Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Perempuan yang Menenangkan Rindu

Bait-bait puisi Aan dengan ilustrasi Emte saling menguatkan.

18 April 2015 | 01.09 WIB

Sxc.hu
Perbesar
Sxc.hu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta -“Aku tidak percaya kepada orang-orang yang senang memamerkan kebahagiaan keluarga mereka...” Selarik kalimat ini membuka puisi berjudul Pameran Foto Keluarga Paling Bahagia. Barangkali ketidakpercayaan M. Aan Mansyur punya alasan kuat. “Saya tak punya foto keluarga,” kata dia di sela peluncuran buku kumpulan puisinya, Melihat Api Bekerja, di Edwin’s Gallery, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu kemarin.

Melihat Api Bekerja adalah kolaborasi puisi dan ilustrasi, penulis M. Aan Mansyur dan pelukis Muhammad Taufiq alias Emte. Ada 54 puisi Aan yang ditemani 60 gambar Emte. Perpaduan bait-bait puisi dengan gambarnya saling menguatkan. Padahal mereka hanya berkenalan di dunia maya. Pertemuan keduanya baru terjadi dalam peluncuran kali ini.

Puisi dan ilustrasi yang saling menguatkan terlihat pada frame foto keluarga. Di sana, tampak sebuah keluarga dengan pakaian-pakaian modern. Tapi, seperti kata Aan dalam puisinya, tidak ada yang mampu mereka lakukan selain berpura-pura. Emte menggambarkan anggota keluarga itu adalah manusia-manusia tanpa wajah dengan kepala yang menguap.

Foto keluarga adalah salah satu ilustrasi favorit Aan, karena menggambarkan serupa keluarganya. Dia tidak pernah bisa memiliki foto keluarga, karena anggota keluarganya tidak pernah berkumpul lengkap. Jika foto keluarga adalah sebuah simbol kebahagian, ada benarnya jika Aan menganggap kebahagiaan sebagai sebuah kejahatan. “Kebahagian itu berbahaya sekali.”

“...Alasan utama mereka bahagia adalah tidak peduli. Mereka tidak mau tahu kau masih punya alasan lain/ Mereka punya berlembar-lembar foto keluarga yang penuh hal tiruan.”

Sebaliknya, bagi Emte, Menenangkan Rindu adalah puisi favoritnya. Emte menggambarkan menenangkan rindu adalah sosok perempuan yang tampak dari belakang dengan kedua tangannya saling berpegangan. Emte banyak menggunakan perempuan untuk mendampingi puisi-puisi Aan. “Puisi Aan itu naluriah banget, makanya banyak perempuan,” kata dia.

Saat membaca puisi Aan, Emte sering kali menemukan dirinya seperti sedang berbicara dengan seseorang dan itu perempuan. Emte juga menemukan banyak kemarahan. Dari 60 gambar, hanya 42 karya ilustrasi yang dipajang di Edwin’s Galllery. Pameran akan berlangsung hingga 26 April mendatang.

Emte membuat ilustrasi lebih banyak dari jumlah puisi Aan yang hanya 54. Alasannya, ada beberapa puisi yang melompat-lompat, sehingga Emte tak mampu menggambarkannya hanya dengan satu gambar, melainkan dengan beberapa gambar. Misalnya puisi Menunggu Perayaan, Senja Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam, Hantu Penyanyi, dan Mengunjungi Ambon, masing-masing dengan dua puisi.

Ada juga satu puisi yang digambarkan dengan tiga ilustrasi, yakni Mengunjungi Museum, Ketika, dan Hal-hal yang Dibayangkan Sajak Terakhir Ini Sebagai Dirinya. Bahkan dalam puisi Seorang Lelaki dan Bintang-Bintang yang Hidup dalam Jasnya, Emte menggambarkannya dengan empat ilustrasi. “Ada rasa penasaran yang membuat saya bersemangat.”

Emte adalah ilustrator dan desainer grafis freelance yang terkenal selalu bermain warna. Tapi kali ini kita melihat warna berbeda dari Emte, hanya putih-cokelat. “Saat ini saya sedang memasuki fase dua warna, dan kebetulan mengerjakan buku ini,” ujar dia. Tapi percayalah, warna yang sama bisa tampak sunyi dan riang sekaligus.

Denny, seorang pengunjung, menilai bahasa yang diungkapkan melalui ilustrasinya sangat jelas. Apalagi dengan permainan detail yang tampaknya sengaja dibangun, sangat membantu pengunjung untuk menangkap pesan-pesan yang hendak disampaikan.

Aan sendiri, melalui puisinya, memberi pintu untuk orang menginterpretasikan karyanya, sebanyak-banyaknya. Seperti puisi Melihat Api Bekerja yang juga dipakai menjadi judul buku ini. Berbeda dengan ilustrasi Emte yang memilih dua warna, puisi Aan justru mewakili banyak warna. Tentang kekasih, ketergesa-gesaan, kemarahan. Aan mengaku, melalui karyanya ini, dia secara tidak langsung mewakili kemarahan ibunya, kemarahan bapaknya, dan kemarahan tentang masalah publik.

Dalam pameran ini, Aan juga mengungkapkan keheranannya terhadap orang-orang Jakarta yang setiap hari mengeluhkan kemacetan. Tapi dia tak menemukan satu pun karya sastra yang menuliskannya. Salah satu puisinya di buku ini berbicara tentang kemacetan Jakarta.

Bagi Aan, tulisan itu bagian dari lapisan. Penyair asal Makassar ini sengaja tak menerakan tahun untuk menyembunyikan sejumlah lapisan-lapisan. “Banyak puisi di buku ini yang menunggu teman-temannya. Ada yang saya buat sejak 2007.”

Tak hanya menjadi tempat bersembunyi. Bagi Aan, puisi adalah alat berkomunikasi dengan ibunya. Setiap kali menelepon, Aan selalu membacakan puisi barunya kepada sang ibu. Jika dalam dua pekan tak ada komunikasi, sang ibu pasti menelepon dan bertanya apakah tak ada puisi baru yang hendak dia bacakan. “Begitulah ibu saya. Dia tak pernah mau bilang rindu.” Dia perempuan yang mampu menenangkan rindu.

IRMAWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kodrat Setiawan

Kodrat Setiawan

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus