak kepikiran bisa nulis lagu kayak gitu,” katanya.




KARTIKA CHANDRA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yosep Suprayogi

Yosep Suprayogi

Alumnus jurusan Biologi IPB University. Memulai karier wartawan di harian Republika lalu bergabung dengan Tempo pada 2001 dan pensiun pada 2024

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus