Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH empat tahun perkara penyelundupan tidak diputus berdasarkan undang-undang antisubversi. Tapi, belum lama ini, lembaga peradilan berubah ikap: Mohanlal Kanchand, penyelundup tiga juta yard tekstil yang lima tahun lalu dibebaskan pengadilan tingkat banding, kini oleh Mahkamah Agung dihukum 15 tahun penjara karena dianggap melakukan kejahatan subversi. Mohanlal pula - kini masih buron - merupakan penyelundup pertama yang "terkena subversi" di Mahkamah Agung. "Semua kejahatan penyelundupan jelas mempunyai latar belakang politik, sehingga sah sebagai tindakan subversi," ujar Ketua Muda Mahkamah Aun, Z. Asikin Kusumah Atmadja, yang mengetuai majelis hakim. Berubah-ubahnya penafsiran peradilan terhadap undangundang antisubversi tergambar dari kasus Mohanlal Kanchand. Dituduh menyelundupkan tekstil sebanyak 82 kali, dari 1974 sampai 1976, Direktur PT Tolaram Surabaya itu diadili secara in absentia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hakim J.Z. Loudoe, yang memeriksa perkara itu, menyatakan bahwa Mohanlal terbukti melakukan kejahatan subversi dan menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara. Dalam putusan itu, 8 Januari 1977, Mohanlal, menurut Loudoe, terbukti mengacaukan perekonomian dan merongrong kewibawaan pemerintah. Loudoe memang tidak mempertimbangkan unsur latar belakang politik perbuatan penyelundupan itu. Sebab, pada masa itu, "latar belakang politik" yang ada di dalam penjelasan undang-undang antisubversi dianggap bukan unsur delik - sebab itu tidak perlu dibuktikan. Berdasarkan penafsiran semacam itu perkara-perkara hasil garapan tim antipenyelundupan "902" yang mendapat giliran pertama diajukan ke pengadilan terkena undang-undang antisubversi dan pelakunya dihukum berat. Selain Mohanlal, mereka yang terjirat undang-undang tersebut tercatat Robby Korompis, Penny Tjahyadi, dan si raja penyelundup, Mendiang Liem Keng Eng. Kritik pun mengalir ke lembaga peradilan. Banyak ahli hukum memandang bahwa penggunaan undang-undang subversi bagi delik-delik ekonomi, seperti penyelundupan itu, terlalu berlebihan. Apalagi, bila unsur latar belakang politik tidak dibuktikan, undang-undang itu menjadi sangat luas dan luwes daya jeratnya. "Bagaikan jaring tak berujung," kata seorang pengacara bertamsil (Tl.MIO, 12 Agustus 1978). Bahkan Kongres Peradin ketika itu, 1978, meminta pemerintah mencabut sama sekali undang-undang itu. Lembaga lain, Leppenas, mengadakan simposium dan mengeluarkan resolusi serupa. Hakim-hakim pun berubah sikap. Beberapa penyelundup eks "902", yang diadili belakangan, bernasib baik: dibebaskan dari tuduhan subversi. Hakim Soemadijono, yang menghukum Liem Keng Eng, belakangan membebaskan direksi PT Insan Apollo - agen tunggal Kawasaki dan Subaru - walau tuduhan menyelundup itu terbukti. Beberapa penyelundup lainnya, yang diadili pada akhir tahun 1978, juga lolos dari tuduhan subversi. Di antaranya, Direktur EMKL Setia Basuki, Arief Gunawan, dan penyelundup tekstil yang juga buron, Tan A Bun. (TEMPO, 24 Februari 1979). Perubahan sikap hakim itu dikukuhkan pula dalam Lokakarya Mahkamah Agung di Batu, Malang, Oktober 1978. Dimotori Ketua Mahkamah Agung, waktu itu Prof. Oemar Senoadji, dan Hakim Agung Asikin, diadakan pembatasan terhadap perumusan delik subversi yang disebut sebagai "penghalusan hukum". Unsur latar belakang politik dianggap sebagai unsur esensial undang-undang itu. Artinya, untuk menghukum seseorang berdasarkan undang-undang subversi, hakim harus pula mempertimbangkan: apakah perbuatan pelaku mempunyai latar belakang politik atau tidak. Banyak yang menganggap hasil lokakarya itu sebagai pengesahan bahwa terhadap pelanggar delik ekonomi tldak bisa dikenakan undang-undang antisubversi. Oleh sebab itu, semua perkara penyelundupan, termasuk yang di tingkat banding, setelah lo akarya itu mendapat hadiah: lolos dari tuduhan subversi. Maka, tak mengherankan bila, pada 25 Oktober 1979, Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan Mohanlal dari tuduhan subversi - dan bahkan juga korupsi - dengan alasan, unsur latar belakang politik tidak terbukti. Tidak jelas apakah Mohanlal balik ke Indonesia setelah putusan bebas itu. Yang pasti, akhir Januari lalu, Mahkamah Agung membataikan putusan banding itu. Kesalahan peradilan banding, menurut pengadilan tertinggi itu, adalah menafsirkan "politik" dalam arti sempit: hanya yang menyangkut politik praktis atau partal politik saja. Padahal, latar belakang politik "adalah kebijaksanaan negara dalam bidang sosial, budaya, dan juga ekonomi," bunyi pertimbangan Mahkamah. Dan Mohanlal, katanya, terbukti melakukan penyelundupan sebanyak 82 kali, yang terorganisasi secara baik, sehingga aparatur negara tidak berdaya serta mengacaukan program pemerintah. Dan, "pada prinsipnya, segala kebijaksanaan pemerintah adalah politik," ujar Hakim Agung Asikin kepada TEMPO. Asikin membantah bahwa peradilan tidak konsisten menerapkan undang-undang antil subversi. Keputusan Mahkamah Agung yang belakangan, menurut Asikin, tidak bertentangan dengan lokakarya di Malang itu. "Yang tidak mengerti hukum memang menganggap Mahkamah Agung tidak konsisten," katanya. Namun, diakuinya pula bahwa sejak 1978 baru kali ini lembaga tinggi negara itu memutuskan penyelundupan sebagai subversi. "Momen ini tepat untuk menyongsong Pelita IV," ujar Asikin. Menurut hakim senior itu, keputusan mengenai Mohanlal itu diambil dengan suara bulat oleh Majelis Hakim Agung yang terdiri dari dia sendiri, T.H. Ketut Suraputra, dan Danny. Kendati demikian, Wakil Ketua Komisi III DPR, Albert Hasibuan, berpendapat bahwa Mahkamah Agung tidak konsisten menerapkan undang-undang. "Zaman Pak Seno dulu sudah dipersempit, sekarang diperluas lagi. Bisa-bisa semua perbuatan melawan hukum dikategorikan subversi nantinya," ujar Albert. Ketua DPP Peradin, Harjono Tjitrosubono, sependapat dengan Albert. Pengacara senior itu berpendapat bahwa kejahatan penyelundupan semata-mata bermotifkan mencari keuntungan dengan gampang. "Sebab itu, interpretasi bahwa setiap penyelundupan mempunyai latar belakang politik berbahaya sekali dan menyimpang dari asas hukum pidana," katanya. Hakim Agung Asikin bukan tidak menduga keputusannya akan menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. "Saya akan berterima kasih kalau ada yang mengkritik, karena berarti saya mendapat masukan baru," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo