Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang kerja sama antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK hingga Badan Intelijen Negara (BIN). Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan koordinasi tersebut nantinya untuk memberikan sejumlah data yang dibutuhkan dalam proses seleksi anggota Komisi Yudisial atau KY.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"KPK tentu terbuka untuk kerja sama ataupun permintaan data dan informasi yang dibutuhkan," ucap Budi saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Senin, 5 Mei 2025.
Dia membeberkan alasan lembaganya membuka opsi kerja sama lintas instansi. Budi mengatakan upaya tersebut juga untuk mempermudah akses dalam memberikan informasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) terhadap calon anggota KY.
"Karena di beberapa proses seleksi, KPK juga terus memberikan data informasi seperti LHKPN, sebagai salah satu instrumen transparansi kepemilikan aset oleh para penyelenggara negara," kata dia.
Budi mengapresiasi bila kedua instansi tersebut ingin melakukan kerja sama dengan KPK. Menurut dia, cara ini sebagai bentuk transparansi dalam mempertimbangkan calon anggota Komisi Yudisial.
"Karena artinya proses seleksi tersebut mempertimbangkan aspek transparansi dari para calon," ucap Budi.
Panitia Seleksi atau Pansel Pemilihan Calon Anggota Komisi Yudisial berkoordinasi dengan PPATK, KPK, hingga BIN untuk menjaring calon komisioner periode 2025–2030.
“Kami akan bersurat kepada PPATK, KPK, BIN juga itu, BNPT, dan BNN kami akan bersurat,” kata Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum sekaligus Ketua Pansel Dhahana Putra di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Senin, seperti dikutip Antara.
Menurut dia, pansel akan bersurat kepada lembaga-lembaga tersebut jika telah mendapatkan nama-nama calon anggota KY. Surat dimaksudkan untuk meminta pandangan terkait latar belakang calon penjaga muruah lembaga pengawas hakim tersebut.
“Misalkan, PPATK. Ternyata dia (calon komisioner KY) mendapatkan penghasilan tidak klir, tidak reasonable (wajar), itu juga bisa. Contohnya di KPK, ternyata dia pernah menjadi tersangka, terdakwa, tidak bisa,” ucap Dhahana.
Pansel, kata dia, mencari calon komisioner yang jelas dan bersih. Oleh sebab itu, koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait diperlukan guna mendalami latar belakang tiap-tiap calon.
“Kita tahu persoalan ini banyak sekali di hakim, tentunya ini jadi suatu amanah bagi kami untuk mengusulkan kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto guna mendapatkan komisioner yang clear and clean,” katanya.
Pilihan editor: KPK Mengkaji Kewenangan Penanganan Korupsi Setelah Ada UU BUMN