Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Soal Revisi PP Pengupahan, Ekonom: Bisa Hambat Pertumbuhan Investasi

Ekonom CORE Piter Abdullah Redjadalam mengatakan revisi PP Pengupahan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

29 April 2019 | 05.21 WIB

Massa yang tergabung dalam sejumlah Organisasi Buruh di Jawa Barat melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat 19 November 2018. Mereka menuntut antara lain penetapan UMK 2019 berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 88 ayat (4) sebesar 20 persen dari UMK 2018 serta mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. ANTARA FOTO/Novrian Arbi
Perbesar
Massa yang tergabung dalam sejumlah Organisasi Buruh di Jawa Barat melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat 19 November 2018. Mereka menuntut antara lain penetapan UMK 2019 berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 88 ayat (4) sebesar 20 persen dari UMK 2018 serta mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. ANTARA FOTO/Novrian Arbi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Center of Reform on Economics atau CORE Piter Abdullah Redjadalam mengatakan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan atau revisi PP Pengupahan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum di bidang dunia usaha. Ketidakpatian ini, kata dia, bakal menghambat masuknya investasi asing ke Indonesia.

Baca juga: Aktivis Buruh Diundang Jokowi, Ini Usul Revisi PP Pengupahan

Apalagi saat ini, Indonesia tengah bersaing dengan negara lain untuk memperebutkan relokasi investasi dari dari Jepang, Cina dan Korea Selatan. "Pemerintah sangat diharapkan bisa lebih tegas dalam menyelesaikan permasalahan perburuhan ini apabila ingin investasi dapat tumbuh lebih tinggi," kata Piter ketika dihubungi Tempo, Ahad 18 April 2019.

Sebelumnya, sejumlah aktivis buruh mengelar pertemuan dengan Presiden Joko Widodo pada Jumat, 26 April 2019. Dalam pertemuan itu, para aktivis mengusulkan beberapa poin revisi PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Pertama ialah mengembalikan hak berunding dalam penetapan upah minimum. Kedua, mengubah formulasi kenaikan upah minimum yang selama ini ditentukan sepihak oleh pemerintah dengan rumus inflasi plus pertumbuhan ekonomi.

"Ketiga, pemberlakuan upah minimum sektoral di seluruh wilayah Indonesia yang memang ada sektor industri," ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal, di Jalan Kertanegara, Jakarta, Jumat malam, 26 April 2019.

Menurut Piter, jika hanya sekadar untuk memberikan hak berunding antara pengusaha dengan buruh, hal ini sama dengan memunculkan kembali mekanisme tripartit. Hal itulah yang dikhawatirkan bakal memunculkan kembali persoalan ketidakpastian bagi pengusaha. Akibatnya investor enggan untuk masuk ke Indonesia.

Menurut Piter, tidak akan pernah ada win-win solution bagi persoalan upah tersebut. Mekanisme tripartit yang diusulkan oleh serikat buruh lewat revisi PP pun bisa menjadi mekanisme paling tepat. Tapi dengan syarat pemerintah benar-benar mengedepankan  kepentingan perekonomian secara umum.

"Tidak populis dan tidak juga terbeli oleh pengusaha. Tapi di tengah kondisi saat ini sangat sulit mengharapkan kepala daerah dapat objektif atau juga tidak populis," kata Piter.

Demikian juga dengan formula penentuan upah mengikuti PP 78/2015. Meski tidak sempurna, ujar Piter, sudah sangat wajar dan cukup mengakomodiasi kepentingan buruh. Apalagi, dengan model ini, akan ada jaminan kenaikan upah sekitar 8,25 persen setiap tahun.

Baca berita lain soal revisi PP Pengupahan di Tempo.co

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus