Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus Kepala Urusan Keuangan Desa Citemu Nurhayati yang menjadi tersangka setelah melaporkan dugaan korupsi dikhawatirkan menimbulkan efek jera kepada masyarakat untuk melaporkan kasus serupa. Direktur Tindak Pidana Korupsi (Dirtipidkor) Bareskrim Polri Brigjen Cahyono Wibowo pun angkat bicara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cahyono mengatakan masyarakat tidak perlu takut melapor soal adanya dugaan tindak pidana korupsi. Dia menyatakan peran serta masyarakat dilindungi dalam undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Terhadap peran serta masyarakat tadi, kalau kami lihat enggak usah takut (melapor), memang dituntut peran serta masyarakat itu di dalam penegakan pemberantasan korupsi. Itu ada diatur dalam undang-undang dan dia (pelapor) memang secara aturan itu memang dilindungi oleh aturan seperti Itu," kata Cahyono di Mabes Polri, Selasa malam 1 Maret 2022.
Nurhayati menjadi tersangka dugaan tindak pidana korupsi dana desa yang dilakukan oleh mantan kepala desanya, Supriyadi. Polres Cirebon yang menjadikan dia sebagai tersangka mendapatkan sorotan karena perempuan itu sebenarnya berstatus sebagai pembongkar kasus ini atau whistleblower dan dilindungi undang-undang. Supriyadi juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Kemarin Polri dan Kejaksaan telah sepakat untuk menghentikan penuntutan terhadap perkara tersebut dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutat (SKP2) oleh Kejaksaan Negeri Cirebon.
Penerbitan SKP2 ini dilakukan setelah penyidik Polresta Cirebon melakukan penyerangan tersangka dan barang bukti (tahap II) kepada jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Cirebon, Selasa malam.
Penyerahan tahap II ini tidak dihadiri oleh Nurhayati sebagai tersangka. Dia absen karena tengah menjalani isolasi mandiri setelah dinyatakan positif Covid-19.
Perlindungan terhadap whistleblower tercantum dalam Undang-Undang Saksi dan Korban. Meskipun demikian, peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, menilai undang-undang tersebut memang belum maksimal dalam undang-undang tersebut.
"Siapa kategori orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai whistleblower, perlindungan belum komprehensif, sehingga muncul lah perbedaan interpretasi ini di lapangan, yang rugi adalah orang-orang pencari keadilan seperti Ibu Nurhayati ini, secara hukum mereka diragukan," kata dia seperti dilansir BBC.
Untuk saat ini, Iftitah menyatakan bahwa polisi seharusnya bisa lebih jeli dalam penanganan kasus seperti ini. Mereka seharusnya melihat bahwa perbuatan Nurhayati sebagai bendahara yang mencairkan dana desa itu dilakukan dengan adanya tekanan atau perintah dari Supriyadi sebagai atasannya.
"Di KUHP (pasal 51) jelas bahwa setiap orang yang melakukan perintah jabatan pun enggak bisa dipidana. Ini enggak dilihat dengan jeli oleh aparat penegak hukum kita," tutur Iftitah.
Agar kasus seperti Nurhayati tak kembali terulang, menurut dia, banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban bisa memberikan perlindungan secara maksimal kepada whistleblower.
ANTARA|BBC