Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

CORE Jelaskan Potensi Krisis Pangan di Masa Pandemi

Associate Center of Reform on Economics (CORE), Dwi Andreas memprediksi, jika krisis pangan dunia belum akan terjadi untuk saat ini

21 Juli 2020 | 15.30 WIB

Presiden Joko Widodo memeriksa beras di Gudang Bulog di Kelapa Gading, Jakarta Utara, 18 Maret 2020. Inspeksi mendadak itu dilakukan untuk memastikan ketersediaan bahan pangan utamanya beras. Foto: BPMI Setpres
Perbesar
Presiden Joko Widodo memeriksa beras di Gudang Bulog di Kelapa Gading, Jakarta Utara, 18 Maret 2020. Inspeksi mendadak itu dilakukan untuk memastikan ketersediaan bahan pangan utamanya beras. Foto: BPMI Setpres

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Associate Center of Reform on Economics (CORE), Dwi Andreas memprediksi, jika krisis pangan dunia belum akan terjadi saat ini meski wabah pandemi Covid-19 tak kunjung selesai. Hal itu dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu penurunan produksi pertanian dan kedua peningkatan harga pangan.

Andreas mengatakan, penurunan produksi pangan dunia pernah terjadi pada tahun 2007 dan 2008, dan harga pangan melonjak tinggi. Hal tersebut terulang lagi pada 2011 saat Arab Spring terjadi.

"Tapi kondisi pangan global kali ini agak berbeda. Tahun 2019, produksi pangan justru mencapai titik tertingginya. Lalu terkait dengan harga, price index pangan justru turun," kata Andreas dalam diskusi virtual, Selasa, 21 Juli 2020.

Adapun Presiden Joko Widodo atau Jokowi pernah mengatakan Food and Agriculture Organization (FAO) telah memperingatkan akan terjadi krisis pangan dunia. Oleh karena itu, pihaknya mendorong pembentukan cadangan pangan strategis untuk mengantisipasi hal ini.

Namun mengenai ketahanan pangan, kata Andreas, Indonesia tercatat mengalami perbaikan dalam beberapa tahun terakhir. Berkaca dari data Global Food Security Index, ketahanan pangan Indonesia berada di peringkat 62 pada 2019, dari peringkat 65 pada 2018.

Perbaikan peringkat tersebut, menurut Andreas, terbantu oleh impor pangan yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir dari 21,9 juta ton impor di tahun 2014, menjadi 27,6 juta ton impor pada 2018.

Tercatat, peringkat ketahanan pangan tertinggi dimiliki oleh Singapura yang hampir seluruh pangannya diimpor. Melihat contoh tersebut, Andreas berpendapat tidak ada korelasi antara ketahanan pangan dan upaya untuk meningkatkan produksi pangan.

"Impor saja selesai untuk ketahanan pangan. Tapi ingat, apa yang terjadi di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, ketika terjadi lonjakan harga pangan, hancur juga mereka," ujarnya.

Andreas pun mengatakan, negara seperti Indonesia akan cukup berisiko jika menggantungkan ketahanan pangannya ke impor.  "Setelah presiden mengatakan tekan impor, baru turun sedikit. Jadi ini masalahnya, ternyata ketahanan pangan kita itu ditentukan oleh impor pangan," tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus