Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sejarah Jakarta dalam Dongeng Sang Paman

Buku sejarah kota yang memikat. Lebih dari sekadar cerita gedung-gedung tua.

5 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andaikan ada lebih banyak orang yang semula tak bisa menjawab pertanyaan tentang riwayat sebuah gedung kuno lalu mene­kuni kepustakaan dan merekam apa yang dipelajarinya dalam bentuk tulisan, niscaya kita akan memiliki lebih banyak narasi historikal yang menarik.

Adolf Heuken, SJ, mengatakan alasan ia menulis buku Historical Sites of Jakarta pada 1982 justru karena ia sering ditanya oleh pengunjung tentang Batavia tua gara-gara ia sudah tinggal hampir 20 tahun di kota ini. Agar bisa menjawab dengan tepat, ia mendalami buku-buku kuno tentang Batavia. Lama-lama pengetahuannya tentang Jakarta dan tempat-tempat masa lalu berkembang, hingga akhirnya ia mengarang buku yang ternyata laris. Buku itu diindonesiakan dan tahun ini Cipta Loka Caraka mengeluarkan cetakan kedelapan, ”yang direvisi dan diperluas”.

Sejarah di tangan Pater Heuken adalah sesuatu yang hidup. ”Lebih penting dari batu-batu tua adalah orang yang pernah tinggal atau bekerja di tempat ini, yang pernah mencinta dan membenci, senang dan menderita, baik karena sengsara mereka disebabkan oleh kejahatan sesama mereka atau karena nasib malang ataupun oleh iklim yang tidak menguntungkan,” tulisnya (halaman 10).

Heuken mengatakan bahwa Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta bukan buku sejarah Jakarta. Memang buku ini lebih merupakan narasi yang memikat mengenai Ibu Kota. Tengok Bab IV ”Sekitar Gereja Portugis: Golongan Mardijker–Gereja tertua di Jakarta–Pieter Erberveld dan Raden Kartadria”. Kalimat pembuka bab sudah memikat: ”Bagaimana mungkin di Jakarta terdapat sebuah Gereja Portugis? Orang Portugis tidak pernah berkuasa di Jakarta.” (halaman 133). Kemudian bergulirlah narasi seru, lengkap dengan ilustrasi dan catatan kaki. Jika ada pembaca yang langsung ”mundur” dari buku yang penuh catatan kaki, bacalah, misalnya, catatan kaki nomor 13 pada bab tersebut: ”Tempat tinggal keturunan orang Tugu di belakang Gereja Immanuel (sejak 1945) tidak pasti lagi, karena beberapa tahun yang lalu tanah yang dimiliki oleh Gereja Immanuel dijual kepada tentara untuk membangun supermarket di atasnya.” (halaman 160). Suatu catatan kaki yang bisa dikatakan tak berbau akademis tapi tetap mematuhi kaidah fakta.

Inilah ciri khas buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Pembaca memperoleh kesan sedang didongengi oleh seorang paman atau mungkin kakek kesayangan, yang sangat berpengetahuan mengenai topik faktual, tapi gemar juga membumbui kisah-kisahnya dengan informasi sampiran yang menarik.

Contoh lain, misalnya, kalimat ini: ”Jakarta berkembang dengan (terlalu) cepat,” tulis Heuken (tanda kurung dari pengarang). ”Tetapi masa silam lebih mewarnai zaman kita daripada yang kita sangka. Tekanan kuat pada simbol status ratusan tahun lamanya menumbuhkan sikap boros para warga Jakarta. Batavia didirikan oleh seorang akuntan, yaitu J.P. Coen, maka uang sampai kini mewarnai suasana dan 'iklim' kota ini. Tak mengherankan korupsi tak pernah absen.” (Huruf italik dari pengarang).

Boleh jadi ada yang tak setuju pada beberapa opininya, tapi pembaca tetap mau melanjutkan membaca dongeng tersebut sampai tuntas.

Heuken tampak sangat tertarik pada arsitektur. Pada Bab IX berjudul ”Klenteng dan Arsitektur Tionghoa: Yin Zhui atau tempat tinggal Kapitan Souw Bing Kong–Klenteng tua di Glodok, Ancol dan Jl. Lautze–Rumah besar Tionghoa Peranakan”, misalnya, kita mendapat informasi bahwa, ”Klenteng Tionghoa tidak tinggi dan selalu memiliki unsur horisontal lebih kuat dari unsur vertikal. Atap melengkung di ujung-ujungnya dan di daerah tropis berbidang besar.” (halaman 254). ”Dua rumah mewah lain milik keluarga Khouw,” tulis Heuken, ”yang pernah berdiri dekat rumah utama, sudah dibongkar lebih dahulu. Yang satu pernah menjadi SMA 2, sedangkan yang lain Kedutaan Besar RRT, yang dirusak pada 1967. Nasib rumah ini menampakkan nasib kaum Tionghoa, yang sering berubah…”—lagi-lagi kita menemukan komentar lepas yang membuat pembaca terpaksa merenung sejenak.

Bab lain yang mengulas arsitektur dengan saksama adalah Bab X. Bab ini berjudul ”Lapangan Banteng dan sekitarnya: Weltevreden–Departemen Keuangan–Gedung Kesenian–Gedung Pancasila–Arsitektur neo-klasik di Jakarta”. Boleh jadi bagian ini merupakan bab yang paling berbicara kepada pembaca karena gedung-gedung yang dibahas masih digunakan oleh warga Jakarta dalam kehidupan sehari-hari.

Ciri khas lain dari buku ini adalah seringnya pengarang menyelipkan dongeng di dalam teks. Bab X banyak dibumbui kisah memukau, seperti mengenai ”Seorang Jawa yang sedang berjaga diterkam seekor harimau dan dibawa lari…”.

Dalam ulasan mengenai Pulau Onrust, Heuken bahkan menyelipkan terjemahan tulisan yang tertera pada suatu nisan di pulau tersebut, yang dimulai dengan kalimat: ”Maria van de Velde mayatnya dikubur, walaupun ia pantas hidup bertahun-tahun lamanya, seandainya Tuhan berkenan demikian.”

Bagi yang tak punya waktu luang melahap buku setebal 458 halaman, pembaca bisa membuka dari halaman mana saja. Informasi bermakna dan berbagai anekdot yang memukau bisa dijumpai, tanpa perlu membaca halaman sebelumnya. Siapa nyana, Anda akan tergiur untuk kembali dan membaca semua bab.

Buku ini menyajikan 16 bab dengan Epilog dan Apendiks. Bibliografinya mencengangkan: Pater Heuken membaca 287 buku, 147 artikel dari majalah dan kumpulan karangan, serta 28 katalog dan buku penuntun (guidebooks). Ia juga membeberkan sumber ilustrasi dan peta yang sangat detail. Tak ada kata lain, ini sebuah teks yang ”scholarly”—terpelajar.

Satu catatan: beberapa kali penerbit mencantumkan tanda seru di dalam kurung setelah sebuah kata, seperti: ”…mungkin (!)…”, tapi tak menjelaskan kepada pembaca makna dari tanda baca ini. Catatan kecil lainnya, terkadang susunan kalimat yang digunakan tampak nyata bermuasal dari pikiran yang menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia.

Dalam Epilog, Heuken mengatakan, ”Waktu merevisi edisi ke-8, kami sedih menyaksikan runtuhnya Gudang Rempah-rempah (1709) di belakang Museum Bahari…. Banyak gedung bergaya arsitektur, yang memperlihatkan masa bangunan daerah tertentu di Jakarta, misalnya Kebayoran Baru (sejak 1950), sudah tiada lagi…. Tanpa saksi nyata dari masa lalu, suatu kota bagaikan orang tanpa daya ingat.”

Dan inilah pesan paling penting dari buku ini: bahwa buku, foto, dan video tentang masa lampau tak sanggup menggantikan gedung yang berumur ratusan tahun, yang semestinya diizinkan tetap berdiri sebagai pembawa pesan dari masa lampau. Debra Yatim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus