Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keluarga Syahrul Yasin Limpo disebut ikut menikmati aliran dana korupsi di Kementerian Pertanian.
Bukan hanya soal pencucian uang, pakar hukum menilai keluarga Syahrul juga bisa terjerat kasus korupsi induknya.
Namun ada juga pendapat yang menyatakan sebaliknya.
BEKAS Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memasuki gedung Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat sembari tersenyum pada Rabu, 22 Mei 2024. Diiringi oleh tim kuasa hukumnya, Syahrul langsung duduk di kursi terdakwa untuk mendengarkan keterangan delapan saksi yang dihadirkan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua dari delapan saksi yang hadir dalam sidang itu mengungkapkan adanya aliran dana kepada keluarga Syahrul. Mantan Protokol Mentan Rininta Octarini, misalnya. Dia menyatakan cucu Syahrul yang bernama Andi Tenri Bilang Radisyah alias Bibi turut kecipratan uang dari anggaran Kementan karena diangkat sebagai tenaga ahli Sekretaris Jenderal Bidang Hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bibi disebut mendapatkan honor total sebesar Rp 10 juta per bulan. “Saya lupa sejak kapan terima honornya, tapi kalau saya tidak salah ingat, Bibi jadi tenaga ahli Sekjen di bidang hukum itu sejak 2022," kata Rini saat dicecar Jaksa KPK dalam sidang.
Saksi lainnya, Kepala Badan Standardisasi Instrumen Pertanian Fadjry Djufry juga menyebutkan Bibi mendapatkan fasilitas berupa mobil dari Kementan. Mobil Toyota Nav1 itu, menurut Fadjry, bahkan dipakai Bibi sejak 2020 sampai 2023.
Pria yang sempat menjabat Kepala Badan Litbang di Kementerian Pertanian itu mengatakan pemberian fasilitas mobil tersebut setelah eks ajudan Syahrul, Panji Harjanto, meminta kepadanya. “Mobil negara. Diminta tolong disiapkan mobil untuk Bibi,” kata Fadjry, mengungkap permintaan Panji kepadanya.
Dalam sidang terdahulu, Bibi juga disebut sempat menerima transferan sebesar Rp 20 juta dari Kementan. Hal itu diungkap oleh mantan Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Tanaman Pangan Kementan, Bambang Pamuji, dalam sidang pada Rabu pekan lalu, 15 Mei 2024. Bambang juga menyatakan perintah untuk mentransfer uang itu datang dari Panji.
Bibi merupakan anak putri Syahrul, Indira Chunda Thita Syahrul. Perempuan yang menjabat anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem itu, berdasarkan keterangan saksi dalam persidangan, juga sempat menerima aliran dana dari Kementan untuk kepentingan pribadinya. Di antaranya untuk terapi steam cell, perawatan kulit, pembayaran dokter kecantikan, hingga pembelian sebuah mobil Toyota Innova.
Dalam sidang-sidang sebelumnya, sejumlah saksi juga menyebutkan istri Syahrul, Ayun Sri Harahap, dan anak lelakinya yang bernama Kemal Redindo Syahrul juga kecipratan uang yang dikumpulkan para pejabat Kementan. Di antaranya untuk uang bulanan, pembelian aksesori mobil, hingga membiayai acara sunatan dan ulang tahun.
KPK sendiri telah berencana memanggil anggota keluarga Syahrul yang namanya disebut dalam persidangan. Juru bicara KPK, Ali Fikri, menyatakan pemanggilan itu untuk penyidikan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun Ali belum dapat memastikan kapan mereka akan dipanggil. Dia menyatakan lembaganya masih menyusun materi yang terungkap dalam fakta persidangan di Pengadilan Tipikor.
Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Rudi Setiawan pun menyatakan mereka masih harus menunggu untuk mengembangkan pengusutan kasus itu. “Kami tunggu putusan,” kata Rudi kepada Tempo, Rabu, 22 Mei 2024.
KPK baru memastikan akan memanggil Ayun Sri, Kemal, dan Bibi sebagai saksi dalam persidangan pada pekan depan. “Beberapa keluarga yang sudah kami jadwal, orang-orang yang ada dalam BAP. Dalam perkara Kasdi Subagyono dan Muhammad Hatta, keluarga Pak Yasin Limpo tak punya hak mengundurkan diri,” kata jaksa KPK, Meyer Simanjuntak, seusai sidang kemarin.
Kuasa hukum Syahrul Yasin Limpo, Jamaludin Koedoeboen, menyampaikan pihaknya hanya akan mengikuti perkembangan dalam persidangan perihal kemungkinan keluarga Syahrul ikut terseret perkara korupsi dan TPPU ini. “Kalau terlalu cepat berkesimpulan kan kurang etis, nanti terlalu prematur,” ujarnya seusai sidang.
Syahrul sendiri tak mau berbicara soal keikutsertaan istri hingga cucunya dalam kasus korupsi yang menjeratnya. Ia hanya berjalan meninggalkan ruangan Pengadilan Tipikor dan sesekali tersenyum saat dimintai tanggapan perihal kemungkinan anggota keluarganya terjerat pasal tipikor. “Enggak, jangan, enggak bisa (jawab). Lagi persidangan,” ujarnya.
Syahrul Yasin Limpo dan anaknya, Indira Chunda Thita Syahrul, di Makassar, 9 April 2014. Dok. TEMPO/Hariandi Hafid
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Yogyakarta, Zaenur Rohman, menilai keluarga Syahrul bisa ikut terjerat dalam kasus ini. Bukan hanya soal pencucian uang, menurut dia, nama-nama yang muncul dalam persidangan juga bisa dijerat pasal berlapis dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Dia menyatakan para anggota keluarga Syahrul bisa dijerat dengan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai pelaku penyerta. Syaratnya, menurut dia, KPK bisa membuktikan anggota keluarga Syahrul tak hanya ikut menikmati aliran dana korupsi itu, tapi juga aktif meminta para pejabat Kementan mengalirkan uang tersebut.
“Keluarga yang berperan aktif itu bisa menjadi tersangka karena turut serta melakukan tindak pidana korupsi. Jadi, bisa menjadi tersangka TPPU, bisa jadi tersangka tipikor,” kata Zaenur kepada Tempo, Rabu, 22 Mei 2024.
Menurut dia, Pasal 55 KUHP bisa digunakan untuk menjerat siapa pun yang ikut terlibat dalam tindak pidana korupsi, bukan hanya aparatur sipil negara (ASN) atau penyelenggara negara. Hal itu, menurut dia, pernah dilakukan KPK dalam kasus korupsi pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.
Saat itu, KPK menjerat Andi Zulkarnaen Anwar Mallarangeng alias Choel Mallarangeng, adik Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng yang menjadi salah satu tersangka. Choel, yang berprofesi sebagai pengusaha dan konsultan politik, didakwa bersama-sama dengan kakaknya melakukan tindak pidana korupsi. “Karena pelaku penyerta itu tak harus penyelenggara negara,” ujarnya.
Zaenur juga menilai KPK berwenang menangani kasus ini apabila merembet ke anggota keluarga Syahrul, meskipun nilai yang mereka terima kurang dari Rp 1 miliar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Menurut dia, ketentuan kerugian Rp 1 miliar itu harus dilihat dari tindak pidana korupsi induknya.
Dalam kasus ini, jaksa KPK mendakwa eks anggota Dewan Pakar Partai NasDem itu melakukan pemerasan terhadap bawahannya dengan nilai mencapai Rp 44,5 miliar. “Pihak lain yang terlibat dengan SYL itu adalah satu kesatuan dengan kasusnya, sehingga KPK berwenang menanganinya tanpa harus melimpahkan ke penegak hukum lain,” ujarnya.
Syahrul Yasin Limpo dan istri, Ayun Sri Harahap, di Makassar, 9 April 2014. Dok. TEMPO/Hariandi Hafid
Adapun untuk pencucian uang, menurut Zaenur, keluarga Syahrul bahkan bisa diduga berperan aktif melakukan pencucian uang. Mereka bisa dijerat menggunakan Pasal 3 UU TPPU dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. Minimal, menurut dia, anggota keluarga Syahrul bisa dijerat dengan Pasal 5 soal TPPU pasif. “TPPU pasif, kecuali kalau ternyata ada anggota keluarganya yang ikut menyembunyikan, tak hanya menerima, tapi juga berperan aktif. Dia bisa dijerat dengan TPPU aktif,” kata Zaenur.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, pun mendorong KPK segera menindaklanjuti fakta persidangan tersebut. Hanya, dia menilai anggota keluarga Syahrul lebih tepat dijerat dengan UU TPPU. “Segala fakta persidangan itu harus ditindaklanjuti, khususnya pencucian uang. Memang masuknya ke (TPPU) pasif, sepanjang mereka mengetahui bahwa itu adalah dana hasil korupsi,” ujar Kurnia saat dihubungi secara terpisah.
Soal korupsi, Kurnia menilai ada kekosongan hukum untuk menjerat keluarga Syahrul Yasin Limpo yang berstatus bukan penyelenggara negara. Menurut dia, penggunaan Pasal 55 KUHP juga tetap harus mempertimbangkan soal status pelaku penyerta. “Kalau pelaku penyerta tak bisa, karena itu spesifik penyelenggara negara,” kata Kurnia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo