Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Zona Merah Emiten Kesehatan

Saham sejumlah pelaku sektor kesehatan ternama bergerak negatif selama beberapa waktu terakhir. Melemah di ambang endemi.

17 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Saham emiten sektor kesehatan anjlok dalam sepekan terakhir di tengah rencana pengumuman endemi.

  • Endemi diperkirakan tak menggoyahkan emiten penyedia jasa rumah sakit.

  • Primaya Hospital Group akan berekspansi dengan membangun tiga rumah sakit baru.

JAKARTA – Kinerja saham sejumlah emiten kesehatan kini tak sekinclong seperti masa pandemi. Dalam perbandingan tahunan dan bulanan, nilai saham sejumlah entitas produk farmasi ataupun pengelola fasilitas kesehatan terus merosot. Pergerakan negatif pun terlihat selama sepekan terakhir, tak lama ketika pemerintah memberi sinyal keputusan transisi dari pandemi menuju endemi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saham PT Kimia Farma (Persero) Tbk, sebagai contoh, turun pada pekan ini. Pada 12-13 Juni lalu, nilai sahamnya Rp 785 per lembar. Harganya turun menjadi Rp 775 per lembar pada Kamis lalu, kemudian stagnan hingga sesi penutupan perdagangan, kemarin, 16 Juni 2023. Dalam perbandingan satu tahunan atau year-on-year (yoy), nilai teranyar saham emiten berkode KAEF ini juga anjlok 45,80 persen. Perbandingan bulanan saham KAEF yang pernah tercatat sebagai blue chip terbaik di Indonesia juga tercatat merah, yaitu turun hingga 8,28 persen dibanding kondisi pada 16 Juni 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pergerakan saham perusahaan fasilitas penunjang kesehatan, PT Diagnosa Laboratorium Utama Tbk atau DGNS, juga turun 28,42 persen secara yoy. Kemarin, harga sahamnya Rp 199 per lembar. Nilainya juga merosot 6,13 persen dibanding nilai sebulan sebelumnya. Padahal harga saham DGNS sempat naik 35 persen ketika baru melantai di Bursa Efek Indonesia pada awal 2021. Saat itu, harga nominal saham tersebut hanya Rp 25 dengan harga penawaran ke publik (IPO) Rp 200 per lembar.

Tren serupa pun tampak pada saham PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk, yang nilainya turun 10,95 persen secara tahunan menjadi Rp 358 per lembar. Harga itu juga melandai 1,65 persen dibanding harga pada Kamis pekan lalu yang masih sebesar Rp 364 per lembar. Belum lagi saham PT Royal Prima Tbk—berkode PRIM—yang juga melemah hingga 63,5 persen dalam perbandingan tahunan. Pada kuartal ketiga 2021, laba bersih PRIM pernah melambung hingga hampir 500 persen, dari Rp 17,6 miliar menjadi Rp 105 miliar. Posisi saham PRIM kemarin seharga Rp 97 per lembar.

Saham sektor kesehatan juga sempat merontokkan kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG). Pada 14 Juni lalu, IHSG menutup sesi di level 6.682,7 atau turun 0,54 persen. Pada hari itu, indeks sektor kesehatan atau IDXHEALTH turun 1,24 persen pada sesi pertama, tercatat sebagai penurunan terdalam dibanding saham sektor lain.

Pergerakan layar indeks harga saham gabungan (IHSG) sesi II menjelang penutupan di lantai Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 16 Juni 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, membenarkan bahwa kinerja para penyedia peralatan tes ataupun pencegahan Covid-19 terganggu setelah hilangnya aturan pembatasan mobilitas. Tanpa kewajiban dokumen kesehatan, jumlah konsumen bisnis para emiten kesehatan itu tergerus. "Pendapatannya terkena dampak karena tak ada kewajiban memakai produk tersebut," kata dia kepada Tempo, kemarin.

Meski begitu, Josua menyebutkan endemi tak akan menggoyahkan emiten penyedia jasa rumah sakit. Hilangnya kebutuhan ruang isolasi untuk pasien Covid-19 membuat pasien umum lebih nyaman berobat ke rumah sakit. Hal ini pun masih bisa menguntungkan bisnis kesehatan berbasis digital atau telemedisin, terutama yang bermitra dengan rumah sakit.

Adapun Senior Investment Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama, menyatakan emiten kesehatan masih bisa berinovasi untuk menjaga kinerja fundamental. Rumah sakit, kata dia, bisa menggenjot okupansi dengan layanan yang bersifat preventif atau pencegahan, alih-alih perawatan seperti ketika Covid-10 baru mewabah di Indonesia. "Digitalisasi layanan kesehatan juga bisa tetap dijalankan," ucap dia.

PT Famon Awal Bros Sedaya Tbk, atau yang biasa disebut Primaya Hospital Group, menjadi salah satu perusahaan yang bisnisnya kian aktif menjelang endemi. Emiten berkode saham PRAY ini akan membangun tiga rumah sakit baru. Chief Executive Officer Primaya Hospital, Leona A. Karnali, mengatakan bisnis kesehatan entitasnya tetap menjanjikan seiring dengan pertumbuhan populasi masyarakat. "Kesadaran masyarakat soal kesehatan juga meningkat walau pandemi berakhir," tuturnya kepada Tempo, kemarin. Perusahaan menyiapkan modal sebesar Rp 200-250 miliar untuk setiap proyek rumah sakit.

MOH. KHORY ALFARIZI | YOHANES PASKALIS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus